Bu Tumini dan Warisan Mie Ayam Gagrak Sari Rasa Jatiayu

Bu Tumini, sosok yang disebut sebagai salah satu legenda mie ayam di Yogya. Ia berpulang pada Jumat, 7 Februari 2020. Kepergiannya menyusul sang suami yang telah tutup usia di tahun 1996. Dua pendiri Mie Ayam Sari Rasa Jatiayu ini memang telah tiada, namun warisannya terus berkembang hingga sekarang.

***

Beberapa hari sebelum kepergiannya, Bu Tumini sempat bertukar pesan melalui WhatsApp dengan Tri (32), mantan pegawainya. Ia ingin bertemu dan berbicang dengan Tri. “Beliau minta saya datang ke rumahnya,” kenang Tri.

Namun pertemuan itu urung terjadi, Bu Tumini terlebih dahulu pergi.  Bagi pria asal Solo yang pernah bekerja di warung Mie Ayam Bu Tumini Sari Rasa Jatiayu selama lebih dari sepuluh tahun ini, sang pemilik merupakan sosok yang amat berjasa dalam hidupnya. Perempuan itu memberikan kesempatan pada Tri untuk belajar banyak tentang mie ayam. Sehingga ia bisa membuka warung sendiri seperti sekarang.

Tri bekerja di tempat Bu Tumini mulai tahun 2004 hingga 2018. Ia menjadi saksi bagaimana warung itu bertransformasi menjadi salah satu destinasi mie ayam paling favorit di Yogya. Ya, Bu Tumini mulai begitu dikenal oleh warga Yogya maupun wisatawan dari luar setelah era media sosial berkembang.

Tri sedang menyiapkan mie ayam di warungnya. (Hammam Izzudin/Mojok.co)

Hal itu dibenarkan oleh Eko Supriyanto (43), anak pertama dari pasangan Tumini dan Suparman. Menurutnya, titik awal warung keluarganya berkembang seperti sekarang tak lain karena informasi yang tersebar di media sosial. Kini, setiap hari cabang utama Warung Mie Ayam Bu Tumini di Giwangan mengeluarkan setidaknya 300 porsi untuk pelanggan.

Jika akhir pekan, jumlahnya tentu bisa lebih banyak dari itu. Keterbatasan tempat tak jadi halangan bagi pelanggan. Mereka mengantre untuk bisa menyantap sajian mie ayam dengan kuah kental, rasa manis yang dominan, serta potongan mie yang besar ini.

Di tengah banyaknya warung mie ayam baru yang bermunculan, warung mie ayam yang sudah eksis sejak 1990 ini tetap jadi pilihan bagi banyak orang. Eko juga mengaku keluarganya tak pernah khawatir akan persaingan antar pedagang mie ayam. Baginya, jika kedua orang tuanya masih hidup pun mereka tak akan mengkhawatirkan hal itu.

Ada satu hal yang menurutnya bisa dilakukan untuk mempertahankan dan mengembangkan warungnya, yakni mempertahankan ciri khas yang sudah ada. “Manis dan kuah kental itu ciri utamanya. Kalaupun ada yang meniru itu tidak masalah yang penting kita jaga terus cirinya. Rezeki sudah diatur,” kata Eko.

Memang, mie ayam dengan ciri yang mirip dengan Bu Tumini kini sudah jamak ditemui di Yogyakarta. “Meski resepnya sama, masak itu tanganan, takaran sama dimasak tangan yang beda itu hasilnya bisa agak beda,” ujar Eko, yakin.

Mendidik karyawan agar mandiri

Menurut Eko, resep yang dibuat oleh kedua orang tuanya sudah diketahui banyak orang. Sehingga sebenarnya tak sulit jika ada orang yang mencoba untuk membuat mie ayam serupa. Semisal, mulai dari proses membuat mie mentah, memasak di dapur, meracik bumbu, hingga menyajikan ke pelanggan sudah dipahami detail oleh para karyawan yang pernah bekerja di warung Bu Tumini.

Tri adalah salah satu contohnya, mantan karyawan yang sejak 2019 membuka usaha mie ayam sendiri ini menerapkan banyak hal yang dipelajarinya saat bekerja di sana. Saat berkunjung ke warung mie ayam miliknya yang bernama Warung Mie Ayam Al Fazza di Bangunharjo, Sewon, Bantul, saya menyaksikan penampakan mie dan rasa yang identik dengan sajian di tempat Bu Tumini.

Kuah kental dengan rasa yang manis adalah kuncinya. Meski dengan porsi yang sedikit lebih banyak dari warung tempat Tri sebelumnya bekerja. Ia mengakui dengan santai bahwa mie di sini memang terinspirasi dari tempat Bu Tumini.

