Anak Nakal dan Mahasiswa yang Jadi Relawan: Makian dan Tangisan di Pemakaman

Anak Nakal dan Mahasiswa yang Jadi Relawan: Makian dan Tangisan di Pemakaman

Anak-anak muda ini mencoba keluar dari stigma mereka selama ini. Anak nakal yang mendapat stigma buruk di masyarakat dan mahasiswa yang identik sibuk dengan tugas-tugas kuliah yang harus diselesaikannya. Mereka bercerita suka duka saat menjadi relawan.

****

Stigma untuk orang yang bertato dan menjadi relawan

Namanya Adhitya Yanuri (23), dulu saya mengenalnya dengan ciri yang khas. Rambut panjang berwarna pirang, tindik serta tato di tangan hingga bahu. Ia kerap dipanggil Gondhes. Sebutan Gondhes adalah kata slang untuk “preman” di Jogja. 

Namun, ketika bertemu dengan saya terakhir, rambut ikonis blio sudah tandas berganti rambut pendek yang biasa saja. Sebenarnya, mau berganti penampilan atau tidak, juga nggak ngaruh karena ia lebih sering pakai Alat Pelindung Diri (APD) sekarang ini. Dulu karena penampilannya yang khas itu, ia kerap mendapat stigma sebagai anak naka. 

 “Aku persetan dengan stigma itu,” kata Aditya Yanuri. Menurutnya, menjadi relawan bukan untuk menutupi stigma itu, tapi memang ia ingin punya peran dalam kemanusiaan. 

Gondhes sehari-hari menjadi barber alias tukang cukur di MagicCuts Barbershop. Kalau tidak sibuk mencukur rambut orang, Adhit menghabiskan waktu dengan kegiatan anak muda umumnya. Kalau tidak mancing keliling sungai, main sepeda BMX, blio nongkrong di kedai kopi.

Adhit aktif sebagai relawan di Tim Melati Setia Garuda, Kokam Sewon Utara. Atau dikenal sebagai MCCC Sewu.

“Di saat seperti ini (pandemi), banyak yang membutuhkan (relawan). Entah dari kalangan atas sampai bawah. Apalagi ketika ada pasien atau jenazah, baik Covid-19 atau bukan. Banyak lho yang takut untuk membantu, baik dari keluarga maupun dari tetangga. Makanya harus ada relawan yang siap membantu,” jawa Gondhes mengemukakan alasannya jadi relawan.

Gondhes mengakui, seringnya ia memakai APD, identitas dan stigmanya sebagai anak nakal jadi tertutupi. “Menurutmu bagaimana kalau orang melihat identitas asli kami. Apalagi aku sendiri bertattoo. Akan banyak yang tidak percaya pada kami. Mungkin ada pertanyaan, apa orang seperti kami ini bisa berbuat baik? Apa mungkin orang seperti aku bisa berkontribusi,” ujar Gondhes.

Gondhes melanjutkan, bisa jadi orang-orang malah ketakutan kalau ia tidak pakai APD karena stigma pada orang-orang bertato, bertindik seperti yang ada padanya. 

“Orang-orang malah bisa ketakutan ketika dibantu relawan seperti kami kalau tidak pakai APD,” jawab Mas Gondhes sambil terkekeh.

Gondhes mengatakan, ia sudah terbiasa disepelekan. Orang-orang seperti kita ini hanya dilihat dari sudut luar saja. Dari sudut kenakalan kita saja Prab. Itu wajar sih, dan sudah jadi rahasia umum buat melihat orang dari luarnya saja. Tanpa ada niat untuk melihat lebih mendalam lagi,” imbuh Gondhes.

Adhitya Yanuri dalam balutan APD saat bertugas memakamkan warga. Dok. Adhitya.
Adhitya Yanuri dalam balutan APD saat bertugas memakamkan warga. Dok. Adhitya.

Seniman yang menjadi relawan sekaligus melawan kanker yang diidapnya

Ezra Agya (23) saya mengenalnya sebagai seniman. Maklum, pemuda Kampung Tamansari Jogja seperti kami haram hukumnya kalau tidak bisa berkesenian. Seniman lukis ini tidak beda dengan pemuda lain di kampung kami yang berkarya. Mas Ezra memang pakar melukis, apalagi melukis kaos.

“Kalau pekerjaan saya wiraswasta mas. Meskipun sementara tutup karena dampak PPKM,” ujar Mas Ezra yang bermaksud menunjukkan usaha di bidang tembakau. Tapi tetap saja, di mata saya dia adalah seorang seniman. Selama pandemi ini, bertambah lagi aktivitasnya, menjadi relawan. 

