Asyik Mendengarkan Musik dari Rilisan Fisik

Asyik Mendengarkan Musik dari Rilisan Fisik

Asyik Mendengarkan Musik dari Rilisan Fisik

Semua ini berawal dari sebuah promosi yang dilakukan oleh seseorang mengenai acara Record Store Day melalui sebuah cuitan di Twitter yang mengundang ketertarikan saya. Acara yang katanya jadi titik temu para pemburu rilisan fisik di Yogyakarta dan kota-kota sekitarnya.

Sebagai orang awam, saya sendiri bertanya-tanya: kayak gimana ya, acara Record Store Day itu? Kok, di pamfletnya ada ilustrasi kaset, vinyl, microphone? Apa acaranya semacam pameran? Atau kayak sunmor yang isinya lapak-lapak jualan tapi khusus kaset-kaset gitu?

Hunting rilisan fisik hingga lemper di RSD

Saya bertandang ke acara Record Store Day (RSD) pada Sabtu malam, 12 Juni 2021 di Balakosa Coffe & Co, bersama seorang kawan. Record Store Day merupakan acara untuk memperingati hari rekaman fisik sedunia.

“Ini tuh acaranya semarak di dunia dalam rangka perayaan hari rekaman fisik sedunia (record store day). Nah, tiap kota-kota besar di Indonesia kayak Jakarta, Bandung, Bali, Jogja, dll, pasti ngadain acara ini tiap tahunnya,” kata Faris yang juga seorang rilisan fisik hunter saat saya temui di RSD.

Di acara Record Store Day malam itu, saya menjumpai berbagai stan yang menjual kaset-kaset, CD, dan vinyl atau piringan hitam. Nggak cuma rilisan fisik dari lagu-lagu lawas atau lagu-lagu barat saja, tapi ada juga lagu-lagu lokal dan lagu-lagu terbaru.

“Aku sih jualnya yang lokal-lokal aja, kan sama kaya nama tokoku, Lokal Space. Ada kaset-kaset sama CD lokal,” ujar Mas Andre (30), pemilik record store Lokal Space.

Malam itu, lokasi dipenuhi oleh orang-orang yang mayoritas berpakaian serba hitam, entah itu dari pengunjung maupun para pelapaknya. Saya sempat kepikiran, apakah berpakaian serba hitam itu semacam dresscode atau malah ciri khas yang diusung oleh Record Store Day?

“Haha, gak ada. Kalo aku sih, lebih enak item, gak mudah kotor. Soalnya kan seharian di sini,” ujar Mas Menus (40), salah satu anggota aktif dalam Jogja Record Store Club yang juga menggelar lapak record storenya di acara RSD ini.

Saya dalam hati mensyukuri kostum yang saya kenakan malam itu, yakni celana tentara, baju hitam, dan jaket abu. Bedanya, ketika yang lain sepatuan, saya sandal jepitan.

Mas Menus juga mengatakan bahwa RSD, adalah agenda tahunan yang kalau di Yogyakarta diselenggarakan sejak tahun 2013. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mendukung usaha record store yang dikelola oleh perorangan dan memfasilitasi para kolektor rilisan fisik.

“Kalau RSD spotlight-nya ya lapak-lapak record store ini. Kan namanya record store day,” kata Mas Menus ketika saya tanya dengan noraknya, kok nggak ada agenda tambahan semacam live music atau konser band tertentu.

Bagi saya yang baru pertama kali bertandang ke RSD, acara ini sesuai dengan apa yang saya bayangkan. Selain dipenuhi oleh lapak-lapak untuk berjualan barang-barang rilisan fisik, ada juga lapak yang menjual merchandise dari band-band tertentu, seperti baju, box hampers dari band tertentu, artwork, topi, dan bahkan lemper.

“Aku bagian ngurusin artwork-nya Senyawa Band. Aku di sini (di acara Record Store Day) bertiga. Aku ngurusin bagian artwork, temenku satunya ngurusin bagian rilisan, terus yang satunya lagi ngurusin masakan eksperimental,” kata Mas Sopeng (27) sambil menunjukkan lemper berukuran sebesar lontong berisi ikan tongkol yang juga dijualnya dengan harga Rp16.000/lempernya.

Selain itu, saya juga bertemu dengan orang-orang dari Demajors. Demajors merupakan sebuah label musik dan juga label distributor rilisan fisik di Indonesia.

“Yah, temu kangen gitu lah, sama temen-temen. Soalnya yang abadi adalah pertemuan tatap muka.” ujar Mas Tri (40) ketika ditanya keperluan beliau berkunjung ke Record Store Day malam itu.

Senada dengan Mas Tri, Mas Bruri (28) yang datang jauh-jauh dari Semarang, yang juga berasal dari Demajors cabang Semarang, sengaja berkunjung ke RSD Yogyakarta untuk hunting rilisan fisik dan juga berjumpa dengan teman-teman sesama pegiat rilisan fisik.

Rilisan fisik adalah bagian dari memori hidup

Di era digital ini, sudah banyak kita temui berbagai media yang memberikan kemudahan akses pada kita untuk mendengarkan musik di mana saja dan kapan saja melalui smartphone.

Mudahnya saja, untuk mbribik gebetan lewat sebuah lagu, tinggal kirim playlist Spotifymu yang berisi lagu menye-menye bin nggatheli yang sudah kamu susun sedemikian rupa berdasarkan judul ke doimu itu biar doi menjadi peka dan kesengsem balik padamu. Atau mengirim link playlist Youtube Music berisi lagu kesukaanmu dengan tujuan membranding diri pada gebetan lewat lagu-lagu kesukaanmu.