Seporsi mie ayam biasa di Mie Ayam Al Fazza. (Hammam Izzudin/Mojok.co)

Meski letaknya di perkampungan yang dikelilingi hamparan persawahan, warung milik Tri terbilang ramai pembeli. Saat saya sampai di sana pukul 14.00, ia sudah bersiap-siap membereskan barang dagangannya. “Alhamdulillah ya rata-rata sehari 12-15 kilo mie habis,” ujarnya dengan bahasa Jawa halus, saat saya temui Selasa (19/4) di warungnya.

Masih segar dalam ingatan Tri saat ia pamit menghadap Bu Tumini. “Bu saya mau pamit kerja, sudah ada modal, mau coba bikin warung mie ayam sendiri,” ucap Tri menirukan caranya berpamitan dahulu.

Mendengar ucapan pamitnya, Bu Tumini mengacungkan jempol. Dukungan penuh diberikan. Menurut Tri, Bu Tumini memang selalu begitu pada setiap karyawannya yang pamit dan izin ingin buka usaha sendiri.

“Nah Ibu itu justru agak nggak seneng, kalau ada karyawannya yang pamit tapi malah mau pindah ngikut orang lain jualan mie ayam. Nggak bikin usaha sendiri,” tambahnya.

Dukungan Bu Tumini agar karyawannya mandiri tak hanya sekadar restu, namun nampak dari cara ia memperlakukan karyawannya saat bekerja. Setiap karyawan di sana diberikan kesempatan untuk mencoba setiap hal. Menjajala bisnis ini dari hulu ke hilir. Mulai dari membuat mie, meracik bumbu, mencincang daging, sampai cara berjualan yang benar.

“Selama di sana ya ada masanya saya di depan jualan, pernah juga di belakang yang bagian masak bumbu, semua pernah saya coba makanya bisa paham ilmunya, termasuk resep-resep di warung sana,” ujar Tri.

Sistem rolling yang diberlakukan membuat para karyawan menguasai ilmu berjualan mie ayam sebagai bekal jika kelak ingin mandiri. Sedangkan bagi pengelola Warung Mie Ayam Bu Tumini, adanya sistem itu membuat mereka tak perlu pusing jika ada karyawan yang izin. “Jadinya semuanya bisa saling back up ketika ada posisi yang kosong,” papar Eko.

Eko Supriyanto di warung Mie Ayam Tumini Junior. (Hammam Izzudin/Mojok.co)

Eko menjelaskan bahwa dulu Bu Tumini memiliki kesadaran bahwa ia tak bisa memberikan honor yang cukup banyak untuk memenuhi segala kebutuhan karyawannya. “Apalagi kalau sudah berkeluarga, pasti kebutuhan bertambah kan. Makanya kami bisanya ajarkan kemampuan, jadi kalau suatu hari mereka sudah ingin usaha sendiri, bisa mandiri,” lanjut Eko.

Tak heran jika ada sejumlah mantan karyawan yang akhirnya membuka usaha sendiri. Baik usaha mie ayam dengan membuka warung maupun gerobak keliling. Selain Tri dengan Mie Ayam Al Fazza miliknya, ada juga Mie Ayam Jati Roso Dek Kenan di Kasihan, Bantul, yang pemiliknya juga mantan karyawan Bu Tumini.

Lagi-lagi, biasanya bercirikan kuah kental dan rasa manis. Hanya ditambah dengan variasi-variasi tertentu. Selain kedua warung mie ayam tadi, masih ada sejumlah lain namun datanya belum terkonfirmasi sampai tulisan ini dibuat.

Tak hanya dari cabang utama, karyawan di warung Mie Ayam Tumini Junior yang dikelola Eko juga beberapa karyawannya ada yang memutuskan membuka usaha sendiri. “Saya ingat yang terakhir pamit, karyawan rumahnya Magelang. Dia mau buka mie ayam sendiri di kampungnya,” ujar Eko.

Sebagian besar karyawan yang mengundurkan diri untuk membuka bisnis sendiri memang pamit ke pihak keluarga Bu Tumini. Namun ada juga yang menghilang beberapa pekan, tiba-tiba terdengar kabar sudah buka warung mie ayam. “Ya ada juga yang seperti itu. Baiknya kan memang pamitan, biar kita siapkan ganti juga. Toh kalau pamit pasti diizinkan dan didukung,” kata Eko.

Warisan mie ayam gagrak Sari Rasa Jatiayu

Warisan yang diberikan Bu Tumini tak sebatas nampak dari mantan karyawan yang akhirnya membuka usaha sendiri. Namun, nama Jatiayu—desa asal Bu Tumini di Gunungkidul—turut dibesarkan dan jadi ciri khas atau gagrak tersendiri di dunia mie ayam.

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) jadi punya gagrak (model) mie ayam yang dikenal luas, seperti halnya mie ayam Wonogirian. Meski sampai saat ini belum saya temui mie ayam dengan label Sari Rasa Jatiayu di luar DIY. Namun jumlahnya sudah cukup banyak tersebar di provinsi ini.

