Hal yang paling saya khawatirkan ketika bertemu dengan Anang Batas dan ngobrol dengannya adalah munculnya plesetan-plesetan yang akan membuat pecah tawa. Kali ini, ia lebih banyak diam, mungkin takut burung yang ia incar akan terbang
***
Satu setengah jam menunggu di gubug belakang rumah Pak Samijo, Jatimulyo, Kulonprogo Anang Batas dan Marzuki Mohammad a.k.a Kill The DJ keluar cengengesan. Tangan mereka menenteng kamera berlensa tele. Burung Raja Udang Api yang mereka tunggu tak kunjung datang.
Satu jam pertama saya masih ikut mereka di dalam gubug kamuflase yang jadi tempat bersembunyi sekaligus tempat mereka membidikan kamera dari lubang intip. Di depan gubug itu ada kubangan air yang sengaja diberi ikan kecil-keci. Di situlah Raja Udang Api biasanya bertengger untuk kemudian menyergap ikan di kolam.
Saya memutuskan untuk keluar dan berbincang dengan Pak Samijo. Meninggalkan Anang Batas, Juki dan Mas Kelik di ruang gubug yang sempit dan tidak terlalu nyaman untuk duduk empat orang. Idealnya memang hanya dua orang yang ada di dalam gubug tersebut. Apalagi kami harus mengatur napas, serta tak banyak bergerak agar burung yang kami incar tidak takut.
Hari itu, Sabtu 25 September 2021, Anang menyelenggarakan acara ‘Hobi, Seni, dan Meditasi: Kontemplasi Birding Anang Batas feat Marzuki Mohammad a.k.a Kill The DJ’. Acara yang berlangsung di desa konservasi burung Desa Jatimulyo, Kulonprogo diikuti sekitar 20 peserta.
“Nggak ngira, ternyata yang ikut banyak sampai kami harus menutup pendaftarannya lebih awal,” kata Anang Batas.
Bagi pemilik nama lengkap Anang Dwi Yatmoko ini, ia sebenarnya tidak percaya diri untuk menggelar acara seperti itu, namun oleh sahabatnya, Marzuki Mohammad atau Juki ia diprovokasi. “Jadi menurut Juki, fotografi bagi Anang Batas bukan sekadar teknik, bukan sekadar gambar bagus, tapi sarana meditasi,” katanya.
Daripada kenthir, Anang Batas pilih fotografi
Awal ketertarikan Anang untuk menekuni fotografi baru di awal tahun 2021. Belum lama. Awalnya, usai vaksin, tensi darahnya tinggi terus. Di sisi lain, Merapi tengah erupsi, Anang berpikir untuk mencari hobi yang menurutnya menjadi sarana refreshing. Ia memutuskan ikut teman-temannya fotografer untuk mengabadikan Merapi yang tengah erupsi.
Tanpa bekal teknik fotografi, Anang nekat saja berangkat malam, pulang pagi. “Aku rung iso motret saat itu,” kata Anang. Ia bercerita, di rombongan orang-orang motret, ia lebih memilih menyendiri di pojokan karena merasa tidak percaya diri.
“Aku sampai nulis di Instagram kegoblokan-kegoblokanku saat motret, saking ora isone,” kata Anang.
“Lah aku masang tripod jadi monopod saja nggak bisa waktu itu. Tapi aku seneng, mangkat wengi mulih isuk, tetep seneng,” katanya.
Istrinya tentu saja protes karena khawatir dengan kesehatannya. Anang menyakinkan istrinya, bahwa motret baginya itu justru sarana mnghilangkan stres. Saat itu berjanji, kalau motret justru membuat tensinya turuni. Ia perlu mencari pelampiasan yang membuatnya tetap waras setelah setahun nggak punya aktivitas pekerjaan karena Covid-19.
“Mbanggane kenthir, eh ternyata motret jadi hiburan, eh ternyata mendapatkan sesuatu. Tensi saya selalu turun kalau habis motret,” katanya. Bagi Anang, saat itu, hasil foto, nomor sekian, yang penting ia bisa menikmati prosesnya.
Proses belajar fotografi Anang Batas diakuinya mengalir saja, ia bahkan belum pernah membuka buku manual kameranya. Belajar fotografi baginya lebih dari pengalaman, bukan teori. Ia memilih hajar dulu daripada bingung. Ia tidak mau direpotkan dengan perkara harus nyeting kamera seperti apa. Dari hasil foto yang dihasilkannya ia belajar. “Kok iki kurang padang, iki kurang fokus, tak coba sendiri dulu,” katanya.
