Butet Kartaredjasa dan Spirit Bangkit di Usia Wingit

Butet Kartaredjasa meryakajan hari jadinya yang ke-60 di Sangkring Art Space. Foto Arif Hernawan.

Tuhan Ku Simpan

Aku ingin menyimpan Tuhan di lubuk terdalam

Karena Dia malu terlihat sombong pamer kebenaran

Aku ingin menyembunyikan Tuhan di timbunan sampah kepongahan

Supaya suara-Nya menjadi bisik sunyi di sepi abadi

Tiada keinginan Dia bicara

Dan kita tak berhenti menganyam persaudaraan

Kita hanya manusia yang hanya bisa memuliakan kehidupan

Aku ingin menyimpan Tuhan, aku ingin menyembunyikan Tuhan supaya udara tak kotor oleh jerit kebencian

Mimbar-mimbar siarkan ayat-ayat penuh inspirasi dan kesejukan

Ya, aku ingin menyimpan Tuhan dalam teguh iman, dalam rengkuh persaudaraan dan kemanusiaan

***

Di atas panggung, duduk di sebuah kursi, di hadapan keluarga, kawan, dan ratusan tamu, tubuh Butet Kartaredjasa terguncang. Sang aktor—kali ini bukan untuk akting—terisak dan menyeka air mata. Salah satu putrinya lantas mendekat, mengulurkan tisu.

Sungguh langka melihat Butet menangis di tengah riwayat panjangnya dalam seni peran, monolog, dan celoteh jenaka nan nakalnya. Tangis Butet Kartaredjasa tumpah saat lagu itu dinyanyikan biduan Silir Pujiwati dan iringan orkes Sinten Remen, tepat di hari ulang tahunnya ke-60, Minggu, 21 November, di galeri Sangkring Art Space, Nitiprayan, Bantul, Yogyakarta.

Sebelum dilagukan, Butet juga membacakan lirik tembang yang diciptakannya saat mengalami ‘peristiwa bernuansa spiritual’ di tengah kondisi sakitnya beberapa bulan ini.

“Saya benar-benar mengalami ketidakberdayaan baru kali ini. Saya masih diabetes dan jatung, tapi tidak takut pada penyakit-penyakit itu. Tapi saya betul-betul, mau usia 60 ini mengalami ketidakberdayaan,” tuturnya.

Selama beberapa tahun ini, Butet menganggap November sebagai bulan yang ndrawasi alias bikin khawatir. Saban menjelang ulang tahun, ia kerap disergap cemas apakah dapat merayakan hari jadi di tahun itu.

Butet Kartaredjasa beserta keluarganya. Foto Arif Hernawan.
Butet Kartaredjasa menerima ucapan ulang tahun dari keluarga tercintanya. Foto Arif Hernawan.

Butet Kartaredjasa berkata sebenarnya ia tak ngoyo dan berambisi melampaui satu usia tertentu. Apalagi saat mengenang para mendiang yang telah lebih dulu berpulang. Kalaupun bisa melampaui umur mereka, Butet sudah sangat bersyukur.

Seperti saat sastrawan Linus Suryadi AG meninggal di usia 48 tahun. “Waktu saya bisa melewati umur itu, saya sudah senang,” kata dia.

Begitu pula ketika kakak dan kerabat, juga sahabatnya di Teater Gandrik, Heru Kesawa Murti, hingga sang adik, Djaduk Ferianto, berpulang di rentang usia 50 hingga 59 tahun. “Saya patok angka-angka itu aja deh, eh ternyata lolos,” celetuknya.

Namun kecemasan itu memuncak tahun ini ketika umur Butet mendekati enam dasawarsa. Apalagi ia sempat mendapat ‘warning’ dari sejumlah teman, bahwa usia 60 itu usia keramat. Kecemasan itu membuat kondisinya terus menurun, bahkan tak bisa bercanda dan tak dapat berkesenian selama 6 bulan.

