Fase quarter life crisis sering digunakan anak muda sebagai pembenaran menghadapi sebuah masalah. Fase yang merujuk masa peralihan dari remaja menuju dewasa ini kerap menjadi beban pikiran tak berkesudahan. Mojok.co berjumpa dengan mereka yang tengah mengalami fase tersebut. Kehidupan yang sedang dilakoninya bukanlah bentuk pesta pora yang gegabah, namun justru kisah yang pelik dan menguras tenaga.
Bagaimana quarter life crisis melanda
Di satu malam di awal Mei, saya bertemu Nana (20) di warung kopi yang terletak di sekitar Sorowajan, Bantul. Ditemani secangkir kopi beserta segelas milkshake kami berbincang. Suara kodok bangkong terdengar begitu riuh di warung kopi yang terletak di pinggir sawah itu.
Sejak tahun 2016, Nana mulai tinggal di Yogyakarta, di tahun itu ia baru masuk sekolah menengah atas (SMA). Ia menimba ilmu dengan merantau di tempat yang jauh dari orang tuanya— ia berasal dari Bengkulu. Tapi merantau adalah pilihannya sendiri. Perasaan yang kerap melanda hatinya adalah rindu terhadap orang tuanya. Akibatnya, tak jarang ia merasa kesepian.
Akan tetapi semua terasa berbeda saat ia lulus SMA dan masuk perguruan tinggi. Ia menjadi lebih sering memikirkan sesuatu hal dengan berlebihan— overthinking. Dalam pikirannya ia merasa selalu ditimpa perasaan khawatir dan cemas.
“Aku khawatir dan cemas terhadap orang-orang yang dekat denganku tak lagi mencintaiku, karena semua bakal pergi, sibuk dengan tujuan masing-masing, dan cita-cita masing-masing. Sedangkan aku, nggak tahu harus ke mana,” jawab Nana ketika saya tanya kecemasan semacam apa yang ia rasakan.
Dalam kecemasan itu Nana tak tahu harus melapor pada siapa. Dirinya juga belum sadar kalau sedang mengalami sebuah fase transisi, yang kemudian disebut banyak orang dengan istilah quarter life crisis. Sampai-sampai, terkadang ia mengalami kesulitan untuk tidur. Hingga menangis di mana saja ia ingin menangis.
Nana mengingat kembali jauh ke belakang peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya, Ia merasa trauma masa lalu yang membuatnya mengalami kecemasan dengan berlebihan.
“Kedua orang tuaku pernah bertengkar hebat sewaktu aku masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Yang berakibat hubungan mereka menjadi renggang. Kemudian setelah aku merantau, aku merasakan kepedulian orang tua tidak seperti dulu,” terang Nana.
Ia merasa hidupnya makin berat karena pernah mengalami kendala finansial. Tak jarang ia juga membandingkan dirinya dengan orang sebayanya yang punya pencapaian finansial lebih baik. Sehingga berakibat ia benar-benar merasa kehilangan arah.
Nana juga merasa bertubi-tubi mendapat tekanan dari lingkungan. Ia kerap mendapat perlakuan sikap yang sebetulnya sama sekali tidak dikehendakinya. Tak sedikit di lingkungan dekatnya, saudara bahkan keluarganya menuntut dirinya untuk bertindak di luar kapasitas dirinya.
“Jadi tu, orang-orang terdekatku selalu memaksa aku melakukan ini-itu, dibanding-bandingkan dengan orang lain, aku serasa kehilangan kendali atas diriku sendiri. Dan yang paling menyakitkan mereka nggak mau tahu kalau sebetulnya aku sedang lelah, terpuruk dan butuh istirahat,” pungkasnya.
Perasaan dilanda kecemasan melakoni hidup juga kembali saya dengar Ale (23). “Semakin bertambah usia semakin cemas, saya khawatir tak mampu menjadi tulang punggung keluarga yang baik,” ucap Ale ketika saya berkunjung ke kosnya akhir Mei lalu.
Ale tinggal bersama dengan ibu dan dua saudaranya saat di rumah. Saat ini ia sedang berusaha merampungkan kuliah yang tinggal selangkah lagi. Kecemasan itu timbul karena ia merasa memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan keluarga karena jarang berinteraksi ibu dan adiknya. Kakak perempuannya tak berapa lama lagi akan menikah dan ia berpikir kakaknya akan fokus dengan keluarganya sendiri.
Terlalu memikirkan tentang quarter life crisis, hanya akan membuatmu semakin krisis.
