Angkringan Nganggo Suwe, Bertahan 50 Tahun, Tempat Nongkrong Cak Nun

Suasana Angkringan Nganggo Suwe. (Hermawan R./Mojok.co)

Angkringan Nganggo Suwe bertahan hingga usia 50 tahun. Angkringan legendaris di wilayah Giwangan dan Kotagede ini pernah jadi jujugan seniman dan budayawan pada masanya. Teh racikannya bikin ketagihan.

***

Gerimis yang turun sejak maghrib tak kunjung berhenti hingga tengah malam, membuat malam Minggu di Jogja tak semeriah malam-malam Minggu biasanya. Jalanan jauh lebih lengang, warung dan kafe tutup lebih awal. Jogja tidur lebih cepat.

Diantono (37), duduk termenung di ujung kursi panjang di angkringan mereka. Nama angkringannya, Angkringan Nganggo Suwe. Satu dari sedikit tempat makan di sudut tenggara Kota Jogja yang masih buka malam itu. Jarang mereka bisa duduk santai pada malam Minggu. Biasanya, dari maghrib sampai tengah malam nyaris tak ada waktu untuk istirahat karena pelanggan terus datang dan pergi.

“Kadang mau tutup sampai enggak enak, karena masih banyak pelanggan yang makan, minum, atau cuma ngobrol sama teman-temannya,” kata Diantono setelah menyalakan rokok filternya, Sabtu (22/1).

Suasana di Angkringan Nganggo Suwe mojok.co
Diantono di Angkringan Nganggo Suwe. (Hermawan R./Mojok.co)

Sebenarnya malam itu Diantono juga sudah akan beberes merapikan dagangannya, bahkan dia telah menutup sebagian rolling door angkringannya. Namun kemudian sepasang muda-mudi datang untuk makan. Tak tega dengan pelanggannya yang sudah datang menembus gerimis, Diantono menunda jam tutup angkringannya lalu membuat dua gelas teh hangat untuk mereka.

“Enggak tega. Siapa tahu mereka sudah nahan lapar sejak sore,” ujarnya.

Angkringannya berada di Jalan Pramuka, Giwangan, Umbulharjo, Kota Jogja, tepat di simpang tiga Jalan Pramuka dan Jalan Tegal Gendu (Kotagede). Menghadap ke timur, posisi Angkringan Nganggo Suwe persis di sudut tusuk sate pertigaan tersebut, posisi yang kerap dihindari orang karena diyakini bakal membawa sial.

“Tapi malah strategis, kita yakin saja sama Gusti Allah yang kasih rezeki,” lanjutnya.

Tak seperti angkringan pada umumnya yang menggunakan gerobak dan ditutup terpal, Angkringan Nganggo Suwe menempati sebuah bangunan seperti warung makan pada umumnya. Bangunan yang digunakan terlihat cukup tua, dengan tembok yang sudah kusam. Wajar, usia bangunan itu memang sudah lebih dari setengah abad. Satu hal yang menunjukkan bahwa usia angkringan itu sudah tua adalah daftar harga yang sudah berkali-kali direvisi.

“Sebelum dijadikan angkringan, dulunya ini rumah biasa, buat tempat tinggal,” kata Diantono.

Asal usul nama Nganggo Suwe

Awalnya, Angkringan Nganggo Suwe juga seperti angkringan-angkringan pada umumnya: menggunakan gerobak dan terpal sebagai penutupnya. Dia adalah Sumiati Adiharjo, sosok perempuan yang mencatatkan sejarah sebagai pendiri Angkringan Nganggo Suwe pada 1972.

Saat itu, di simpang tiga Jalan Pramuka tersebut masih ada pasar, sehingga pelanggan utamanya adalah para pedagang dan para pengunjung pasar. Pada tahun 1980-an, karena dirasa mengganggu lalu lintas, pasar tersebut dipindah agak masuk di sebelah barat Jalan Pramuka, tak jauh dari pertigaan tersebut. Sampai saat ini pasar tersebut masih beroperasi dan dikenal dengan nama Pasar Kebon.

“Setelah pasar pindah, angkringan masuk, rumah ini yang dulu jadi tempat tinggal dipakai untuk jualan,” kata Purwanti (42), anak perempuan pertama Sumiati Adiharjo yang kini melanjutkan usaha angkringan tersebut dibangu oleh Diantono, adik sepupunya.

