Anak Muda yang Berani Berhenti Kerja untuk Buka Usaha

Mereka Anak Muda yang Berani Berhenti Kerja untuk Buka Usaha

Ada dilema besar yang tengah saya rasakan saat ini. Antara tetap bertahan di pekerjaan dengan gaji jauh di atas UMR Jogja, atau berhenti kerja dan bertaruh dengan bisnis yang selama ini saya jadikan sampingan.

Saya sudah bekerja lebih dari tiga tahun di tempat sekarang. Pun kalau dihitung berapa lama saya sudah bekerja dari satu tempat ke tempat lain sejak masih kuliah, maka jawabannya adalah enam tahun. Ya, waktu yang cukup lama, dan cukup pula untuk membuat saya berpikir ingin berhenti bekerja dan fokus dengan bisnis yang saat ini penghasilannya sudah lumayan.

Akan tetapi bertaruh tetaplah bertaruh. Sekalipun saat ini penghasilan bisnis sampingan saya saat ini jauh lebih besar daripada pekerjaan utama saya, sangat banyak kemungkinan bahwa sewaktu-waktu penghasilannya akan jauh menurun. Itulah yang membuat dilema. Antara nyaman menjadi pegawai dengan gaji di atas rata-rata orang di Jogja, atau nekat dan secara penuh mengurusi bisnis sendiri. Saya tengah menghadapi dilema masa quarter life crisis, apakah menjadi pegawai atau pengusaha.

Berawal dari dilema tersebut, saya menghubungi beberapa orang yang berani berhenti kerja meski memiliki gaji lumayan demi bertaruh pada bisnis mereka. Di satu sisi, beberapa kisah mereka bisa menjadi inspirasi banyak orang. Di sisi lain, kisah mereka barangkali adalah pembenaran akan keputusan saya nanti, apakah akan tetap bertahan pada pekerjaan, atau berhenti kerja dan mengikuti langkah yang mereka ambil.

Gagal berbisnis berulang kali membuatnya bekerja di tiga perusahaan sekaligus

Saya akan mengawali kisah ini justru tidak dengan mereka yang berhasil. Mari, saya kenalkan kalian dengan Rivai (28), seorang kawan lama yang mulai muak dengan pekerjaannya saat ini. Ia adalah pemuda ambisius dan sangat terobsesi menjadi kaya, akan tetapi banyak upaya yang ia lakukan belum membuahkan hasil.

Kami bertemu pada malam tanggal 23 Mei 2021 di sebuah Warmindo tak jauh dari Hotel Tentrem. Ia datang dengan Daihatsu Ayla merah, lantas duduk bersama saya setelah memesan seporsi nasi telur orak-arik. Gurat lelah ada di wajahnya.

“Sudah beberapa bulan ini aku kerja di tiga perusahaan. Dari tiga perusahaan itu, pendapatanku ada sekitar dua belas juta per bulan. Tapi ya itu, benar-benar kerja keras dan sangat melelahkan,” keluhnya ketika saya bahas perihal apa kesibukannya saat ini.

“Jadi programmer memang bisa bekerja di banyak tempat, tapi konsekuensinya ya waktu luang berkurang,”

Saya lantas bertanya kenapa ia begitu mau bekerja keras bekerja di tiga perusahaan, dan jawabannya sangat sederhana. “Ingin kaya.” Ya, ternyata ia masih orang yang saya kenal dulu. Ia masih terobsesi ingin kaya. “Dengan gaji dua belas juta rupiah per bulan, untungnya sudah bisa nyicil mobil meski hanya Daihatsu Ayla.”

Berdasarkan jawaban Rivai, saya lantas bertanya seperti apa standar kaya yang ingin ia capai. Sebelum sempat menjawab, pesanan kami sampai di meja. Ia dengan nasi telur orak-arik dan es teh, sedangkan saya dengan mie dok-dok dan air putih hangat. Mie dok-dok saya masih panas, pun dengan orak-arik milik Rivai, sehingga alih-alih langsung makan, kami justru melanjutkan obrolan.

“Punya duit banyak. Punya rumah sendiri. Punya mobil sendiri. Bisa bersenang-senang.”

Dengan standar yang ia terapkan, saya langsung bertanya pada level mana ia saat ini, apakah masih jauh dari kata kaya atau belum.

“Sayangnya, gaji bulanan dua belas juta itu justru terasa masih kurang. Tidak pernah bisa ada uang yang tersimpan. Semakin banyak uang, maka gaya hidup juga semakin naik. Jadi, saat ini masih jauh dari kaya. Bahkan uang dua belas juta per bulan itu masih kurang rasanya.”

Benar. Memang ada orang seperti itu, yang selalu merasa kurang sekalipun penghasilannya sudah melebihi kebanyakan orang di kota tempat tinggal.