Ide untuk menyematkan nama Jatiayu sebagai identitas dagangnya berawal saat Suparman dan Tumini masih menyewakan gerobak pada pedagang keliling di Yogya tahun 1989. Setiap gerobak tersemat tulisan “Sari Rasa Jatiayu”.

Sosok Bu Tumini dan anaknya, Eko Supriyanto. (Dok. Eko Supriyanto)

Identitas itu lantas dibawa saat pasangan tersebut mulai membuka warung sendiri setahun setelahnya. Mereka ingin mengenalkan desa tempat tinggalnya. “Jadi terkait itu ingin bawa nama desa, Sari Rasa Jatiayu ya maknanya sarine roso seko Jatiayu,” ujar anak pertama pendiri warung ini.

Keberhasilan keluarga Suparman dan Tumini berdagang di Yogya juga membuat banyak saudara-saudara turut mencoba peruntungan yang sama. Kerabat yang ikut berdagang mie ayam ini menggunakan label yang terlebih dahulu dikenalkan warung Bu Tumini yakni Sari Rasa Jatiayu.

Selain melalui saudara, jaringan Sari Rasa Jatiayu juga berkembang melalui lini bisnis produksi mie mentah yang dilakukan keluarga Bu Tumini. Bisnis yang dijalankan sebelum mereka membuka warung sendiri. Banyak di antara para pedagang keliling yang dulunya menyewa gerobak lalu memutuskan menyewa lapak dan tetap menggunakan identitas Sari Rasa Jatiayu.

“Jadi memang yang menggunakan Sari Rasa Jatiayu itu kalau bukan saudara, pelanggan mie mentah dari sini, ya pedagang yang dulunya sewa gerobak,” jelas Eko.

Semua proses produksi mie mentah terpusat di cabang utama yang terletak di utara Terminal Giwangan. Dulunya bisnis produksi mie mentah untuk dijual ke pedagang cukup menjanjikan. Sehari rata-rata bisa memproduksi dua kuintal mie. Namun lama kelamaan, jumlahnya menurun seiring banyaknya pedagang yang mulai membuat mie sendiri.

“Sekarang ya fokus untuk cabang-cabang milik keluarga saja produksi mie-nya. Mesin sudah murah, orang sudah milih bikin mie sendiri,” ujarnya.

Saya perlu berterima kasih pada Mas Veta Mandra, sang empunya akun Twitter @InfoMieAyamYK yang telah memetakan sebagian jaringan mie ayam Sari Rasa Jatiayu yang tersebar di DIY. Mayoritas berada di kawasan Bantul dan merupakan kerabat dari Bu Tumini.

Mulai dari Mie Ayam Bakso As-Sidiq Jatiayu (milik kakak Bu Tumini), Mie Ayam Andini Sari Rasa Jatiayu (milik adik bungsu Bu Tumini), Bakso dan Mie Ayam Sari Rasa Jatiayu Pak Darto, Mie Ayam Purnama Sari Roso Jatiayu, hingga Mie Ayam dan Bakso Dua Putra Sari Rasa Jatiayu. Sebagian dari warung mie ayam tersebut memiliki lebih dari satu cabang dan masih ada lagi sejumlah warung yang membawa nama Jatiayu yang belum tersebutkan di tulisan ini.

Saya sempat mencoba untuk mengonfirmasi lebih detail jaringan mie ayam Sari Rasa Jatiayu ini ke Eka Noviawati, anak kedua Bu Tumini yang mengelola cabang utama warung dan produksi mie mentah. Namun belum ada respons setelah beberapa kali saya kirimkan pesan lewat WhatsApp.

Saya kemudian mencoba mengunjungi warung pada Selasa (19/04) sore, situasi sedang ramai dan padat pembeli. Seorang karyawan di sana yang bernama Anwar (30) menjelaskan bahwa Eka sedang memasak sehingga belum bisa diwawancarai.

Sore itu hujan turun cukup deras. Namun warung peninggalan Bu Tumini tetap ramai didatangi. Ia sudah tak ada di sini, namun terus hidup dalam setiap porsi mie ayam yang ia kreasikan dengan cinta bersama sang suami puluhan tahun yang lalu.

===

Tulisan ini merupakan seri dari liputan “Peta Mie Ayam Jogja”. Mulai pertengahan bulan Maret hingga Juni 2022 setiap akhir pekan ulasan warung mie ayam di Jogja akan hadir menemani pembaca. Liputan “Peta Mie Ayam Jogja” merupakan kolaborasi Mojok.co, Javafoodie, dan @infomieayamYK.

Reporter: Hammam Izzudin
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Mie Ayam Bu Tumini yang Tercipta untuk Manisnya Yogya dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version