Bermacam Alasan Orang Pilih Sapaan ‘Mba’ daripada ‘Mbak’ 

mengapa orang jakarta memilih menyapa dengan sapaan mba daripada mbak bahasa jawa mojok.co

mengapa orang jakarta memilih menyapa dengan sapaan mba daripada mbak bahasa jawa mojok.co

“Mbak” adalah sapaan khas Jawa yang lumrah digunakan sebelum “kak” semakin populer. Panggilan ini biasa ditujukan kepada perempuan yang lebih tua atau kepada perempuan yang masih asing.

Umumnya “mbak” dilafalkan sebagaimana ia ditulis. Dengan bunyi /k/ yang terdengar di akhir. Walau memang di sebagian tempat ada variasi penyebutan. Misalnya di wilayah ngapak Banyumas-Cilacap-Tegal-Purbalingga-Banjarnegara dan sebagian Kebumen, “mbak” diucapkan dengan tekanan yang lebih dalam pada bunyi /b/.

Namun, jika kamu orang Jawa yang sering berinteraksi dengan orang non-Jawa, terutama yang berdomisili di Jakarta dan Jawa Barat, kamu akan menyadari mereka biasa mengucapkan “mba” tanpa bunyi /k/ itu. Atau sebaliknya, jika kamu penghuni Jakarta dan sekitarnya, lalu merantau ke Jogja, Jawa Tengah, maupun Jawa Timur, kamu akan merasa, “Kok di sini ‘mbak’-nya pake /k/ banget ya?” alias sangat medok.

Preferensi memakai “mba” ketimbang “mbak” itu juga terasa sampai ke ketikan. Ada orang yang lebih nyaman ngetwit atau chatting dengan “mba”. Kemungkinan besar kamu pernah menemukannya, cuma nggak ngeh aja.

Kenapa sih “mba” dan bukan “mbak”? Fenomena ini bikin Mojok penasaran. Karena itu, kami coba menjawabnya dengan bertanya kepada anak-anak di Jakarta tentang kecenderungan mereka tersebut.

Yang pertama adalah Meidiana, remaja Jakarta yang sedang kuliah di Magelang, Jawa Timur Tengah dan kini sudah menginjak semester 6. Sejak dulu ia biasa memakai pelafalan “mba” ketimbang “mbak”, termasuk melakukannya saat chatting. Tersebab sudah biasa, tinggal tiga tahun di Jawa Tengah masih sulit mengubah kebiasaan Meidiana. Ia mengaku sampai saat ini masih menulis “mba” tanpa k.

Alasan Meidiana sih, ia condong memakai “mba” karena terbawa lingkungan di Jakarta. “Di Jakarta jarang sekali ada yang menggunakan kata ‘mbak’ dengan bahasa yang medok, kalau di Jawa kan memang logatnya mereka yang sudah sering kali menggunakan huruf k di akhiran kata ‘mba’,” jelasnya.

Iqbal, mahasiswa asal Bekasi yang sudah empat tahun menetap di Magelang, juga punya alasan sama. Ia tetap menggunakan lafal “mba” karena sudah dari kecil melihat keluarganya melakukan itu, termasuk saat mengetik di WhatsApp. Ia bahkan baru mengenal lafal /mbak/ sejak merantau ke Magelang.

“Menurut aku untuk diri aku sendiri aneh untuk diganti jadi ‘mbak’ gitu. Karena kan udah terbiasa pakai ‘mba’. Jadi mending tetap pakai pelafalan ‘mba’ aja. Kalau berbicara kan sama saja (artinya), cuma beda di medok atau nggaknya,” kata Iqbal.

Di kampung mereka, baik Iqbal dan Meidiana bilang sebenarnya “mbak” rada nggak umum dipakai buat menyapa. Mereka justru lebih biasa memanggil perempuan lebih tua dengan sapaan “kak”. Lagian, kata Iqbal, panggilan “kak” lebih berterima buat banyak orang.

“Kan banyak juga ya orang-orang yang tidak mau dipanggil dengan sebutan ‘mba’, jadinya kalau ada orang yang baru aku kenal di Jakarta, menyapanya dengan panggilan ‘kak’ aja gitu sih,” ujar Iqbal.

Lain lagi dengan Fanny, remaja kelahiran Jogja yang sempat tinggal di Jakarta, namun kini kembali berdomisili di Jawa Tengah. Justru Fanny merasa rada aneh jika ada orang yang menyebut atau typing dengan kata “mba”. Ya gimana, dia lebih sering mendengar “mbak” digunakan. Ia sendiri lebih sering menjumpai “kak” dipakai di Jakarta ketimbang “mbak”.

Tapi Fanny maklum, menduganya karena kebiasaan. “Aku waktu di Jakarta jarang denger orang manggil ‘mba’. Lebih sering dipanggil atau manggil dengan sebutan ‘kak’ untuk perempuan. Jadi menurut aku, lingkungan tempat tinggal dan kebiasaan juga mempengaruhi dalam penyebutan seseorang,” ujar Fanny.

Alhasil Fanny jadi terbawa. Jika bertemu orang yang baru dikenal, ia selalu melihat orangnya terlebih dahulu. Saat bertemu orang usianya lebih muda, ia akan menyapa “dek”. Tapi apabila si tamu berusia sama atau lebih tua sedikit dari dia, ia menyapanya dengan sebutan “kak”. Ia baru memakai “mbak” jika sedang di daerah selain Jakarta, dan hanya kepada perempuan yang menurutnya berusia lebih tua tetapi belum menikah.

Di luar soal kebiasaan, ada juga yang pernah menjumpai bahwa “mbak” di Jawa Barat memang punya stereotip jadi panggilan khusus untuk pembantu dan pedagang kaki lima. Itu dialami Lia, warga Kabupaten Cilacap yang terkenal dengan tekanan /k/-nya yang khas itu. Lia sempat menetap di Bandung sebentar, lalu sejak tiga tahun lalu tinggal di Jakarta dan Banten.

“Aku jadi inget dulu manggil ‘mbak’ ke tetangga kosanku di jatinangor, dia orang Sunda gitu. Terus sama kakakku akunya diomelin. Katanya, jangan manggil ‘mbak’, soalnya temenku yang orang Sunda terbiasanya ‘mbak’ itu untuk pembantu atau bakul apa gitu yang di pinggir jalan. Takut dia tersinggung. Akhirnya aku bukannya ngubah ‘mbak’ jadi ‘mba’, sekalian ubah manggil teteh. Wkwk,” cerita Lia.

Menurut Lia, bunyi /k/ yang hilang itu mungkin-mungkin aja dipilih karena netral. “Mungkin karena /k/ itu kesannya terlalu Jawa gitu nggak sih? Jadi nganggep ‘mba’ itu udah paling netral, nggak pakai logat gitu….”

Konotasi “mbak” dan pembantu juga mudah ditemukan di Jakarta. Jika menyimak ujaran para artis, bahkan “mbak” sudah menjadi kata ganti untuk pembantu. Tapi karena laporan ini dibuat bukan untuk menghakimi, kalau ada pesan moralnya ya hanya satu: jika kamu orang Jakarta atau Jawa Barat yang disapa “mbak” oleh orang Jawa, jangan tersinggung ya. Di Jawa sapaan itu justru tanda hormat kok 🙂

Reporter: Indah Khusuma Wardani

BACA JUGA Kisah Sopir Jogja-Kaliurang yang Tak Lagi Punya Penumpang dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

Exit mobile version