“Saya bergabung dengan Tim Kubur Cepat (TKC) se-kecamatan Kraton mas. Tapi tidak selalu berurusan dengan pemakaman jenazah yang terpapar COVID-19. Kami juga tetap bersinergi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Jogja mas,” jawab Ezra.

Ezra menjadi relawan karena panggilan hati. Dengan melihat kondisi lapangan yang tidak kondusif karena banyak yang terpapar COVID-19. Tenaga relawan banyak yang kewalahan karena ini.

Seperti Gondhes, Ezra dan kawan-kawannya awalnya dapat pandangan miring dari orang-orang di sekitar mereka. Ia tidak menggubris, pandangan kalau dirinya dicap nakal oleh orang-orang. Ia menunjukkan dengan bukti. 

Beberapa hari yang lalu, saya akhirnya bisa tersambung dengan Ezra setelah beberapa waktu tidak ketemu. Ia mengatakan, kalau hari itu ia tidak ada jadwal pemakaman karena tengah melakukan kontrol rutin sakitnya. 

“Ada benjolan mas di belakang hidung dalam. Kalau jenisnya semacam kanker tapi belum gawat banget,” jawab  Ezra yang membuat saya tertegun.

Ezra bilang kalau soal sakitnya, tidak ia rasakan. “Mungkin berpengaruh tetap ada beberapa kali. Terutama kalau saat kecapekan. Kalau untuk dikatakan memaksakan ya nggak juga. Soalnya saya sambil nunggu proses medis selanjutnya. Daripada tidak ada kegiatan, mending cari kegiatan sebagai relawan. Toh sekiranya kegiatan positif dan sifatnya membantu sesama,” jawab Ezra.

Selama menjadi relawan, banyak hal yang dipelajari oleh Ezra. Misalnya ia secara pribadi, setiap selesai melakukan evakuasi atau pemakaman, selalu ada perasaan lega. “Apalagi jika ada keluarga yang memberi apresiasi berupa doa dan semangat untuk tim kami,” katanya. 

Ezra berserita, suatu hari mereka melakukan evakuasi dan pemakaman seorang anak perempuan. Prosesnya berlangsung dari siang sampai sore. Setelah selesai, tim mereka dihubungi oleh orang tua korban. Mereka mengucapkan terima kasih.

“Aku simpulkan sendiri mas. Meskipun mereka baru saja kehilangan putri mereka, mereka tetap memberi apresiasi dan semangat bagi kami. Itu yang joss banget buat aku mas,” ujar Ezra sambil terkekeh senang.

Dimaki warga karena dinilai mengcovidkan

Ezra juga bercerita, meski belum pernah diserang secara fisik, banyak makian dan ucapan-ucapan dari warga yang menyalahkan mereka. “Terutama saat pemakaman, banyak yang bicara yang tidak-tidak. Mereka percaya bahwa jenazah yang positif Covid-19 tidak bisa menularkan. Padahal kami saja untuk melakukan pemakaman memakai APD lengkap sekali pakai. Tapi yang telanjang (tanpa APD) malah mendekat dan mengata-ngatai kami,” jawab Ezra.

Ezra pernah ada pengalaman di kampungnya (Kampung Tamansari). Saat itu ada salah satu warga yang keluarganya meninggal dunia, mereka cek antigen. Awalnya, alat belum menunjukkan hasil, 15 menit kemudian muncul garis dua. “Salah satu keluarga tidak terima, dan menuduh kami mengcovid-kan keluarganya,” imbuh Ezra

Orang itu malah memprovokasi warga. Katanya kami mengcovidkan keluarganya. Padahal kami hanya menurut pada alat tes saja. “Dia bilang, relawan itu mengcovidkan orang-agar dapat bayaran. Padahal kami melakukan ini itu tanpa bayaran. Dapat apresiasi dan doa itu sudah bersyukur banget,” Mas Ezra kembali.

Ezra bersama rekan-rekannya saat berseragama APD. Dok Adhitya Yanuri.

Ezra waktu itu dalam posisi cuma dapat laporan dari teman. “Kalau dengar langsung, sudah kudatangi dan tak tapok cangkeme (kutampar mulutnya). Menurutku mas, ini yang paling menyebalkan. Menyebalkan banget!” Ujar Mas Ezra dengan nada keras.

Relawan mahasiswa di antara tugas kuliah dan  kemanusiaan

Muhammad Syafiq Abdan Syakuri (24) adalalah mahasiswa yang sudah sejak 2020 berjibaku dengan pemakaman jenazah korban Covid-19. Agar bisa tetap memastikan tugas akhir kuliahnya tak terbengkalai, ia perlu mengatur waktu sebaik mungkin. “Kuliah tetap jadi prioritas Mas, walaupun sudah mulai skripsi, saya masih ada beberapa teori yang perlu diambil,” jelas mahasiswa psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta ini saat dihubungi Kamis (5/8/2021) lalu.