Tampak depan Angkringan Nganggo Suwe. (Hermawan R./Mojok.co)

Setelah pindah, ternyata ternyata angkringannya justru makin ramai. Dan pada periode awal pindah itulah nama Angkringan Nganggo Suwe tercetus.

Nama itu tercetus karena lamanya Sumiati membuat teh manis. Sebab, dia menyedu setiap tehnya satu per satu, bukan seperti angkringan pada umumnya yang sudah punya cem-ceman sehingga lebih cepat membuatnya. Sementara pelanggannya, sudah menumpuk, bahkan banyak yang mengantre sampai ke luar. Tak sedikit dari mereka yang protes, tapi besoknya mereka datang lagi.

“Sering makanannya sudah habis tapi minumnya belum jadi. Terus banyak yang bercandain, kok suwe, ya sudah dinamai aja angkringannya Angkringan Nganggo Suwe (yang artinya Angkringan Pakai Lama),” lanjut Purwanti.

Metode meracik teh itu masih dipertahankan sampai sekarang, meski pengelolaannya sudah dilanjutkan Purwanti sejak 13 tahun silam. Meski memakan waktu lebih lama, tapi metode itu dapat memberikan rasa teh yang lebih segar dan kuat yang jadi salah satu ciri khas Angkringan Nganggo Suwe.

Teh yang diracik dari teh Pandawa dan Tang itu juga telah menemukan penggemarnya sendiri, sehingga Purwanti takut jika mengubah metode dan resepnya. Pelanggannya bakal kecewa karena tak dapat merasakan teh yang otentik lagi.

“Apalagi nama Angkringan Nganggo Suwe kan juga lahir dari cara bikin tehnya yang lama. Walaupun bikinnya lebih lama, tehnya juga lebih boros, sampai sekarang tetap kita pertahankan demi menjaga kualitas juga,” ujarnya.

Tradisional otentik

Di tengah laju modernitas, Purwanti melihat banyak angkringan-angkringan baru yang mengusung konsep semi-kafe. Namun, saat ditanya, dengan tegas Purwanti mengatakan dia tetap ingin mempertahankan tampilan dan pelayanan yang sederhana dan tradisional seperti sekarang.

Dia takut jika memoles angkringannya dengan konsep kekinian, pelanggan-pelanggan lamanya justru bakal kabur. Dia tak ingin angkringannya nanti terkesan mahal, sehingga membuat orang segan untuk mampir. Purwanti ingin Angkringan Nganggo Suwe bisa tetap memberikan pelayanan yang hangat dengan kesederhanaannya.

“Nanti orang-orang yang uangnya terbatas mau mampir malah takut dulu karena ngira harganya mahal. Kita ingin angkringan kita tetap bisa dinikmati semua kalangan, dari tukang becak sampai pejabat,” ujar Purwanti.

Apalagi sampai sekarang banyak pelanggan-pelanggan lama yang datang kembali untuk bernostalgia. Banyak para mahasiswa yang belasan atau puluhan tahun lalu jadi langganannya, datang lagi bersama anak dan istrinya. Purwanti ingin, mereka masih menemukan Angkringan Nganggo Suwe yang sama seperti yang mereka kenal dulu.

“Jangan sampai nanti mereka datang lagi malah merasa asing karena enggak nemu Angkringan Nganggo Suwe yang pernah mereka kenal,” lanjutnya.

Purwanti saat berbincang dengan Mojok. (Hermawan R./Mojok.co)

Dari pertama bertempat di dalam rumah sejak 80-an sampai saat ini, nyaris tak ada perubahan yang signifikan. Satu-satunya perubahan yang dilakukan hanyalah menambah tempat lesehan supaya bisa menampung lebih banyak orang. Sebab, Purwanti sering merasa tak enak ketika banyak pelanggannya yang harus menunggu di luar karena tempat duduknya penuh.

Purwanti pernah memasang Wifi karena melihat banyak juga anak-anak kuliahan yang mengerjakan tugas di angkringannya. Tapi hanya bertahan beberapa bulan, karena itu malah membuat mereka makin betah padahal sudah waktunya untuk tutup.

“Sampai tutup masih betah, mau tutup kan jadi enggak enak takutnya dikira ngusir,” ujarnya terkekeh.

Untuk menu, Purwanti lebih toleran terhadap perubahan. Sebagai inovasi, dia menambahkan beberapa menu di angkringannya seperti nasi bakar dan burung puyuh goreng. Hampir semua menu yang ada, dimasak sendiri oleh keluarganya demi menjaga cita rasa.