Ia tertarik memotret burung saat datang ke Kaliurang bersama istrinya. Sejak dari rumahnya ia sudah berharap bisa memotret elang. Namun, saat menunggu elang itu tidak muncul-muncul, ia sudah akan beranjak pulang sampai kemudian burung itu terlihat di atasnya berputar-putar. Teman-temannya heran, karena, termasuk jarang orang bisa melihat apalagi motret elang.
Motret burung jadi sarana kontemplasi
Dari situ ketertarikan Anang untuk motret burung di alam makin menjadi. Motret burung bukan sekadar motret ternyata. Ia seperti menemukan titik keseimbangan dalam hidupnya.
”Rekor paling lama menunggu burung itu 5 jam, diam menunggu burung,” kata Anang Batas.
Bagi orang yang pekerjaannya obah terus dipanggung, Anang pernah nyanggong burung selama 5 jam dalam posisi diam, dan ia nyaman-nyaman saja.
“Justru ini ada keseimbangan, aku yang biasanya cerewet harus ngerem untuk diem, kudu meneng sakayange. Yang biasanya gojek, harus menahan diri, nahan emosi, ngatur ritme napas, kalau nggak, ya burungnya pergi,” kata Anang.
Setiap motret burung di alam, Anang merasakan kontemplasi yang sebenarnya. Seluruh panca intera fokus, secara tidak sadar ia disuguhi musik alam, disitulah titik kontemplasinya.
“Itu yang mungkin katanya hidup harus seimbang, di panggung saya cuap-cuap, di sini saya harus diam, kontemplasi,” katanya. Apalagi saat masuk di tenda kamuflase yang mungkin hanya muat 2 orang. Disitu tidak boleh merokok, ngomong tidak boleh, diam. Tapi justru saat diam itu otak seperti bekerja, akhirnya justru punya waktu untuk ngolah otak, olah rasa.
Bagi Anang, motret burung itu benar-benar melatih kesabaran, emosi, dan yang jelas membuat hati senang. Ketika orang bingung cari oksigen, sambil motret di alam ia bisa menghirup oksigen yang melimpah. “Bisa juga melatih pernapasan, saat motret burung kita harus menahan napas, berarti seperti orang yoga, begitu burung datang, langsung lega,” katanya.
Ia banyak belajar dari burung yang difotonya. Pernah ia motret di kawasan Lembah UGM. “Ada burung kutilang, setelah makan dia naik ke tempat sampah, dan burung itu nelek di tong sampah!! Iki kewan kok iso nggolek enggon. Ada sisi komedi, tapi ada pesannya,” katanya.
Melalui hobi motretnya ia bisa melihat tingkah laku burung yang tidak terkungkung di kurungan. Ia bisa melihat induk burung yang sedang ngloloh, pacaran, makan, yang momentumnya itu tidak diarahkan, tapit terjadi secara alami.
Ia pernah nyanggong selama 4 hari untuk mendapatkan gambar burung Madu Jawa. Setiap hari, ia gagal karena burung itu tahu keberadaannya dan mungkin merasa terancam. Baru di hari keempat ia mendapatkan burung itu. Ia diam di balik pohon. Dua jam dalam posisi yang sama. “Kalau belum ada tanda-tanda mau datang, kita mungkin bisa obah ya, tapi begitu ada tanda-tanda, harus diam,” katanya.
Dengan sendirinya ia juga belajar tentang burung. Jika ia tidak tahu jenis-jenis burung yang ia potret, ia segera browsing atau cari tahu. “Oh burung ini, karakternya ini. Pernah pas lagi isoman di rumah, saya posting di medsos, ada yang minta dikirimi detailnya. Ternyata itu burung langka, Bibit Benggala, terakhir terlihat itu di Bantul tahun 2015. Aku beruntung tuh dapat gambarnya,” katanya.
Dari hobinya motret burung, Anang ia belajar ilmu titen. Burung-burung biasanya akan datang ke tempat pada waktu yan sama untuk mencari makan atau nongkrong.
“Kecuali dia terganggu, burung itu biasanya akan datang ke tempat yang sama biasa ia datang, kata Anang.
