Setelah 10 tahun menggunakan nama Sisir Tanah, kini Bagus Dwi Danto tampil dengan namanya sendiri. Sisir Tanah telah ia jadikan monumen. Dan di album terbarunya Danto tampil lebih dewasa.
***
Malam itu, Sabtu (11/12/2021) wajah Bagus Dwi Danto atau kerap dipanggil Danto agak terkejut. Di tengah-tengah jeda lagu saat melangsungkan pertunjukkan musiknya ia diinterupsi oleh MC.
Rupanya ada kejutan sederhana dari seniman Arya Pandjalu—pengelola Sayap Ruang Seni dan Warung Blues Omah Cepit—yang mengundang Danto tampil malam itu. Arya memberikan sebuah karya lukis miliknya untuk Danto.
Seperti diceritakan oleh Danto kepada Mojok, mereka berdua adalah sahabat sejak lama, jauh sebelum karir bermusik Danto melejit seperti sekarang. “Mas Arya sebagai pemilik ruang itu sahabat lama yang ngikutin banget aku sejak dari nol. Beliau banyak support,” ucap Danto, Sabtu (11/12) siang.
“Jadi ketika beliau punya ruang ini, aku punya cara yang sekarang bisa men-support kegiatan mas arya,” imbuhnya.
Pertunjukkan musik Bagus Dwi Danto malam itu berlangsung khidmat. Dengan penonton yang sengaja dibatasi Danto memainkan lagu-lagu dari album terbarunya Kudu. Seperti “Lagu Hari Ini”, “Lagu Basah”, “Lagu Cinta”, “Lagu Damai”, dan “Lagu Bebal”. Album Kudu baru saja dirilis Oktober 2021 dan sudah bisa didengarkan di platform musik digital Spotify.
Selain membawakan lagu baru, beberapa nomor dari album pertama yang bertajuk Woh juga ia nyanyikan. Total ada belasan lagu yang ia bawakan malam itu.
Yang menarik malam itu Danto tampil dengan nama sendiri: Bagus Dwi Danto. Berbeda dengan sebelumnya yang kita kenal dengan nama panggung Sisir Tanah. Tentu saja ada alasan mengapa nama panggungnya berubah.
Mojok mewawancarai Danto ihwal perubahan ini sekaligus bertanya soal album barunya. Ditemui sesaat setelah sound check selesai, berikut petikan wawancaranya:
Konser ini bagian dari ‘Kudu Wani Tur 2021’?
Bisa diklaim demikian, kalau formatnya seperti ini (main sendiri) bisa aku bilang bagian dari tur. Atau dibilang terlepas dari tur juga bisa.
‘Kudu Wani Tur 2021’ udah jalan ke mana aja?
Sebenarnya nggak banyak. Di Jawa Timur aku ke Malang, Bangkalan (Madura), dan Gresik. Di Sumatera kemarin ke Medan, Jambi, Pekanbaru, dan Palembang. Sama ke Salatiga juga. Titiknya agak jauh-jauh. Tur mulai bulan Oktober 2021 setelah album keluar.
Ini tur pertama selama pandemi?
Selama pandemi tur sebetulnya udah lima kali. Awal-awal dulu sama Iksan Skuter dan Jason ranti. Waktu itu pandemi sudah agak lama dan belum ada orang yang berani gerak. Sempat berempat juga dengan Fajar Merah. Kami sudah mulai mlipir-mlipir jalan, dengan ticketing dan protokol kesehatan yang ketat. Penonton dibatasi dan nggak berani publikasi yang berlebihan.
Album baru ‘Kudu’ ada ambience unik di setiap lagu?
Iya jadi itu kan rekam bergerak. Semuanya kita rekam di luar studio. Kami membawa laptop, soundcard, dan seperangkat media rekam yang cukup proper. Jalan di beberapa titik di Bali: Canggu, Denpasar, Ubud.
Di Canggu itu di pantai nelayan dan di persawahan. Di Denpasar di Taman Baca Kesiman, tempat teman-teman Nosstress biasa ngumpul di sana. Kalau di Ubud di Studio Kebon. Karena memang di luar ruang ambience-ambience itu sengaja disadap aja. Kesannya lo-fi.