Karena sejak awal bertekad jadi tempat makan yang merakyat, Purwanti juga berusaha supaya harga makanan dan minumannya tetap terjangkau, meski berkali-kali telah mengalami inflasi. Untuk makanan, harganya mulai dari seribu, sampai yang paling mahal adalah puyuh goreng yakni Rp9 ribu. Sedangkan untuk minuman, dimulai dari Rp3 ribu sampai paling mahal Rp8 ribu untuk jahe susu dan asem jahe.

“Semua punya pelanggannya sendiri, ada yang sukanya teh, jahe, atau asem, kalau pas enggak ada ya enggak jadi beli. Tapi untuk makanan yang paling dicari biasanya puyuh goreng sama nasi bakar,” kata dia.

Beberapa kali sempat ada orang yang datang dan ingin membuka franchise Angkringan Nganggo Suwe di tempat lain. Terakhir, seorang teman menghubungi Purwanti, mengatakan ingin membuka Angkringan Nganggo Suwe di Bogor. Tapi Purwanti masih berat hati mengizinkan orang lain memakai nama angkringannya meski nominal yang ditawarkan cukup besar. Pendapatan Rp2,5 juta sampai Rp3 juta sehari, masih lebih dari cukup untuknya dan keluarga.

“Kita kan susah nanti ngontrol kualitasnya, apakah bisa sama kayak di sini, takutnya kalau satu kena masalah yang lain juga ikut kena. Jadi saya bilang, kalau mau buka dengan menu yang sama silakan, tapi jangan pakai nama Nganggo Suwe,” ujar Purwanti.

Tempat ngangkring Cak Nun dan budayawan Jogja

Tak terhitung berapa tokoh ternama yang pernah singgah di Angkringan Nganggo Suwe. Di sisi tembok angkringan, memang terdapat dua foto yang menunjukkan dua orang ternama ketika datang ke Angkringan Nganggo Suwe, yaitu Komeng dan Katon Bagaskara.

Tapi yang tidak ditampilkan di foto jauh lebih banyak. Salah satu yang paling Purwanti ingat adalah budayawan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun. Tak cuman sekali, menurutnya Cak Nun telah beberapa kali, bahkan sering singgah di Angkringan Nganggo Suwe.

“Paling suka teh panas. Mungkin sama budayawan lain ada yang perlu diobrolin, terus ngobrolnya di sini,” ujarnya.

Foto Katon Bagaskara dan Komeng di dinding Angkringan Nganggo Suwe. (Hermawan R./Mojok.co)

Selain Cak Nun, Susilo Nugroho atau dikenal dengan Den Baguse Ngarso dan personel Sheila On 7 juga pernah ngankring di sana.

“Masih banyak lagi sebenarnya, para seniman sama budayawan sering ke sini,” lanjutnya.

Tapi yang paling mengagumkan dari Angkringan Nganggo Suwe bukanlah karena pernah dikunjungi tokoh-tokoh besar dan ternama. Yang paling mengagumkan justru karena dia bisa bertahan hampir setengah abad.

Masa-masa kritis berhasil dilewati, dari mulai maraknya kekerasan yang berujung pada tragedi penembakan misterius (petrus) pada 1983, reformasi pada 1998, hingga yang sampai sekarang masih dihadapi adalah pandemi COVID-19. Selama pandemi, tak terhitung berapa banyak usaha kuliner yang tutup dan bangkrut, tapi sampai sekarang Angkringan Nganggo Suwe masih bertahan meski Purwanti mengakui tahun pertama pandemi adalah masa-masa yang sangat berat.

Telaten dan jarang libur, begitu kata Purwanti ketika ditanya rahasianya bisa bertahan selama itu. Meski kadang hasilnya tak seberapa, tapi dia tetap berusaha untuk membuka angkringannya. Hampir tak ada libur, bahkan saat lebaran dia tetap buka.

“Kalau keseringan libur, pelanggan kan jadi males mau datang lagi. Takut juga nanti mereka kecewa, sudah jauh-jauh datang ternyata pas sampai malah tutup. Jadi jangan sampai kecewakan pelanggan,” tutup Purwanti.

Reporter : Hermawan R.
Editor : Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Tukang Cukur Tradisional Vs Barbershop: Beda Kelas, Beda Kualitas? dan liputan menarik lainnya di Susul.

 

Exit mobile version