“Hati-hati, 60 itu angka wingit. Saya jadi cemas. Itu membuat saya gentar.  Sejak Juni saya jadi tidak berdaya. Tidak punya kepercayaan diri. Tidak punya harapan. Saya jadi gembeng, dikit-dikit nangis,” katanya.

Namun dalam kondisi itu, dukungan dan motivasi dari para kawan, buah persaudaraan seperti ditulis di lagunya itu, tak henti mengalir. Perlahan-lahan, spirit Butet Kartaredjasa bangkit dan melawan kecemasan menghadapi usia wingit.

Butet pun mengikuti fisioterapi dan mulai membuahkan hasil. Untuk memasuki tempat acara, sejak turun dari mobil di gerbang hingga di berada depan studio galeri dalam acara sore itu, Butet sudah sanggup berjalan kaki dengan bantuan kruk, diiringi istri dan anak-anaknya.

“Ternyata perkaranya bukan operasi saya, perkaranya adalah harapan untuk pulihkan fisik saya. Sekarang sudah mulai ada progres, hari ini saya bisa jalan sampai sini,” kata dia disambut tepuk tangan hadirin.

Saat perupa Kartika Affandi—usianya 87 tahun pekan ini—datang dengan bantuan kursi roda, Butet pun berseloroh, “Nah, ini kami kayak manten.” Gelak tawa pun pecah saat keduanya digoda untuk balapan sampai ke panggung.

Sore itu, sahabat, kolega, dan banyak undangan hadir di perayaan ulang tahun Butet. Selain Kartika, hadir mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, politisi Yenny Wahid dan Rieke Dyah Pitaloka, putri Keraton Yogyakarta GKR Mangkubumi, aktor  Slamet Rahardjo, dan masih banyak lagi.

Presiden Joko Widodo pun mengirim ucapan melalui tayangan video. “Selamat ulang tahun ke-60 selamat juga untuk peluncuran yang ditulis para sahabat. Dalam kondisi apapun,  jangan pernah lelah untuk berkarya. Jangan pernah lelah untuk mengingatkan. Terus optimis, terus semangat, sehat selalu,” kata Jokowi.

Para tetamu pun silih berganti mengungkap kesan pada Butet dan mendoakannya. Penyair Joko Pinurbo menciptakan sajak ‘Kursi Roda’ dan maestro rupa Djoko Pekik meminta Butet me-‘mlorot’ alias memupus sakitnya. ‘Seneng-seneng ya mumpung masih urip,” ujar pelukis 84 tahun ini.

Penyair Joko Pinurbo saat membacakan sajak untuk Butet. Foto oleh Arif Hernawan.

Usai memimpin doa, Lukman Hakim Saifuddin menyebut acara ultah wujud cinta yang mengejawantah. “Kita rasakan betapa cintanya Mas Butet pada bangsa dan keindonesiaan. Jadi sekarang kita semua tergerak, terpanggil, juga karena untuk membalas cintanya,” tuturnya.

Untuk menandai ultah ke-60 sekaligus sebagai upaya menyemangati Butet, dua agenda digelar Minggu sore itu. Pertama, peluncuran buku ‘Urip Mung Mampir Ngguyu: 60 Tahun Butet Kartaredjasa’ yang berisi kesan banyak figur kepada Butet. Mulai dari Mahfud MD, Putu Wijaya, hingga Sherina Munaf.

Koordinator naskah buku itu, Hairus Salim, bercerita, antologi itu disiapkan sangat singkat, yakni hanya tiga pekan. Di awal-awal penyusunan, ia bahkan ragu buku ini bakal jadi. Namun dari rencana 300 halaman, buku itu malah membengkak lebih dari 500 halaman. “Buku ini buku ajaib  karena saking cepatnya. Mungkin karena banyak yang sayang pada Butet,” kata Hairus.

Semua tokoh yang dihubungi langsung setuju untuk menulis, tak terkecuali Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD. Semula penerbitan buku ini dirahasiakan dari Butet. Namun rencana ini gagal saat Mahfud MD justru keliru mengirim tulisan ke Whatsapp Butet. Butet pun terkejut atas kiriman itu.

