Calo Terminal Curhat Pandangan Negatif Masyarakat ke Mereka

Eko, calo di terminal giwangan mencari penumpang

Calo terminal selalu diidentikan sebagai sosok dengan citra negatif. Di balik itu, tidak sedikit dari mereka yang menjaga marwah profesinya agar tidak dipandang sebagai orang yang sekadar cari untung.

***

Jika Anda melewati Terminal Giwangan, Yogyakarta dan masuk ke dalamnya, maka hanya kesepian yang akan Anda jumpai. Tidak ada lagi teriakan para calo ketika “menyapa” penumpang yang baru datang, pun tidak ada lagi bakul asongan yang hilir mudik dari satu bus menuju bus lainnya.

Diki (20) salah satu mahasiswa kampus swasta yang pulang kampung dengan menggunakan jasa bus antar provinsi mengatakan, “Tidak seramai dulu. Walau aturannya sudah tidak seketat awal pandemi, tetap saja tidak seramai dulu, Mas.”

Diki merupakan pengguna jasa tetap bus. Ia memilih setia menggunakan bus menuju tempat tujuannya di Jakarta, sejak awal kuliah semester satu. “Bagi saya bus adalah moda transportasi yang lebih menyenangkan,” ujarnya, 30 Maret 2021.

Yang ada di Terminal Giwangan kini, bagi Diki, hanyalah deru mesin tanpa arti. Seperti menggambarkan apa yang dituliskan Pram, nyanyian sunyi seorang bisu. Namun ini adalah nyanyian mesin bis yang imbas-imbis dan tak semerdu dahulu.

Mesin yang berderu seru, kini tak sebanding dengan kuantitas penumpang yang tak lagi padat. Bangku-bangku penuh dengan sekat. Terasa dekat, namun kenyataannya berjarak. Ya, pandemi memporak-porandakan perekonomian warga Jogja bagian pinggiran, salah satunya adalah Terminal Giwangan.

Ketika Pemerintah Yogyakarta getol meningkatkan sektor pariwisata untuk mengisi relung-relung arteri tempat wisata di pusat kota, justru berbanding terbalik dengan alur penumpang yang melakukan perjalanan antarkota dan antarprovinsi di terminal-terminal sekitar Jogja. Itu seperti apa yang Eko (39) yang merupakan salah satu calo di Terminal Giwangan sampaikan.

Stereotipe negatif calo terminal

Ketika ditanya tentang stereotipe seorang calo terminal, Eko menjawab secara diplomatis. “Anggapan bahwa calo itu negatif tentu masih ada, Mas. Namun, bagi kami jelas, diri kami masing-masing penggerak kejujuran itu. Jadi nggak bisa dipukul rata bahwa calo itu semuanya negatif.”

Calo, menurut Durmo (bukan nama sebenarnya), salah satu calo lain yang saya temui, adalah middle-man, alias perantara saja. Sedangkan baik buruknya bukan perihal keseluruhan, melainkan perorangan.

Durmo lebih lanjut menerangkan bahwa persepsi masyarakat awam tentang calo—calo apapun itu— itu patut menjadi pertanda bahwa masih banyak orang yang tidak jujur ketimbang yang jujur.

“Tugas calo di Terminal Giwangan adalah jembatan bagi pemilik agen tiket dengan penumpang. Mereka akan mematok paling banyak 10 ribu sampai 20 ribu rupiah dalam setiap jasa yang ia lakukan,” pungkas Durmo.

Setali dengan apa yang Eko katakan, “Calo yang ambil bathi secara gila-gilaan, semisal 50 ribu sampai 70 ribu, itu masih ada. Namun nggak semua lho, Mas.”

Eko yang terus menerus memberikan disclaimer dalam tiap keterangannya, mengatakan bahwa keberadaan calo yang sifatnya negatif atau merugikan penumpang itu akan berkurang ketika calo sudah terikat simbiosis mutualisme dengan pemilik agen bus.

Calo seakan sudah tidak menjadi liar dalam menyapa penumpang-penumpang yang datang ke Terminal Giwangan. Eko salah satunya, ia terikat kerja dengan salah satu agen tiket yang membayar jasanya. “Jadi kalau ada penumpang mau ke Bali, saya tawarkan agen yang memang mengurusi rute Bali. Jika ke Jakarta, pun saya lakukan yang sama,” kata Eko.

Simbiosis mutualisme antar calon dan pemilik agen bus

Simbiosis saling menguntungkan ini tidak mungkin melibatkan satu calo dengan dua agen tiket bus yang memiliki tujuan sama. Misalkan sama-sama Bali, itu justru akan menimbulkan konflik tersendiri. “Bagi saya, model seperti ini ya di satu sisi meringankan beban calo, juga tentunya mengurangi risiko penumpang dibeleh (dirugikan) oleh calo.”