Lalu ketika kalian berhasil jadian, tentu saja agenda mbribik dengan kirim-kiriman playlist favorit akan menjadi sebuah kenangan yang tak terlupa, seenggaknya sampai hubungan kalian berakhir.

Akan tetapi, setelah saya berkunjung ke Record Store Day, saya tiba-tiba jadi kepingin memberikan seseorang yang ada di dalam pikiran saya sebuah walkman sepaket dengan kaset yang isinya lagu kesukaannya. Cuma kepikiran saja sih. Soalnya saya pikir memberikan walkman dan kaset itu akan menjadi pengalaman yang memorable sepanjang hidup. Meskipun terdengar klasik dan jadul, tapi mendengarkan kaset atau piringan hitam ternyata aura dan seleranya enggak sejadul itu.

“Ada memori tersendiri mengenai rilisan fisik,” ujar Mas Andre yang mengaku sebagai kolekdol (kolektor dan tukang dol) rilisan fisik.

“Ada sensasi tersendiri dari dengerin kaset, vinyl. Selain kualitas suaranya lebih bagus, rilisan fisik itu memorable banget. Aku jadi inget, oh, aku beli kaset anu tuh, pas aku SMP. Kan jadi inget masa itu,”

Mas Bruri juga mempunyai anggapan bahwa ada sensasi tersendiri saat mendengarkan musik melalui platform digital dengan rilisan fisik seperti kaset, CD, apalagi piringan hitam. Keduanya berbeda, terutama dari segi kualitas suara.

“Ketika anak-anak milenial mendengarkan musik itu emang lebih mudah aksesnya via digital. Tapi semua akan berbeda ketika mencoba mendengarkan melalui rilisan fisik, contohnya CD.” Saya mengangguk mengiyakan penjelasan mas Bruri.

Hampir sama dengan yang lainnya, Mas Faris juga memiliki jawaban yang serupa.

“Kalau ditanya lebih seneng, ya lebih seneng dari kaset, dari vinyl. Aura musiknya lebih dapet sih, menurutku. Coba deh kapan-kapan dengerin musik dari piringan hitam terus bandingin sama dengerin musik dari Spotify. Rasanya pasti beda,” jelas Mas Faris ketika ditanya lebih senang mana antara mendengarkan lagu dari rilisan fisik atau menikmati via digital.

“Bedanya apa?”

Beliau pun mengeluarkan koleksi kaset-kasetnya dan mengambil salah satu kaset untuk dipasang ke walkman.

“Ya dari perasaan dan telinga. Pasti beda. Nih, coba.”

Setelah mendengarkan satu lagu dari kaset album Ismail Marzuki, disusul dengan beberapa kaset dari Dewa 19 dan Chrisye, dalam hati saya mengiyakan anggapan-anggapan dari para narasumber. Ternyata mendengarkan musik dari kaset rasanya betul-betul berbeda dengan mendengarkan musik dari smartphone. Serius, cobain deh!

Mengapresiasi karya para musisi melalui rilisan fisik

Ada banyak cara untuk mengapresiasi sebuah karya yang sudah susah payah dibuat oleh sang seniman. Dalam konteks digital artworks, misalnya, bisa dengan menahan diri untuk tidak bilang,

“Kan cuma gambar rumah pake komputer, masa mahal banget. Harga temen bisa lah, ya?”

Dalam seni musik, selain mengapresiasi karya para musisi dengan tidak mengunduh lagunya secara gratis dari laman mas-mas berkumis dengan baju garis-garis, membeli rilisan fisik dari karya yang mereka rilis juga merupakan salah satu bentuk dari mengapresiasi karya para musisi.

“Kan kadang lucu juga. Bisa nyanyi, apal liriknya, ntar giliran ditanya punya kaset atau CDnya gak? Eh ndak punya,” begitu ujar Mas Bruri yang saat itu juga membuat saya malu, sebab saya adalah apa yang dibilang oleh beliau.

“Kenapa harus rilisan fisik? Bukannya ada Youtube, ada Spotify, Joox, asalkan legal kan, tetap mengapresiasi karyanya para musisi.”

Mas Tri pun menimpali dengan suara yang tenang, “Joox, Spotify, dan Youtube, kalau menurut saya sih, cuma sebagai wadah promo musiknya aja. Rilisan fisik itu sebagai artefak. Kalau untuk musisinya ya belajar untuk menghargai karyanya sendiri dengan rilisan fisik itu. Kalau untuk kita sebagai penikmat ya menghargai karya seni mereka dengan cara punya rilisan fisiknya.”

Di area RSD, kaset/CD yang baru dijual antara Rp 50.000 – Rp 100.000, kalo yg bekas sekitar Rp 10.000 – Rp 50.000. Kalo vinyl sekitar Rp 350.000 – Rp 500.000, vinyl bekas dari Rp 50.000-Rp 250.000.

Pengalaman saya menghadiri Record Store Day malam itu membuat saya selalu mengatakan “oh, iya juga ya,” atau “hmm bener juga, sih,” meskipun hanya dalam hati. Saya bersyukur bisa menghadiri acara tersebut, selain karena menghadirkan wawasan baru dan membuat saya melupakan kemelut yang sedang menghampiri saya, ya meski cuma sak det sak nyet.

“Semoga generasi era-era 2000-an, yang lahir di era digital, lebih banyak mengapresiasi karya seni melalui rilisan fisik. Soalnya, di tiap rilisan fisik, ada keterangan siapa aja yang terlibat dalam pembuatan musik tersebut. Jadi gak cuma dengerin musik, tapi juga nambah wawasan,” ujar Mas Andri sebagai penutup obrolan kami berdua di Record Store Day di Balakosa malam itu.

BACA JUGA Perempuan yang Membenci Ciuman dan Tak Menikmati Seks liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

 

 

Exit mobile version