“Dan terutama, bekerja di tiga perusahaan sekaligus, waktu bersenang-senang juga hampir tidak ada. Banyak orang mengira saya ini kerja cerdas karena bekerja menggunakan laptop dan tidak lelah secara fisik, tetapi sebenarnya saya ini hanya kuli yang bekerja begitu ngoyo. Bedanya, saya nguli di dunia digital.”

Dari apa yang ia keluhkan mengenai bekerja di tiga perusahaan untuk mendapat penghasilan banyak, ia lantas memiliki keinginan untuk memiliki bisnis sendiri yang bisa menghasilkan uang banyak. “Kalau seperti ini terus, namanya perbudakan 4.0. Makanya saya ingin mencoba buka usaha. Berbisnis dan berhasil, tidak seperti bisnis-bisnis yang pernah saya coba lakukan dan gagal.”

Ya. Tentu saya ingat beberapa bisnis yang pernah ia coba. Beberapa pernah hampir berhasil seperti software house atau ketika ia berinvestasi di sebuah kedai kopi. Sayangnya itu semua gagal dan ia menderita kerugian. Beberapa bisnis lain justru gagal total, seperti ketika ia memodali calon pacarnya berjualan kebab.

“Masih ingat dulu Viva La Vida?” ia menyebut nama usaha kebab milik calon pacarnya di masa lalu. “Aku sudah modali dia ini itu. Sudah beli gerobak bagus. Sudah trial berkali-kali dan undang anak-anak untuk mencoba. Endingnya semua itu sia-sia karena dia (calon pacarnya) mendadak tidak ingin menjalankan bisnis karena diterima di sebuah perusahaan.”

Ia tidak ingin kejadian Viva La Vida terulang kembali. Pun trauma akan kegagalan demi kegagalan membuatnya ragu untuk merelakan semua pekerjaannya dan bertaruh pada bisnisnya sendiri. “Melepas penghasilan dua belas juta per bulan demi bisnis yang belum tentu berhasil? Tidak segampang itu berhenti kerja.”

Sekalipun begitu, saat ini ia tengah merancang bisnisnya sendiri di bidang jual beli tiket wisata secara online. “Iya, sekarang sedang mencoba membuat aplikasi jual beli tiket wisata, tetapi itu masih jauh dari kata menghasilkan uang. Yang ada malah mengeluarkan biaya terus per bulan. Nah itu, saya sudah lelah membakar uang bulan demi bulan untuk mengurusi aplikasi itu. Saya ingin memiliki bisnis yang setidaknya bisa langsung menghasilkan meski sedikit.”

Ya. Saya paham. Beberapa orang mungkin menganggap Rivai tidak memiliki mental berbisnis karena banyak alasan yang ia miliki. Tetapi bayangkan saja bulan demi bulan selama bertahun-tahun mengeluarkan uang untuk mengurusi aplikasinya, dan selama itu juga tak pernah ada hasil nyata yang ia peroleh.

Paralel dengan itu semua, ia masih harus bekerja untuk tiga perusahaan yang berbeda. Maka dari itu, meski terdengar menyebalkan, ucapannya mengenai ingin memiliki bisnis yang langsung menghasilkan uang adalah hal yang sangat bisa dimaklumi.

Obrolan kami selesai di sana. Tak ada dari kami yang membahas perihal pekerjaan maupun bisnis. Di sisi lain, mie dok-dok dan orak-arik di meja kami tampak sudah tidak terlalu panas sehingga dapat kami nikmati dengan mudah. Ya. Obrolan kami benar-benar berakhir dengan menyantap hidangan di warmindo tersebut.

Berhenti kerja, berbisnis, dan mencoba bertahan meski terancam bangkrut

Sore hari pada tanggal 24 Mei 2021, saya menemui seseorang yang belum lama berhenti kerja demi menjalankan usahanya. Ia adalah salah satu rekan kerja saya beberapa waktu lalu, dan kini tengah bertaruh pada usaha di bidang alat kesehatannya.

Andri tengah menghadapi tantangan pada bisnis yang digelutinya. Foto oleh Riyanto/Mojok.co

Andri (30) berhenti kerja ketika pandemi Covid-19 tengah parah-parahnya dan membuat hampir segala sektor lumpuh. Ia mendapat tawaran dari seorang teman lama untuk bekerjasama menjalankan bisnis pengadaan alat kesehatan.

“Dulu aku punya temen yang tinggal di sebuah kos-kosan. Temenku itu punya temen satu kos-kosan, dan orang yang sekarang berbisnis denganku itu sering datang ke kos-kosan temenku karena dia temennya temen kos temenku.”

Ia tertawa-tawa ketika saya kebingungan dengan silsilah pertemannannya. “Intinya temen jauh banget,” rangkumnya.