Silahturami dengan alam
Awal motret burung, Anang tergoda untuk memotret burung sebanyak-banyaknya. Namun, ia berpikir bahwa yang dicarinya bukan itu, lebih ke soal kepuasan batin. Saat datang ke Jatimulyo, dia pernah dapat 12 jenis burung dalam 2 jam. Dari situ ia berpikir itu adalah keberuntungannya.Ternyata tidak mesti, burung-burung itu selalu datang ke tempat yang itu-itu saja kecuali kalau mereka merasa terganggu.
Lama kelamaan, bukan banyaknya burung yang berhasil ia potret, tapi ia lebih ingin bersilahturahmi dengan alam. Bermeditasi dengan suara-suara alam. Hasilnya ia lebih nyantai, lebih banyak tenguk-nya daripada motretnya. “Seperti sekarang ini di tengah alas, oksigen melimpah, suara-suara burung menenangkan. Kadang nggak harus motret, datang saja,” kata Anang.
Melalui ‘Hobi, Seni, dan Meditasi’ Anang ingin mengajak siapapun bisa melihat burung ada di alamnya. Ia membayangkan semua desa di Yogya seperti Jatimulyo, yang warganya melindungi burung-burung yang ada. Awalnya ia berpikir darimana warga bisa mengelola kampungnya jadi tempat konservasi burung, padaha mereka dulunya juga berburu burung untuk dijual.
“Ternyata ada sistem adopsi sarang burung. Misalnya sarang itu di lahan siapa, nanti yang punya lahan dapat sekian persen kalau ada pendapatan. Ini menurut saya bagus ditularkan di tempata-tempat lain, dengan begitu akan muncul kesadaran untuk menjaga burung lestari di alam,” ujarnya.
Ada kekhawatiran sebagian pihak ketika Anang posting foto burung dan lokasinya justru jadi incaran pemburu. “Kecuali di Jatimulyo atau di kawasan UGM, saya tidak pernah posting tempat saya ngambil foto. Kalau di sini warganya kan ikut melindungi, bahkan ada peraturan desanya,” ujar Anang.
Target dari acara ‘Hobi, Seni, dan Meditasi: Kontemplasi Birding Anang Batas feat Marzuki Mohammad a.k.a Kill The DJ’ sendiri awalnya diperuntukan untuk umum. Ia cukup kaget ternyata yang ikut banyak fotografer profesional. Sebenarnya target dari kegiatan ini adalah untuk edukasi bagaimana menyatu dengan alam. “Kalau ingin lihat burung tidak perlu melihara dolan saja ke alam, menikmati, kalau mau sambil belajar motret silahkan, kalau hanya mau lihat saja juga nggak papa,” katanya
Ia berharap ‘Kontemplasi Birding’ bisa rutin diadakan. Ia menargetkan fotografer pemula, mahasiswa, siswa sekolah bisa ikut belajar motret. Kalaupun jika tidak motret, bisa birdwatching, nonton atau mendengarkan suara alam.
Foto yang menjadi Juara I Lomba Foto Kontemplasi Birding
Untuk edisi perdana, Kontemplasi Birding yag didukung didukung LA Zone.id, JP, Komunitas Djogja, Lensa Community, Gudang Digital dikemas dalam bentuk lomba. Pengumuman lomba diumumkan hari ini, dimana Juara I Gunadi Eko, Juara 2 Kurniawan dan Juara III Asad Sungkar.
Salah seorang peserta Ning Saptaning (48) mengaku baru pertama kali motret burung di alam. Sebelumnya ia lebih tertarik untuk motret human interest atau landscape. Ia sempat berpikir burungnya sudah disediakan panitia, ia tinggal ambil foto. Ternyata harus masuk ke hutan dulu. “Kunci motret burung ada 3, sabar, sabar, dan sabar. Sesuati tema, kontemplasi,” kata Ning tertawa. Meski harus mencari dan menunggu burung, namun Ning mengaku tertarik. Ada kelegaan luar biasa begitu ia bisa mendapatkan foto burung yang ditunggu.
Marzuki Mohammad mengatakan, apa yang dilakukan oleh Anang Batas melalui Kontemplasi Birdwatching sejatinya bisa dilakukan oleh siapaun. Memotret di hutan atau burung di alam itu bukan sekadar relasi yang dibatasi dengan layar kamera, tapi proses merekam sesuatu dengan mata, hati, dan pikiran. “Kalau kita masih menggunakan tiga hal itu, berarti kita masih punya rasa kemanusiaan,” kata Juki.
BACA JUGA Mencoba Hobi Berbahaya Bapak-bapak yang Motret Model Telanjang dan liputan JOGJA BAWAH TANAh lainnya.