Saya menemui Pri (54) di kediamannya, salah satu pemilik agen tiket bus dan biro perjalanan trayek Jogja – Solo yang kini sudah pensiun. Menurutnya, adanya calo justru membantu menjembatani antara calon penumpang dan agen tiket.

“Terutama bagi penumpang yang baru pertama ke Terminal Giwangan. Kalau yang langganan, biasanya langsung menghubungi saya atau kantor, dan proses langsung tanpa melibatkan calo,” kata Pri.

Eko menjawab dengan anggukan getir ketika ditanya apakah ada calo yang kurang beruntung, calo yang tidak terikat dengan satu agen tiket. Katanya, calo seperti ini yang mengalami pasang surut ketika jeda pandemi.

Selain faktor tidak punya ceruk agen tiket, calo yang gulung tikar adalah calo yang agen tiket bus ia naungi tidak kembali beroperasi pasca-jeda pandemi. “Sedang calo di Terminal Giwangan itu biasanya bekerja untuk satu atau dua agen tiket, Mas. Ketika agen tiket itu kolaps, ya piye meneh tho, Mas, calonya juga ikutan babak bundas!”

Durmo mengatakan bahwa stigma ini tidak akan pernah lepas. Menjadi calo, selalu bermain dengan berbagai risiko. “Dari berbagai risiko, paling jamak adalah dugaan bahwa bermain selalu bermain dengan kotor,” pungkasnya.

Tetap bekerja meski sepi penumpang

Terminal Giwangan dan para calonya adalah saksi kunci betapa tidak efektifnya kebijakan pemerintah membangun sektor ekonomi selama pandemi. Selain tidak efektif, kebijakan ini pun kurang membantu banyak perihal lonjakan penumpang setelah jeda panjang pandemi.

Setelah pandemi singgah di Indonesia, terminal yang mulai dibangun pada September 2002 dan selesai pada Agustus 2004 ini mengalami mati suri dalam waktu berkepanjangan. Eko kembali menuturkan bahwa aturan-aturan yang berlaku tiap terminal di tiap daerah berbeda. Hal ini membingungkan penumpang selain PSBB yang tiap daerah saat itu berlakukan.

“Ditambah volume penumpang tiap armada juga dibatasi. Jadi hanya boleh terisi 50% saja tambah beberapa syarat semisal untuk ke Bali harus menunjukan hasil rapid test. Waduh jyaaan ini yang bikin mumet awal-awal itu, Mas,” kata Eko.

Alotnya kebijakan pemerintah dalam menentukan standarisasi armada bus dan penumpang yang mau bepergian, menjadikan sektor akar rumput kualahan, salah satunya sektor terminal. “Kan di awal pandemi itu masih gonjang-ganjing masalah harga rapid test dan faktor lain yang bikin penumpang emoh ribet dan armada bus banyak yang rehat sejenak,” kata Eko.

Sempat beberapa waktu yang lalu, bahkan terminal yang bertipe A ini hanya bus Trans Jogja saya yang terlihat. Selain itu beberapa bus yang mengantar rute jarak dekat.

“Saya sampai geleng-geleng, hari biasa ya memang sudah sepi, tapi kalau ini namanya nyenyet. Kuburan saja masih ada rame-ramenya seperti orang berziarah. Terminal Giwangan (di awal pandemi) seperti kompleks pemakaman yang terlupakan.”

Pilih jadi calo karena tak ada pilihan pekerjaan lain

Eko menjadi salah satu calo yang kembali lagi ke Terminal Giwangan pascajeda pandemi berkepanjangan. Ia mengatakan, tidak ada alasan untuk tidak kembali. “Hancur lebur jika tidak kembali, Mas. Kasarnya, tidak ada pilihan pekerjaan yang lain,” tuturnya sembari menyeruput es teh dengan topi putih khas yang ia kenakan kala bekerja.

Eko mengatakan bukan malas mencari pekerjaan lain, namun armada yang ia naungi, merupakan salah satu armada yang berani kembali beroperasi setelah jeda pandemi. “Bus yang saya handle, Tami Jaya, itu salah satu armada yang berani, Mas. Ya, istilahe wani repot.”

Eko kembali menuturkan dengan bersemangat, “Ketika syarat masuk Terminal Giwangan itu ribet, semisal lapor di pos DLLAJ (Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan, red). Terus juga seminggu hanya 2 kali beroprasi, bayangke, Mas. Untungnya armada yang saya naungi itu masih niat beroperasi.”

Para calo ikut kolaps karena tidak ada penumpang yang datang ke Terminal Giwangan selama pandemi serta mereka tidak memiliki langganan tetap yang menghubungi. “Karena kebanyakan calo biasanya ikut satu atau dua armada, ketika armada itu kolaps, mau menyusu ke siapa? Ha mosok sapi,” jawab Eko sembari berkelakar.