“Uopo iki? Duite teko endi? Tapi buku ini bergerak dalam senyap. Saya diam aja kayak manten tahu-tahu jadi. Dalam tempo yang sangat singkat, buku ini jadi dan mampu menyemangati saya,” komentar Butet.

Agenda kedua penyemangat Butet datang dari 60 perupa yang menyiapkan lukisan untuk pameran ‘Menawar Isyarat’ di Sangkring Art Space. Lukisan dalam pameran ini dibikin di media berukuran khusus, 60×60 cm, untuk menandai ultah si sohibul hajat. Sejumlah karya pun menangkap langsung wajah dan mimik Butet dalam berbagai gaya.

Nasirun, contohnya, mempersembahkan lukisan ‘Asu Gede Menang Kerahe’. Karya ini menampilkan tiga ekor anjing berkepala manusia dan salah satunya adalah Butet. Di atasnya, nyaris mengisi setengah lukisan, Nasirun menuliskan ‘asu’—pisuhan keakraban yang kerap dilontarkan Butet termasuk di sore itu.

Selain ukuran wingit 60×60 cm, ada satu karya yang menarik perhatian karena menyalahi aturan dengan ukuran hingga selebar 260×210 cm.  Lukisan karya Bambang Darto buatan Bambang Darto pada 2002 itu sekilas mirip ‘Penjaga Malam’-nya Rembrandt. Namun selain ada bendera Merah Putih, di sana terselip sosok Butet dalam riasan dan kostum ala Punakawan seperti pernah ditampilkan di salah satu pentas monolognya.

Pameran ‘Menawar Isyarat’ di Sangkring Art Space. Foto oleh Arif Hernawan.

Pameran dibuka sore itu oleh Menteri Perikanan dan Kelautan Wahyu Sakti Trenggono. Bersama sejumlah tamu, Wahyu membuka pameran seni itu dengan pemukulan kentongan.

“Ide-ide Mas Butet luar biasa terutama dalam isu pluralisme. Karya-karyanya adalah wujud dari respons masalah sosial, politik, budaya, hingga agama,” kata Wahyu yang kerap mampir di resto Bu Ageng milik Butet dan memesan menu kepala ikan.

Wahyu bercerita, selepas Lebaran lalu, ia menghubungi Butet untuk bertanya kabar. Bukan hanya dalam kondisi sakit, Butet juga sambat tengah dalam situasi kurang mengenakkan. “Butuh bantuan! Nir-income!” kata Wahyu dan Butet nyaris serentak, ditukasi tawa hadirin.

Selain sepenggal momen haru, perayaan 60 tahun Butet ini sepenuhnya diwarnai suasana kegembiraan. Seperti senyum Butet yang tak berhenti merekah, hadirin juga kerap tergelak oleh celetukan Butet yang tak putus beradu kata dengan MC dadakan, Den Baguse Ngarso alias SusiloNugroho.

Mendengar curhat Butet di atas panggung, Susilo berseloroh bahwa pengakuan Butet itu lebih bagus dari monolog-monolognya selama ini. Menurut Susilo, Butet menjadi tujuannya untuk pinjam duit, seperti halnya banyak seniman bergantung padanya.

“Dadi nek nyawane Butet arep ucul, ditarik meneh,” celetuk dia kepada para pemusik Sinten Remen dan Kua Etnika di pinggir panggung.

Sembari tersenyum, Butet pun menjawab, bahwa momen-momen saat ia terpuruk memang membuatnya jadi spiritualis. Namun lebih dari itu, Butet mengaku ia dapat bertahan dan bangkit kembali berkat semangat para sahabat dan ‘saudara’di sekitarnya dan untuk itu ia harus melanjutkan hidup.

“Saya masih merasa punya tanggungjawab yang besar terhadap lingkungan seni ini. Saya masih punya PR yang banyak,” kata Butet.

BACA JUGA 24 Jam Bersama Damkar Jakarta Timur yang Viral karena Evakuasi Kartu ATM dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version