Kemudian ia berpikir bahwa untuk menjadi tulang punggung keluarga akan menjadi tanggung jawabnya. Ale telah lama di tinggal sang Ayah sejak dirinya berada di bangku sekolah dasar. Tak berapa lama lagi ibunya juga akan pensiun. Sedangkan ia masih memiliki satu adik.
“Untuk meredam rasa cemas. Minimal untuk saat ini aku harus bisa memperbaiki hubunganku dengan keluarga di rumah” pungkas Ale.
Ala (22), mahasiswi asal Semarang yang kuliah nyambi kerja ini merasa lelah dengan dorongan orang tuanya yang terus memaksa harus segera lulus. Namun, bukan itu saja yang membuatnya pusing memikirkan jalan hidupnya.
“Kepalaku serasa akan meledak dengan tuntutan yang menerpa hidupku, parahnya aku didesak untuk segera menikah. Sedangkan menikah bukan perkara yang mudah,” ungkap Ala mengawali ceritanya.
Selain itu Ala merasa dilema, ia merasa di dalam keluarganya terdapat hubungan yang kurang sehat. Kedua orang tuanya kerap memperlihatkan pertengkaran, terutama bersumber dari ayahnya yang sering berlaku kasar pada ibunya juga Ala sendiri.
Terkadang ia merasa lebih tenang jika berada jauh dari orang tuanya, akan tetapi di waktu yang bersamaan ia merasa ingin berada di dekat orang tuanya. Perasaan dilema kian menjadi-jadi karena adanya tuntutan yang tidak mudah diselesaikan seperti membalikan telapak tangan.
“Aku nggak bisa menyelesaikan masalah pelik semacam ini secara bersamaan. Aku kudu menyelesaikannya satu persatu, dan berusaha memahamkan ke dua orang tuaku perihal diriku” ucap Ala, meyakinkan diri.
Apa itu quarter life crisis?
Psikolog Klinis dari RSUD Drajat Prawiranegara, Banten, Anita Tresiana MPsi yang saya hubungi melalui pesan mengatakan, sesungguhnya krisis emosional atau quarter life crisis tidak terdapat dalam teori psikologi. “Keduanya hanya term populer yang terkadang ada segi negatifnya. Sehingga orang-orang jadi melabeli diri bahwa, boleh loh stres tinggi atau depresi atau cemas karena lagi di fase quarter life crisis,” katanya.
Menurut Anita, yang ada dalam psikologi itu transisi dari fase remaja ke dewasa, awal di mana seseorang yang kemungkinan ada perubahan tuntutan. “Dari SMA ke kehidupan kuliah atau dari kuliah ke kehidupan pekerjaan, itu pun stresnya bergantung dari banyak hal dan bukan selalu sesuatu yang negatif,” imbuh Anita.
Anita juga mengatakan, masa transisi tersebut tidak melulu dialami orang-orang usia 20-30 tahun. Sesungguhnya masa transisi merupakan kejadian yang lumrah dialami orang-orang. Terutama ketika orang dihadapkan dengan pilihan dan tanggung jawab baru, wajar kalau merasa stress. “Tapi biasanya stresnya terbilang singkat karena adanya tuntutan untuk beradaptasi dengan lingkungan dan peran baru,” ujarnya.
Dampak yang ditimbulkan dari fase ini pun bergantung dengan banyak hal. Bisa dari pembentukan identitas di masa remaja, atau misalnya dari adanya dukungan keluarga atau teman. Remaja itu fasenya eksplorasi identitas, sampai akhirnya seseorang yakin sama apa yang dipilih, ini namanya komitmen terhadap identitas.
Kalau sudah terbentuk seperti ini disertai adanya dukungan dari keluarga, biasanya psychological well being-nya juga bagus. Berbeda dengan mereka yang sejak remaja juga belum tahu sebenarnya mau apa kedepannya, biasanya kalau dihadapkan dengan tuntutan yang lebih besar atau pilihan-pilihan hidup, larinya bisa menganggap fase tersebut dengan penuh stressful,” pungkas beliau.
Begitupun dengan apa yang disarankan oleh Anita Tersiana dalam menyikapi fase yang secara populer disebut quarter life crisis. Antara lain melakukan persiapan dan rencana, sebelum nantinya benar-benar dihadapkan dengan pilihan, misalnya kalau lagi kuliah, persiapan untuk nanti kerja di mana itu direncanakan, plan A gagal, susun plan B, dst.
“Terus jangan melabel diri dengan quarter life crisis sebab hal itu bikin kita rentan depresi, cemas, dll. Cari bantuan atau dukungan dari lingkungan (teman, keluarga, mentor) kalau nggak dapat bisa datang ke ahli seperti psikolog,” katanya.
