Cafe Madtari dan Tumpukan Kenangan yang Tersembunyi di Balik Keju Parut

Cafe Madtari di Bandung. (Hengky Sulaksono/Mojok.co)

Cafe Madtari sudah lebih dari dua dekade eksis di dunia perkulineran Kota Bandung. Buat yang pernah jadi mahasiswa di Bandung, pasti sudah familiar dengan kafe yang punya konsep warmindo ini.

***

Pada tahun 2000 lalu, Dani Madtari merantau ke Kota Kembang. Dia mencoba mewujudkan mimpinya menjadi saudagar pisang kepok panggang. Dani berangkat merantau dari kampung halamannya di Cipatujah, Tasikmalaya. Dengan bekal modal seadanya, serta doa dan restu dari kedua orang tua, ia meluncur ke tanah perantauan.

Dani membuka kedai pertamanya di kawasan Dago, tepatnya di seberang Dago Plaza (kini Living Plaza). Kedai itu berbentuk tenda kaki lima. Dani menjual pisang kepok panggang, indomie, dan roti bakar kala itu. Semuanya dilengkapi dengan parutan keju yang menggunung, termasuk indomie.

Tahun-tahun awal Dani membuka usaha menjadi masa yang sulit. Itu adalah tahun-tahun yang menyerempet bahaya, vivere pericoloso versi Dani Madtari. Bukan saja karena pembeli yang masih sepi, namun juga lantaran situasi dagang yang tidak kondusif. Dani dan kedai kaki limanya harus selalu siap kena sikat operasi penertiban Satpol PP.

Suasana di Cafe Madtari mojok.co
Interior Madtari kental dengan nuansa Indomie (Hengky Sulaksono/mojok.co)

Berkali-kali Dani kena sergap operasi, berkali-kali juga dia pindah. Dari mulai di emperan Dago Plaza, BPRKS, Bank Danamon, Dipati Ukur, hingga Sulanjana, semua tempat itu pernah jadi pangkalan Dani berjualan. Situasi ini menjadi cobaan berat buat pedagang kaki lima seperti Dani. Saat usaha pisang panggangnya sudah mulai dikenal, dia terpaksa harus berpindah tempat.

Setiap kali Dani berpindah tempat, dia harus memulai usahanya hampir dari nol. Pelanggan-pelanggan lamanya tak tahu Dani berpindah ke mana. Praktis Dani harus membentuk basis pelanggan baru. Begitu seterusnya sampai Dani memiliki tempat berjualan yang tetap.

Tempat usaha yang tetap itu baru bisa diperoleh Dani setelah berjualan selama 10 tahun. Hasil memeras keringat yang terkumpul selama satu dekade berjualan kaki lima dia gunakan untuk menyewa sebuah bangunan. Lokasinya berada di Jalan Rangga Gading. Sejak saat itu, usaha kaki lima Dani pindah ke dalam gedung sewaan ini. Hingga kini Madtari menginjak usia lebih dari dua dekade, tempat itu masih digunakan untuk berjualan. Namanya Cafe Madtari.

Kafe yang berada di dekat kawasan kampus Unisba tersebut menjadi semacam kantor pusat Cafe Madtari. Saat ini, Cafe Madtari memiliki dua cabang. Sebelumnya sempat ada empat cabang. Lokasi kedua cabang Cafe Madtari ada di beberapa kawasan kampus, seperti Jatinangor dekat Unpad dan Dipati Ukur dekat Unikom dan kampus dua Unpad.

Cafe Madtari bisa dibilang sebagai salah satu pelopor warmindo (warung makan Indomie) di Bandung. Sampai saat ini, konsep dan suasana ala kedai warmindo itu tetap dipertahankan. Seluruh dinding dan meja kafe dilapisi dengan alas spanduk indomie berwarna merah mencolok.