Beruntung bagi Syafiq, perkuliahan dengan sistem daring membuatnya bisa lebih fleksibel menjalani berbagai peran secara bersamaan, sebagai relawan sekaligus anak kuliahan. Ia mengaku, bisa memanfaatkan waktu dini hari dan pagi untuk mengerjakan tugas dan memastikan skripsinya berjalan sedikit demi sedikit.

Tak jauh berbeda dari Syafiq, Farizqy Takaful Akbar (24) yang statusnya masih mahasiswa semester akhir di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) juga aktif menjadi relawan pemakaman Covid-19 di BPBD DIY. Selain aktif sebagai relawan dan masih kuliah, ia bahkan memiliki pekerjaan yang harus ia jalani setiap hari di sebuah sekolah swasta di Yogya. Padatnya aktivitas yang ia jalani bahkan membuat janji wawancara tertunda beberapa kali.

Bagi Farizqy, kegiatan relawan bukanlah sebuah hal yang menghalangi tugas akhirnya. Justru menjadi selingan yang menambah semangat. “Ketika suntuk mengerjakan skripsi, kegiatan relawan ini justru menjadikan saya keluar dari kejenuhan. Tahun ini targetnya harus lulus,” ucapnya dengan nada semangat.

Syafiq dan Farizqy merupakan relawan muda dari Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) yang ditugaskan di BPBD DIY. Jika Syafiq sudah aktif di kegiatan pemakaman jenazah Covid-19 sejak 2020 silam, Farizqy baru mulai turut memakamkan sejak awal Juli 2021.

Syafiq mengaku sempat mendapat pelatihan selama satu setengah bulan untuk persiapan terjun ke lapangan. Tahun lalu, situasinya memang belum segenting pertengahan tahun ini sehingga masih bisa mempersiapkan banyak hal. Namun Farizqy tak sempat banyak bersiap, kebutuhan relawan yang melonjak sejak Juli membuatnya hanya mendapat safety briefing singkat sebelum memakamkan.

Melonjaknya angka kematian ini membuat tim pemakaman yang disiagakan bertambah. Termasuk Farizqy yang baru ditugaskan sejak bulan Juli. Sejatinya ia sudah tergabung sebagai relawan kebencanaan di MDMC sejak beberapa tahun lalu, setelah melewati serangkaian pendidikan dasar.

“Deg-degan itu sudah pasti ya, saya memang pernah turun ke medan bencana. Tapi kalau memakamkan jenazah di situasi pandemi itu jadi persoalan yang berbeda,” katanya. Ia melanjutkan bahwa yang terpenting adalah mengikuti arahan senior di lapangan.

Farizqy beberapa kali menyebut perasaan merindingnya kala bertugas memakamkan jenazah. “Sebelum berangkat itu merinding karena takut ada insiden atau kesalahan. Kalau sesudahnya itu merinding lagi, karena menyadari betapa serius pandemi ini,” tambah pemuda asal Magetan ini.

Syafiq hanya pulang ke rumahnya sepekan sekali selama masa-masa menjadi relawan ini. Hari-harinya banyak dihabiskan di markas Muhammadiyah Covid Command Center (MCCC) Kotagede, Yogyakarta. Selain agar lebih efisien jika ada panggilan tugas, ia khawatir jika pulang akan membahayakan orang rumah. Bahkan saat dihubungi, Syafiq mengaku sedang menjalani isolasi mandiri.

Mengenai tes usap, Syafiq  sampai lupa berapa kali total yang pernah ia lakukan selama ini. Yang jelas angkanya telah mencapai puluhan kali. Dan itu ia lakoni dengan senang hati, demi mencegah orang-orang terdekatnya terpapar virus mematikan ini.

Selain itu, penggunaan APD saat menguburkan tentu menjadi tantangan tersendiri bagi para relawan. Mulai dari kepanasan hingga jarak pandang yang terbatas karena kacamata perlindungan yang digunakan.

Hal lain yang kadang membuat khawatir adalah jenazah dengan komorbid tertentu. Syafiq menuturkan bahwa beberapa jenazah yang ia makamkan memiliki sejumlah penyakit bawaan, mulai dari hepatitis hingga HIV. “Ada perasaan khawatir, tetapi kami yakin saja dengan berbagai upaya mitigasi dengan protokol ketat yang telah dilakukan,” jelasnya.

Dalam satu regu pemakaman jenazah terdapat 6-7 personil. Penugasannya pun dibagi menjadi beberapa kategori. Mulai dari pengemudi, komunikator, dekontaminasi area dan personil, hingga koordinator tim.