Memilih jalan lain

Di antara mereka yang memutuskan untuk kembali “pulang” ke Terminal Giwangan dan menjemput kesepian, terdapat beberapa “Pekerja Terminal” yang memutuskan untuk rehat sejenak di rumah. Rehat bukan berarti tidak butuh lagi uang karena dalam kehidupan, bisa dibilang uang adalah bahan bakar mereka untuk tetap hidup dan bertahan.

Aktivitas calo di terminal Giwangan. Foto oleh Gusti Aditya/Mojok.co

Ada tidak kembali ke Terminal Giwangan karena menyatakan kalah—seperti yang Eko sebutkan di awal, mereka yang tidak punya kanal untuk mengeruk dan menjemput rejeki selama pandemi—ada pula yang kebacut nyaman dengan kahanan lantaran bisnis yang ia jalankan selama pandemi lebih baik untuk menopang kebutuhan rumah tangga.

Salah satunya adalah Ning (37), yang memutuskan untuk bekerja di luar terminal per 30 Maret 2020. Tandanya, hampir satu tahun Ning memutuskan meninggalkan Terminal Giwangan. Ning merupakan salah satu anggota Paguyuban Agen dan Perwakilan Bus Malam (Pabima) Terminal Giwangan aktif dan hingga saat ini pun status keanggotaannya masih aktif.

“Saya masih anggota Pabima Terminal Giwangan, Mas,” kata Ning. Ia sebenarnya masih beberapa kembali ke terminal, namun tidak mengabdikan diri sepenuhnya untuk bekerja sebagai petugas loket. Ning kembali ke terminal semisal ada penumpang bus yang menghubunginya terlebih dahulu.

“Biasanya mereka—calon penumpang—telfon saya terlebih dahulu. Lalu saya akan kembali ke loket  untuk mengurusi keperluan penumpang. Hanya sebatas itu,” ujar Ning kala membandingkan intesitasnya bekerja di Terminal Giwangan sebelum pandemi.

Ning memutuskan untuk mengurangi intensitas ke terminal lantaran volume penumpang dari hari ke hari makin berkurang. “Itu mungkin efek pandemi, seakan menugaskan orang-orang seperti kami—pekerja terminal—harus berpikir ulang dari mana kami akan mendapat uang selain dari terminal,” kata Ning.

Meninggalkan terminal demi kembali jadi manusia

“Saya seakan menjadi manusia kembali. Dalam artian harus memulai sesuatu dari bawah lagi,” kata Ning ketika saya bertanya, apakah nyaman bekerja di Terminal Giwangan. Ning mengesampingkan stigma bahwa pekerja terminal mendapatkan stereotipe tertentu. Baginya tugas seorang manusia, ya bekerja.

Ketika pandemi dan terminal mulai sepi, seperti yang saya sebutkan, saya kembali menjadi manusia. Saya mencari celah, usaha demi usaha lakukan dengan hati-hati di masa seperti ini,” kata Ning. Ia lantas menceritakan beberapa usaha yang ia lakoni setelah pandemi tiba dan membuat roda perekonomian di Terminal Giwangan mati suri.

Ning kini sedang menggeluti usaha makanan ringan dan beberapa camilan. Ia menawarkan via story WhatsApp dan grub-grub Facebook dan WhatsApp. Ia menceritakan, “Bila ada yang membeli saya antarkan, bahkan sampai rumahnya, Mas. Nah, kebanyakan masih dari kawan-kawan terminal, jadi saya kembali bukan sebagai pekerja terminal, tapi sebagai pengantar makanan dari orang yang memesan lebih dulu.”

Ning mengatakan bahwa rezeki dari Terminal Giwangan masih mengucur walau bukan melalui penjualan tiket bus. “Solidaritas sesama pekerja terminal, baik yang masih di sini atau yang sudah tidak, itu terasa sekali. Kami seperti merasa senasib sepenanggungan. Padahal saudara kandung ya bukan,” katanya sembari tertawa kecil.

Bagaimana pun, ketika pandemi sudah musnah seutuhnya, Ning masih menyimpan harapan untuk kembali ke Terminal Giwangan sebagai pekerja penjual tiket, bukan hanya sekadar mengantar makanan. “Kalau ditanya nyaman yang mana, tentu bekerja di rumah membuat saya menjadi manusia dan merasa aman. Namun, tetap saja Terminal Giwangan memberikan harapan yang setidaknya lebih besar,” pungkasnya.

BACA JUGA Pengakuan Istri Polisi dan Pencopet Tobat tentang Bos Copet Terminal 

 Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version