Daftar menu yang ada di Cafe Madtari juga masih bernuansa warmindo. Menu pisang panggang, roti bakar dan indomie masih bertahan dan jadi menu utama. Ada juga penambahan menu-menu santapan padat yang menyertakan nasi, serta aneka minuman sebagai teman bersantap.

Yang membedakan Madtari dengan warmindo-warmindo lainnya terletak pada sajian toping keju yang melimpah. Mayoritas menu di Madtari memang menyertakan keju, termasuk menu indomie yang lazimnya hanya menyertakan tambahan sawi dan telur.

Pada setiap hidangan berkeju tersebut, dapat dipastikan gundukan keju akan menutupi seluruh bagian atas hidangan. Tak mengherankan bila kemudian Madtari lekat dengan sebutan sebagai “Si Keju Jabrig”.

Hikayat Si Keju Jabrig

Penggunaan toping parutan keju memang menjadi salah satu ciri khas menu-menu di Cafe Madtari. Herdiaman, General Manager Cafe Madtari mengatakan bahwa sedari awal Madtari eksis dalam format kaki lima, tiga menu utama Madtari memang sudah menggunakan keju.

“Dari awal jualan pas di Dago juga memang sudah pakai keju. Termasuk indomie-nya juga sudah pakai keju,” kata manajer yang karib disapa Herdi tersebut belum lama ini.

Penggunaan toping keju dalam khazanah kuliner kekinian, terutama di Bandung, memang sangat lazim belakangan ini. Ragam rupa makanan atau kudapan bertoping keju cukup mudah ditemukan di kedai-kedai atau kafe-kafe pinggiran jalan.

Dari segi variasi olahan, bermacam menu modifikasi yang menggunakan keju juga tak susah dicari, dari mulai singkong keju, cilok keju, hingga ayam geprek mozarella. Tidak semua percobaan keju ini sukses di pasaran. Banyak di antaranya yang hanya tinggal nama dan kenangan. Tapi Madtari beruntung karena masih bisa langgeng sampai hari ini.

Inspirasi penggunaan keju pada menu-menu di Madtari ini tidak datang begitu saja. Dani Madtari yang berasal dari keluarga petani itu punya silsilah keturunan Singaparna dari ibunya. Menurut Herdiaman, pada zaman itu, cukup banyak orang Singaparna yang berdagang pisang panggang di Kota Kembang. Mereka berjejeran di sepanjang kawasan Jalan Burangrang.

Tumpukan keju yang jadi ciri khas Madtari sehingga dijuluki’Si Keju Jabrig’
(Hengky Sulaksono/mojok.co)

Penggunaan keju itu, sangat mungkin terinspirasi dari para pedagang terdahulu dari Singaparna, Tasikmalaya. Tak hanya pada menu pisang panggang, penggunaan parutan keju pada menu indomie kala awal Madtari berdiri juga kemungkinan besar sudah ada.

“Jadi kalau menu awal itu, kreasinya dari Pak Dani. Tapi kalau inspirasinya, memang (pedagang lain) yang dari Singaparna juga kemungkinan sudah ada. Menunya hampir sama. Menggunakan keju juga,” tutur Herdi yang masih punya hubungan kekerabatan dengan Dani Madtari ini.

Di masa itu, saat awal Madtari dirintis, banyak pedagang-pedagang lain yang menjajakan menu-menu serupa dengan yang dimiliki Dani Madtari. Tapi, kapling rezeki Dani Madtari lebih luas dari sejawat dan seniornya. Usahanya berkembang dan bisa naik kelas menjadi pemilik kafe dan membuka cabang.

Soal volume toping keju yang seabrek itu, Herdiaman menyebut ini memang menjadi signature Dani Madtari. Dari awal, keju segunung itu katanya sudah disajikan dalam porsi yang tak jauh berbeda.

Karena itulah Madtari kemudian dikenal sebagai Si Keju Jabrig. Volume parutan keju yang kaya kalsium ini mengundang efek kenyang lebih lama bagi perut, meskipun menu yang disantap berupa kudapan. Strategi obral keju, memang terbukti jitu menggaet pelanggan. Tapi, apakah Madtari tidak rugi?

