Koe tak jak balen wegah (kamu aku ajak balikan nggak mau)
Malah pamer yangmu sing nggawe omah (malah pamer pacarmu yang bikin rumah)
Lha apa yangmu tukang? (Lha apa pacarmu tukang?)
Fisip Meraung, “Balen” (Balikan)
Waktu itu saya mahasiswa baru di Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Sebelas Maret, kampus yang secara aneh namanya disingkat menjadi UNS itu (apa tujuannya untuk mengelabui orang agar ketika ada tebak-tebakan, “Apa singkatan dari UNS?” mereka akan terpeleset menjawab “Universitas Negeri Solo” dengan yakin, padahal salah?).
Oke, abaikan. Fokus ke cerita.
Di antara euforia mahasiswa baru dan angin pancaroba permulaan semester ganjil itu, saya menyadari ada hantu yang bergentayangan di fakultas tersempit di UNS. Namanya Fisip Meraung.
Itu nama sebuah band. Wah, band metal, pikir saya.
Dan saya masih yakin itu band metal ketika mengenal dua personilnya.
“Hei, itu Topik, vokalis Fisip Meraung,” ujar seorang teman sembari menunjuk mahasiswa bertubuh besar. Rambutnya gondrong keriting, jenis gondrong paling sangar. Penampilannya serbahitam, dari kulit hingga pakaian.
Pada kesempatan lain, teman tadi menunjuk seorang mahasiswa berperawakan tinggi. Gayanya cool dan poninya panjang. Sangat emo. Teman saya bilang itu Atip, drumer Fisip Meraung. Kelak, saya akan berteman dengan Atip.
Belakangan, ketika saya untuk kali pertama melihat mereka manggung sewaktu Payung Teduh datang ke Solo, anggapan bahwa mereka band metal itu rontok seketika. Genre mereka ini genre ngga. Nggateli. Untuk yang tidak paham arti kata nggateli, nggateli itu adalah The Panasdalam, Pesawat Tempur, Teamlo, OM PMR (Orkes Moral Pengantar Minum Racun), dan sejenisnya. Tidak ada genre yang lebih tepat untuk melabeli band-band macam itu selain kata Jawa nggateli.
Secara personal, saya benar-benar mengenal Fisip Meraung baru saat mulai berkawan dengan Atip. Perkawanan itu bermula ketika Atip curhat dan minta referensi buku buat skripsinya, yang sampai hari ini belum selesai (dan membuat saya merasa gagal sebagai teman curhat). Atip cuma satu dari sekian banyak kakak tingkat yang mengenal nama saya gara-gara insiden debat yang bikin sakit hati dosen mata kuliah Sosiologi Keluarga.
***
Fisip Meraung terbentuk secara ajaib. Mereka bukan mahasiswa tua yang bosan nggak lulus-lulus lalu memutuskan bikin band (walau saat ini mereka semua memang belum lulus sih, haha). Mereka bersatu ketika masih mahasiswa baru. Lebih tepatnya lagi: mereka bikin band ketika ketemu pas ospek, atau di UNS disebut Osmaru (Orientasi Mahasiswa Baru).
Itu Osmaru angkatan 2011. Bertepatan dengan bulan Ramadan. Selagi menjalankan puasa, mahasiswa baru didera lelah dan bosan dari pagi sampai siang. Topik (Taufiq Cahya Sudirman), mahasiswa baru Jurusan Sosiologi, sambat alias mengeluh kepada Amek (Megananda), mahasiswa baru Jurusan Ilmu Komunikasi yang juga teman SMP-nya, bahwa ia tak kuat puasa dan ingin batal.
Kita sama-sama tahu, siasat menyelamatkan diri dari batal biasanya dengan tidur. Syukur-syukur pas bangun sudah Magrib. Tapi, Amek menawarkan solusi agak aneh.
“Ayo, ngeband wae!”
Yang kalau diterjemahkan berarti, “Ayo, ngeband aja!”
Tiba-tiba datang Atip (Athif Rasyid), mahasiswa Sosiologi anyaran juga, yang baru kenal mereka berdua. Amek langsung bertanya (yang sebenarnya lebih pas disebut menodong), “Kamu bisanya apa? Kamu ngedrum ya!”
Jadilah di siang itu satu lagi band baru lahir di Indonesia. Personilnya tiga orang. Topik (vokalis dan gitaris), Amek (gitaris, sekarang lebih sering pegang bas), dan Atip (drumer, sekarang digantikan Radius dan Atip sendiri jadi manajer band).
Rencana ngeband tersusun di siang itu pula. Lalu, pukul 4 sorenya mereka sudah menyewa studio.
Antara siang dan pukul 4 sore itu mereka bertiga mencoba bikin lagu. Enam lagu berhasil dibikin, kemudian mereka rekam di studio.
Topik: “Awalnya kita rekaman nggak profesional, tapi direkam pakai hape. Hape Nokia.”
Amek: “Nokia 6600.”
Topik: “Ora no (bukan dong), Nokia N73.”
Semua lagu di empat album pertama Fisip Meraung direkam dengan HP Nokia N73. Dari format AMR mereka konversikan jadi MP3. Lagu-lagu itu lantas mereka bagikan lewat situs mikroblog Tumblr.
Mereka baru rekaman profesional pada album kelima, The Best of, dengan materi dari empat album sebelumnya. Ini album profesional yang nggateli. CD-nya dibungkus amplop surat warna cokelat dan ada bonus teh celup.