Materi album ‘Kudu’ dipersiapkan sejak berapa lama?
Kalau materi sudah lama. Aku sudah punya materi sampe album ke-4 mungkin. Tapi ya pelan-pelan. Aku punya lumbung karya gitu modelnya. Kalau lagi paceklik ide tinggal ngambil dari lumbung-lumbung itu.
Misalnya ngambil lirik atau nada. Biasanya di handphone atau yang teks di buku-buku tak simpen jadi satu. Bisa di banyak tempat sih tapi masih inget lah tempatnya di mana.
Konsep album ‘Kudu’ seperti apa?
Album ini nggak punya terlalu banyak keinginan besar. Cuma ingin terus berkarya aja di tengah situasi pagebluk yang cukup sulit ini. Mungkin untuk beberapa orang musisi atau seniman itu akan mengalami masa-masa yang sulit, aku dengan cara seperti ini pertama-tama ingin menyemangati diriku sendiri dan siapa tahu ada feedback dari orang-orang bahwa kita masih bisa bikin sesuatu di masa yang sulit ini.
Makanya memang sengaja bikinnya dengan perangkat-perangkat rekaman yang sebenarnya hampir bisa dimiliki semua orang. Dan platform digital itu mau menampung kualitas-kualitas yang memang seperti itu.
Album ini tak produseri sendiri di bantu sama teman-teman di Bali dan ada juga dari Jawa Timur. Sebenarnya di tengah kata-kata sendiri itu nggak benar-benar sendiri. Karena di belakang kerja-kerja musikalitas para musisi itu sebenarnya yang terlibat banyak banget. Seolah-olah aja sendiri di panggung. Padahal turun dari panggung ya nggak. Kami ditopang oleh banyak pihak. Dan nggak bisa dengan jumawa bilang ini sendiri.
Proses pengerjaan berapa lama?
Rekamannya satu minggu. Satu minggu itu dapat dua belas lagu. 4 hari kerja lah selang-seling.
Perbedaan yang paling besar dari album ‘Woh’ dan ‘Kudu’?
Teknis sih sebenarnya. Secara teknis dulu rekaman di studio dengan prakondisi yang lebih proper dan melibatkan banyak banget teman-teman musisi Jogja. Yang kedua ini improvisasinya lebih besar.
Kita nggak punya target untuk harus bagaimana nanti ke depan atau nggak punya timeline yang tetap. Secara mental album yang kedua ini lebih dewasa. Aku lebih bisa menerima banyak kekurangan di banyak hal-hal teknis.
Kalau dicermati itu ada satu lagu judulnya “Lagu Cinta” itu ada suara dobel ditumpuk itu sebenarnya bukan gimmick. Ya, memang itu udah terlanjur dimixing dan mastering tapi teksnya ternyata salah yo wes ditumpuk. Jadi sudah seringan itu menjalani proses bermusik.
Karena orang-orang juga sebagian besar mereka menyimak lirik. Tidak terlalu mengikuti karena musikalitasku yang mumpuni. Tapi lebih ke mendengarkan kata-kata yang ada di dalam laguku.
Kenapa di judul lagu dominan diawali dengan diksi ‘lagu’?
Sebenernya nggak sengaja. Dulu ada “Lagu Hidup”, “Lagu Baik”, terus aku merasa bahwa ini bisa jadi pola ciri khasku. Musisi lain pasti ada juga yang punya pola seperti itu. Aku tinggal mikirin kata sifat di belakang lagu itu apa.
Akhirnya sekarang jadi terpola. Itu memudahkan untuk nggak perlu pusing mikirin judul yang penting bikin karyanya dulu judulnya bisa kusiasati. Tinggal mikirin diksi dibelakangnya yang nyambung dengan isi lagunya.
Ada alasan kenapa nggak pakai lagi nama Sisir Tanah?
Nggak ada sih. Itu dulu desainnya memang project musik aja. Didesain memang 10 tahun. Setelah 10 tahun pengen punya desain lain supaya lebih dinamis dan nggak mentok di satu ruang. Dan bagiku dengan sekarang pakai nama sendiri aku jadi lebih bisa jadi diri sendiri.