Soal ini, Herdiaman punya penjelasan. Menurutnya, menu-menu makanan di Madtari memang dirancang sebagai pancingan. Pelanggan diharapkan datang ke Cafe Madtari karena tertarik dengan menu-menu makanan yang ditawarkan.

Varian menu Indomie keju (Hengky Sulaksono/mojok.co)

Para pembeli diasumsikan akan membeli minuman selain memesan makanan. Kemungkinannya sangat besar. Apalagi bila yang ditelan adalah setumpuk parutan keju. Dari menu-menu minuman itulah keuntungan lebih banyak berdatangan.

“Jadi istilahnya si menu-menu makanan itu yang kita korbankan. Marginnya tipis sekali. Tapi bisa kita tutup sama menu-menu minuman,” katanya.

Harga menu yang ditawarkan bervariasi, dari yang paling murah di kisaran 10 ribu-an ke bawah hingga yang paling komplit, yakni ragam rupa menu jumbo dibanderol seharga Rp27 ribu. Segala yang berbau keju menjadi menu-menu best seller di kafe ini. Setiap jenis makanan dalam menu, ada yang memiliki 12 hingga 23 variasi, baik dalam bentuk ukuran, rasa, dan toping.

Taktik siasat lain yang digunakan Madtari adalah menjalin kerja sama dengan produsen keju. Dulu kala, saat masih berstatus kaki lima, Madtari pernah bekerja sama dengan pabrikan Kraft. Saat ini, mereka menggunakan keju Wincheez.

Kerja sama yang dilakoni saat ini menggunakan sistem cashback. Madtari boleh mengambil terlebih dahulu keju Wincheez untuk digunakan dalam jumlah tak terbatas. Pembayaran dilakukan setelah keju-keju habis digunakan. Madtari akan beroleh cashback dari setiap potongan keju yang dipakai.

Jam-jam malam yang dirindukan

Dulu kala, Cafe Madtari pernah beroperasi selama 24 jam, tepatnya selama sekitar lima tahun awal Madtari menghuni bangunan gedung. Jam buka tanpa putus ini diberlakukan untuk menggaet konsumen malam. Langkah ini juga dimaksudkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan bangunan sewaan gedung kafe.

Jam operasi yang mencapai 24 jam ini menjadi salah satu keunggulan Madtari dibanding tempat lain pada waktu itu. Cukup banyak orang yang singgah untuk sekadar mengisi perut saat lapar mendera kala larut malam, termasuk para mahasiswa Unisba. Jam buka terus-menerus ini diberlakukan khusus untuk kafe yang berada di Jalan Ranggagading.

Walau tidak terlalu banyak berdampak untuk pemasukan, tapi siasat ini mampu mendatangkan berkah tersendiri. Selain nama Madtari menjadi semakin luas dikenal, para karyawan juga lumayan sering ketiban untung.

Untung itu datang dari para konsumen malam yang mampir. Kebanyakan di antara mereka adalah para party goers, kelompok orang yang punya hobi ajep-ajep di lantai dansa saat kebanyakan orang menari-nari di alam mimpi.

Biasanya mereka datang memasuki sepertiga malam, saat diskotek dan klub-klub malam mulai tutup. Madtari menjadi pilihan singgah lantaran menyediakan banyak kudapan pengisi perut dengan harga terjangkau, barang yang sulit dicari di tempat-tempat party. Beberapa datang dengan kepala tegap, lebih banyak yang terhuyung-huyung saat keluar dari mobil.

Setelah tamu-tamu malam ini berhasil duduk di kursi, para karyawan akan menghampiri sambil memberikan menu dan menanyakan apa yang akan dipesan. Beberapa memesan setelah lima menit, ada juga yang malah terlelap setelah lima menit.