Amek: “Dulu rekaman targetnya per bulan satu album.”
Topik: “Satu. Ra nggagas sapa sing ngrungokne wis (pokoknya nggak peduli siapa yang bakal dengerin).”
Amek: “Lama-lama setahun tiga, dua, terus sekarang satu. Sak isane (sebisanya).”
Atip: “Ngecu barang. Ngapusi media.” (Kriminal segala. Bohongin media.)
Topik: “Pas itu kita bilang, kita akan rekaman dengan lagu-lagu berbahasa Indonesia … jebule ora. Yen dipikir tenan ki jebul ra isa. Enak nggo bahasa Jawa.” (Ternyata nggak. Kalau dipikir beneran ternyata nggak bisa. Enakan pakai bahasa Jawa.)
Sembilan puluh persen lagu-lagu Fisip Meraung berbahasa Jawa. Sisanya berbahasa asing, entah bahasa China (tentu ngawur-ngawuran), bahasa Thailand (apalagi), bahkan bahasa yang benar-benar asing yang sama sekali tak kita mengerti.
“Jadi, sekarang sudah berapa album?”
Atip: “Total ada empat belas.”
Topik: “Apa iya? Ndik wingi kae empat belas ya? Lali.” (Kemarin itu empat belas ya? Lupa.)
“Kalau lagu-lagunya, total berapa?”
Amek: “Ra mudeng. Mbuh, ra ngerti.” (Nggak tahu.)
Seandainya H. B. Jassin masih hidup, dan pada usia yang keseratus ia bosan dan berhenti mendokumentasikan sastra Indonesia, rasanya ia mesti kenalan dengan Fisip Meraung. Butuh orang seperti Jassin untuk mencatat dan mendokumentasikan lagu-lagu Fisip Meraung. Personilnya sendiri saja sampai tak ingat. Kelewat produktif sih. Kalau ketahuan Idrus, pasti dikatai, “kalian itu bikin lagu apa berak?”
Topik: “Tapi ya itu, ternyata pangsa pasarnya semakin ke sini kelihatan: anak muda, lagi labil, lagi pengin yak-yakan …. Malah, ada orang Jepang yang gandrung sama lagu-lagu Fisip Meraung. Kita nggak menyangka.” (Gimana nerjemahin yak-yakan ya? Nakal-nakalan?)
“Kalau proses kreatif lagu-lagu Fisip Meraung itu bagaimana?”
Topik: “Jan ora dipikir (nggak dipikir). Apa yang tebersit saja, ya dituangkan ke lagu.”
Amek: “Ya bikinnya di rumah, nanti di studio direkam. Kalau masih ada sisa waktu sewa, ya bikin lagu dadakan bisa. Kalau kita mikir mau bikin lagu apa, susah. Tapi, kalau dibiarkan begitu, tahu-tahu kepikiran sendiri.”
“Lalu, bagaimana komentar Fisip Meraung soal perkembangan musik Solo?”
Radius: “Dulu zamanku SMA, band kalau belum masuk radio itu belum ngeband. Main event saja juga sudah bagus. Tapi, sekarang itu, gigs bersponsor rokok yang berkuasa. Event komunitas hanya satu-dua saja, cuma tidak bisa sebesar gigs sponsor rokok. Tapi gigs sponsor rokok untung tidak buta mata, mereka masih melihat potensi di daerah. Fisip Meraung ini juga kebawa event-event besar mereka. Misalnya, orang kenal Fisip Meraung karena jadi salah satu band pembuka Payung Teduh, begitu.”
Akhir-akhir ini musik Solo mulai dikenal khalayak luas. Kita kenal banyak band-band keren dari Solo: Jungkat-Jungkit, Soloensis, Teori, The Mudub, Merah Bercerita, dan masih banyak lagi. Namun, acara musik di Solo sendiri relatif terbatas, tak seramai dulu. Bahkan, menggelar acara musik di kampus asal Fisip Meraung pun sulit. Baru berapa acara musik saja yang berhasil. Sisanya, di kampus, musik dimampirkan sebagai penutup atau selingan dalam seminar, pameran, dan sebagainya.
Topik: “Ya makin ke sini, aku harapannya ke Fisip Meraung ya memang kita idealis, tapi ya piye carane (gimana caranya) band kita itu longlast, evergreen. Tidak melulu idealis, tapi ya tetap klien yang mengundang kita coba synchronized-kan agar … bersama, ngono lho (gitu lo).”
Hening sejenak.
Atip: “Ngomong opo koe mau, Pik?” (Ngomong apa sih, Pik?)
Topik: “Aku tak mulih sik ya. Isa muni bersama i lho, cangkemku. Aku kesel e ket esuk mikir terus, anjir.” (Aku pulang aja ya. Mulutku kok bisa ngomong “bersama”. Aku capek dari pagi mikir terus. Anjir.
“Pesan-pesan nggo pembaca Mojok wis.” (Pesan untuk pembaca Mojok aja deh.)
Topik: “Pesan untuk pembaca Mojok: jangan lupa follow Instagram kita, karena Instagram kita follower-nya hanya tiga, yang dua akun porno, yang satu itu akun fake yang kita buat sendiri. Jadi, follow Instagram-nya @fisipmeraung, silakan menerima Fisip Meraung apa adanya ya, karena kita tidak ada apa-apanya. Selalu dengar karya-karya kita di fisipmeraung.tumblr.com, subscribe channel YouTube-nya, dan dukung terus permusikan China mbeling.”