Setahun berjalan, Syafiq sampai tak bisa menyebutkan pasti berapa jenazah yang telah ia bantu antarkan ke tempat peristirahatan terakhirnya. Jumlahnya puluhan, hampir sebanyak jumlah ia dites usap.

Relawan pemakaman jenazah yang sebagian besar mahasiswa persiapan sebelum bertugas. (dok. Syafiq)

“Sampai-sampai saya hafal betul kondisi makam-makam di sekitar Kota Yogyakarta. Mana yang sudah penuh, mana yang masih kosong. Mana yang direkomendasikan untuk memakamkan jenazah Covid-19 dan mana yang tidak. Kalau jenazah yang asalnya luar DIY biasanya dimakamkan di pemakaman Kuncen Baru dan Kuncen Lama,” jelasnya.

Meresapi setiap tangisan dan kematian 

Para relawan pemakaman adalah orang-orang yang berhadapan dengan dampak paling tidak diharapkan dari Covid-19, yakni kematian. Setiap jenazah yang diantarkan ke tempat peristirahatan menjadi pengingat bagi mereka bahwa pandemi ini bukan isapan jempol belaka yang patut disepelekan.

Tangisan adalah hal yang jamak didengar para relawan pemakaman. Mulai dari proses penjemputan jenazah di rumah sakit hingga di pemakaman, selalu ada tangisan. Suasana khidmat dirasakan para relawan setiap pemakaman.

“Setiap pemakaman ada keluarga yang datang. Tangisan dan ucapan terima kasih mereka itu yang membuat saya merinding. Saat memakamkan di malam hari juga suasananya khidmat sekali. Dari jauh samar-samar ada warga yang menyaksikan, itu juga jadi dukungan moril bagi kami,” tambahnya.

Para keluarga bisa menghampiri ke dekat makam setelah peti dimasukkan ke liang dan tanah ditaburkan menimbun setidaknya setengah dari kedalaman. Kemudian area didekontaminasi menggunakan sprayer disinfektan oleh relawan.

Selanjutnya, kematian kadang membuat orang berserah dan meyakini hal-hal yang sebelumnya mereka bantah. Begitulah yang dilihat Syafiq saat memakamkan jenazah yang keluarganya meremehkan Covid-19. “Saya yakin itu bukan karena korona, dimakamkan seperti biasa saja sepertinya bisa saja,” ucap Syafiq menirukan celotehan seorang anggota keluarga korban yang hendak ia makamkan.

Namun selepas jenazah dikebumikan, orang tersebut terisak kemudian mengucapkan kalimat yang secara jelas didengar Syafiq. “Coba kalau dulu cepat dirawat dan dimasukkan rumah sakit, pasti tidak jadi begini,” tirunya kembali.

Momen-momen seperti itulah yang membuat proses pemakaman selalu memiliki cerita dan membawa lara tersendiri bagi para relawan. Meskipun mereka tak mengenal dan bahkan kadang tak mengetahui identitas lengkap jenazah yang dimakamkan.

Sebagai pemuda yang masih berstatus mahasiswa, pelajaran lain yang didapat para relawan ini adalah penerapan ilmu yang didapat di bangku perkuliahan. Syafiq misalnya, sebagai mahasiswa psikologi mengaku bisa banyak belajar tentang manajemen konflik, manajemen massa, dan ilmu-ilmu yang dipelajarinya di kuliah selama bertugas memakamkan.

“Pemakaman ini kan aspek emosional juga ya. Kadang kala ada konflik, ada perselisihan pendapat. Dari situ saya menerapkan apa yang didapat dari kuliah sekaligus mendapat realita lapangan yang tak dijabarkan dalam teori pelajaran,” kata pemuda yang kerap didapuk menjadi koordinator regu pemakaman ini.

Terakhir, keduanya sepakat bahwa penanganan pandemi ini tak cukup jika mengandalkan pemerintah saja. Mereka adalah gambaran warga yang dengan kesadaran dan kesukarelaan tanpa insentif melakukan tugas-tugas kemanusiaan di masa pandemi ini. “Kalau Pak Jokowi bilang bahwa mahasiswa sampai ibu-ibu PKK harus membantu penanganan wabah memang betul. Sangat diperlukan sesuai kemampuan masing-masing,” jelas Syafiq.

Farizqy juga serupa, ia berharap semua warga saling bantu. “Tapi jangan lupa, pemerintah kalau bikin aturan yang serius juga, jangan bercanda, para warga ini sudah pintar. Kami harap pemerintah membuat kebijakan yang tepat dan konsisten,” tutupnya.

Penulis : Dimas Prabu Yudanto/Hammam Izzuddin

BACA JUGA  Relawan Desa yang Sebenarnya Tak Ingin Mengurus Jenazah liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

Exit mobile version