Berdamai dengan quarter life crisis
Acap kali Nana merasa resah dengan sesuatu yang berkecamuk memenuhi isi kepalanya. Hingga pada suatu hari ia memilih untuk konsultasi pada psikolog di puskesmas. Benar saja, di sana ia mendapat sesuatu yang mampu mereduksi kekalutan dirinya. Dan berangsur membuatnya merasa lebih tenteram.
“Awalnya aku merasa ragu dan takut datang ke psikolog. Lantaran aku takut didiagnosis macam-macam,” ucap Nana.
“Tapi, aku teringat dengan sebuah pernyataan dalam novel ‘Cantik Itu Luka’ milik Eka Kurniawan. Menolak sesuatu yang tak bisa ditolak itu lebih menyakitkan dari segala sesuatu,” imbuhnya tergelak.
Setelah Nana melakukan konsultasi pada psikolog. Nana menjadi tahu mengenai hal yang terjadi pada dirinya. Bahwa ia mengakui jika merasa tidak mendapat perhatian yang dibutuhkan dari keluarga dan orang-orang terdekat.
Oleh karena itu, kenyataan yang diterima Nana membuatnya semakin menyadari pentingnya menjaga kesehatan mental. Karena pada dasarnya menjaga kesehatan mental bukan sekedar untuk kepentingan dan kebaikan diri sendiri, akan tetapi juga akan berdampak bagi orang lain.
Nana kemudian bergabung jadi relawan di rumah konseling, Aku Temanmu, yang bergerak dalam usaha pemulihan mental. Melalui tempat ini, ia diedukasi tentang kesehatan mental. Bukan hanya itu aja, juga bisa konsultasi semisal merasa punya permasalahan tentang kesehatan mental.
“Di sana isinya bukan cuma dari lulusan psikologi aja. Tapi macem-macem. Mereka dilatih minimal untuk jadi pendengar yg baik atau jadi konselor sebaya. Minimal kita bisa bantu orang terdekat kita gitu. Misal sekiranya perlu tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater, mereka akan bantu coba menghubungkannya. Selain itu mereka juga buka konsultasi online yang itu gratis bisa via WhatsApp atau E-mail,” ucapnya.
Dengan bergabung komunitas itu Nana mengenal orang-orang yang mampu membuatnya merasa nyaman. Ia tak menemukan orang yang toxic. Dengan ini ia merasa kehidupan yang sehat itu bisa diwujudkan sehingga tak hanya sekadar mimpi atau dongeng belaka.
“Dengan bergabung di tempat ini, aku berharap agar tak ada kisah tentang Nana-Nana lain di luar sana, maksudnya aku ingin menyebarkan pentingnya kesehatan mental pada khalayak. Agar orang tua atau orang terdekat bagi siapa pun mampu menyadari pentingnya kesehatan mental bagi orang di sekitarnya, sehingga kesehatan mental bisa terjaga” pungkas Nana.
Keresahan dihantui perasaan cemas dan kerabat-kerabatnya juga ingin ditepis oleh Ale dan Ala. Akan tetapi keduanya memiliki jalan tersendiri untuk berdamai dengan keadaan. Mereka mendapat bantuan dukungan dari lingkungan yang mampu memenuhi kebutuhan energi keduanya.
“Aku sering bertemu dengan teman-teman SMP, SMA, Kuliah dan teman-teman yang lain untuk bercerita ke mereka menyoal masalah personal. Belajar dari pengalaman mereka tentang banyak hal,” jawab Ale ketika saya tanya bagaimana menghadiapi persoalan dalam dirinya.
Tak jauh berbeda dengan Ale, hal yang sama juga dialami Alamanda, ia mengadu segala permasalahan yang ia alami pada keluarga terdekat, semisal Bude atau Pakde.
“Kalau merasa lagi ada masalah, aku selalu lari ke Bude atau Pakde-ku, mereka mampu memberi arahan yang sesuai dengan apa yang sedang aku rasakan. Mungkin mereka juga telah mengenal kepribadian orang tuaku,” ucap Alamanda.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2017 menyatakan bahwa depresi dan kecemasan merupakan gangguan jiwa umum yang prevalensinya paling tinggi. Lebih dari 200 juta orang di seluruh dunia (3,6 persen dari populasi) menderita kecemasan.
Data Riskesdas (riset kesehatan dasar) 2018 menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 6,1% dari jumlah penduduk Indonesia atau setara dengan 11 juta orang.
Depresi bukanlah persoalan sepele. Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.
BACA JUGA Keputusan Memilih Aborsi dan Bagaimana Ia Melaluinya dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.