Kalau Sisir Tanah kan aku punya tanggung jawab yang lebih lebar karena orang mengenalnya sebagai bagian dari gerakan sosial. Sementara aku sendiri sebagai musisi kadang-kadang butuh ruang untuk berekspresi jadi diri sendiri. Dengan nama ini aku jadi lebih punya ekspresi yang lebih jujur.
Dan karena di tahun ke-10 itu juga aku ingin menjadikannya monumen yang baik sebelum ke depan ada potensi jadi tidak baik. Sehingga ini bisa aku letakkan dan sebagai pengalaman baik bagi banyak orang. Sekarang proyek dengan namaku sendiri. Bayanganku nanti aku punya proyek lain lagi mungkin 10 tahun lagi. Jadi biar ada timeline yang panjang di karir bermusikku.
Refleksi 10 tahun bermusik seperti apa?
Sebenarnya sebelum Sisir Tanah, 10 tahun sebelumnya aku punya momen berkesenian di luar Sisir Tanah. Tapi mungkin karena tidak tertangkap oleh publik. Sisir Tanah bagiku adalah pencapaian besar karena di sana aku belajar banyak hal dan bertemu banyak orang. Dan sangat jadi pondasi dengan apa yang aku kerjakan sekarang. Minimalnya secara attitude. Jadi apa yang aku kerjakan di Sisir Tanah beberapa nilainya masih aku bawa sampai sekarang.
Flashback fase sebelum Sisir Tanah itu seperti apa?
Tahun 1999 dulu aku udah main band di kampus, lalu bubar, trus maen teater dan komunitas sastra, performance art. Kalau di Jogja ini kan circlenya hangat jadi kemungkinan besar untuk bertemu orang yang layak dijadikan mentor itu banyak.
Tahun 2010 aku merasa harus punya pilihan tegas mau jadi apa. Aku balik lagi ke musik lalu bikin Sisir Tanah. Tahun 2016 mulai ancang-ancang bikin album dan 2017 baru bikin album. Aku kadang-kadang agak klenik gitu, tahun ke-7 kalau kata orang Jawa itu pitu, pitulungan.
Tadinya malah nggak mau bikin album. Cuma dibagi-bagikan aja di Soundcloud. Awalnya orang kan tahunya kan dari Soundcloud. Bikin album karena dorongan teman-teman sebenarnya. Kalau dulu tinggal taruh di Soundcloud lalu tinggal pergi. Kalau teman mau lagunya tinggal tak kopiin. Cuma kemudian karena bersinggungan dengan industri musik jadi logika-logika industrinya secara organik tumbuh. Ya selalu ada plus dan minusnya. Aku menerima itu dengan santai.
Jadi proyek sekarang dengan nama sendiri ini lebih personal?
Sekarang sangat personal. Kalau dulu kepikiran untuk memperjuangkan banyak hal. Tapi ternyata kemudian di masa pandemi ini renunganku adalah kalau aku belum selesai dengan diriku kayaknya ngurusin yang besar akan jadi nggak imbang. Jadi aku coba balik ke diri sendiri dulu, menyelesaikan PR (pekerjaan rumah) yang harus diselesaikan. Makanya kemudian memang aku jadi membuat cukup jarak juga dengan yang kemarin cukup aktif di banyak isu.
Sisir Tanah lekat dengan gerakan sosial itu membebani ga?
Secara pribadi sebenarnya iya karena kadang-kadang orang-orang masih mengaitkan apa yang dikerjakan sekarang dengan yang dulu tapi ya nggak apa-apa itu memang resiko dari apa yang pernah kita kerjakan. Sampai saat ini masih jadi kebanggan pribadiku juga karena pernah punya Sisir Tanah.
Kadang-kadang ada beban juga harus gini dan gitu tapi kemudian kalau aku ingin menunjukkan bahwa sekarang sudah punya proyek baru ya nggak apa-apa jadi diri sendiri aja. Pelan-pelan. Kayak dulu kan aku nggak ngambil rokok tapi sekarang ngambil di DCDC. Nah perubahan-perubahan itu disadari atau tidak oleh orang-orang jadi simbolik menunjukkan bahwa memang ada perubahan dalam caraku mendistribusikan karya.
BACA JUGA Melihat Silampukau dari Dekat dan liputan menarik lainnya di Susul.