Walau gerak-geriknya kadang sulit ditebak, tapi soal kewajiban mereka tak pernah abai. Menurut Herdiaman, para tamu-tamu malam ini selalu membayar semua makanan yang dipesan. Tak jarang, mereka memberi uang tip kepada para karyawan Madtari.

“Jam buka malem itu kalau pemasukan ke kafenya paling cuma 20%. Tapi buat anak-anak itu lumayan banget, karena jadi sering dapet uang tip dan jumlahnya besar-besar,” katanya.

“Ada yang cuma mesen mi atau roti, cuma satu menu, tapi bayarnya Rp50 ribu, Rp100 ribu. Itu banyak yang kayak gitu,” lanjut Herdi.

Para pekerja yang memastikan dapur Madtari tetap ngebul (Hengky Sulaksono/mojok.co)

Soal kisah yang bikin was-was, jangan ditanya. Entah berapa kali para karyawan terpaksa ikut sesi senam jantung dadakan lantaran percekcokan antar tamu. Tapi, tak pernah sampai ada kejadian yang mengundang celaka. Tak pernah ada juga kerusakan barang-barang. Paling banter, batas ributnya cuma mentok di adegan gebrak meja.

Di luar itu, hal lain yang bikin was-was adalah godaan untuk jelalatan mata. Semua pegawai Madtari adalah sanak keluarga dari Dani Madtari. Mereka tinggal dan besar di kawasan pedesaan Tasikmalaya yang jauh dari ingar-bingar dunia malam. Saat mendapat jatah jaga malam, barang tentu mereka harus bersiap menemui hal-hal yang jarang dijumpai di kampung halaman.

“Saya suka pesen sama anak-anak, sering banget wanti-wanti supaya ulah kabawa ku sakaba-kaba (jangan terbawa pengaruh hal-hal buruk). Harus bisa jaga diri. Takutnya ada tamu yang tersinggung juga,” kata Herdiaman.

Di luar rasa was-was yang hampir setiap malam menyergap, para karyawan sering juga mendapat jatah hiburan tanpa diduga. Pernah suatu kali ada tamu yang datang menjelang dini hari. Dari gerak-geriknya, nampak kentara bahwa ia mabuk berat.

Si tamu kemudian memesan seporsi indomie sesampainya di meja duduk. Tak berselang lama, pelayan menghidangkan pesanan. Saat indomie siap dihidangkan, si tamu keburu terlelap tidur. Si pelayan yang tak berani membangunkan, lantas meletakkan pesanan di atas meja.

Detik berganti menit, menit berganti jam hingga si tamu bangun saat fajar menyingsing dan mendapati indomie pesanannya sudah terhidang di hadap muka. Kuahnya keburu dingin, pun ukurannya sudah berubah menyerupai cacing.

Tapi, si tamu yang tak ambil pusing. Perutnya masih keroncongan. Indomie dingin itu pun pada akhirnya disikat juga, sampai habis tak tersisa.

Kini momen-momen jenaka sekaligus mendebarkan itu hanya ada dalam kenangan. Madtari tak bisa lagi beroperasi 24 jam lantaran aturan jam malam dan serangan wabah Covid-19 yang mematikan.

Pandemi meluluh lantakkan jam operasi, pun juga menggerus kas operasional. Selama dua tahun pagebluk mengamuk, Dani Madtari harus rela merogoh kocek dalam-dalam demi menyelamatkan usaha warmindo yang dirintisnya sejak masa muda. Terbilang lima unit mobil telah dijual untuk menutupi defisit pemasukan.

Saat ini badai sudah agak mereda. Roda bisnis Madtari kembali berputar meskipun belum sepenuhnya normal. Setidaknya Madtari sudah bisa berani bermimpi, agar ke depan, hiruk-pikuk pada jam-jam malam yang penuh kenangan itu bisa kembali jadi kenyataan.

Reporter: Hengky Sulaksono
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Bala-bala Gengster dari Bandung, Gorengan Jumbo Pengantar Tidur dan  liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version