Saya menemuinya di sebuah kos-kosan pada area Seturan, Yogyakarta. Kos-kosan itulah markas besar dan pusat aktivitas bisnisnya berlangsung. Ia sedang menyantai dengan sepupunya kala itu, pun sedang bersiap melakukan turnamen PES ketika akhirnya saya datang.

“Nah, partnerku itu dipecat dari kantornya bekerja. Kantornya itu ya penyuplai alat-alat kesehatan ke rumah sakit. Nah, partnerku itu yang bertugas menjalin relasi dengan banyak rumah sakit. Ketika dia dipecat, dia curhat ke aku. Iseng, dia nawari aku buat modalin dia biar bisa nyuplai ke rumah sakit. Akhirnya dari obrolan iseng itu malah jadi serius.”

Andri akhirnya berhenti kerja dan serius dengan bisnis menyuplai alat kesehatan ke rumah sakit. “Partnerku punya relasi. Aku punya uang. Konsepnya sederhana. Kalau rumah sakit butuh barang apa, partnerku bakal minta uang ke aku. Aku transfer dia, terus dia belanja, terus dia kasih barang itu ke rumah sakit. Barangnya itu macam-macam, mulai dari infus, masker, sarung tangan, jarum. Pokoknya apa yang dibutuhkan rumah sakit, pasti kami sediakan. Nanti rumah sakit melakukan pembayaran ke kami secara tempo sebulan sekali.”

Sejauh ini, ada dua rumah sakit yang rutin melakukan pengadaan barang melalui jasa Andri dan partnernya. “Sekarang yang rutin dua. Beberapa bulan lalu sempat ada empat, tetapi yang dua sudah tidak pernah order lagi semenjak Januari. Akhirnya hanya ada dua.”

Andri mengatakan tantangan terbesar dalam bisnisnya adalah mencari rumah sakit yang mau menggunakan jasanya. “Presentasi ke rumah sakit itu adalah kunci utamanya. Sayangnya selama pandemi, banyak rumah sakit yang tidak menerima presentasi secara langsung, sementara partnerku nggak bisa kalau nggak presentasi langsung. Bagi dia, lebih mudah meyakinkan orang jika presentasi langsung tatap muka dan bukannya melalui WhatsApp atau semacamnya.”

Mendapatkan rumah sakit yang akan menggunakan jasanya adalah satu hal, sementara mempertahankan keberlangsungan relasi dengan rumah sakit adalah hal lainnya. “Semua tergantung bagian pengadaan barang dari rumah sakit tersebut. Makanya, memberi ‘hadiah’ ke orang yang berwenang di bagian pengadaan barang adalah kewajiban untuk dilakukan agar orderan terus datang.”

Dengan konsep seperti itu, pendapatan bisnis Andri pernah menyentuh angka lima puluh juta rupiah per bulan. “Paling gede sempet dapet lima puluh juta. Tetapi ya itu, setelah dua rumah sakit berhenti order, pendapatan menurun derastis.”

Andri juga mengatakan bahwa saat ini bisnisnya sedang berada dalam masa sulit. “Salah satu rumah sakit sudah nunggak tiga bulan tidak melakukan pembayaran. Mereka masih order, tetapi bayaran belum turun. Itu dilema tersendiri. Kalau mau diputus hubungannya, kok nanti hanya tersisa satu rumah sakit. Tetapi kalau mau dilanjutkan, kok ya aku nombok terus.”

Di sisi lain, rumah sakit yang satunya juga mulai mengalami permasalahan. “Rumah sakit yang satunya lagi dulu adalah sumber uang paling besar. Tetapi semenjak ada pergantian pengurus bagian pengadaan barang, ordernya jadi berkurang banyak banget.”

Andri mengklaim bahwa semenjak kepala pengadaan barang diganti, omset bulanannya turun derastis sehingga setelah dibagi dengan rekan bisnisnya, jumlah uang bersih yang didapat Andri jauh lebih sedikit daripada pendapatannya di tempat kerja dahulu. “Setelah dibagi, aku cuma dapat satu setengah juta rupiah.”

Dalam posisi tersebut, Andri sempat memiliki keinginan untuk kembali bekerja sembari mengurusi bisnisnya. “Aku kepikiran untuk mencari pekerjaan. Soalnya kan aku hanya tinggal transfer kalau ada pesanan. Kayaknya bisa kalau disambi punya pekerjaan tetap. Tetapi khawatirnya, nanti aku malah fokusnya terbagi.” Dengan pemikiran itu, Andri memutuskan untuk bertahan dan mencoba mencari solusi agar orderan dari rumah sakit kembali banyak seperti sebelumnya.

Ketika saya singgung perihal apakah kepala pengadaan barang yang baru sudah diberi ‘hadiah’ atau belum, Andri mengklaim di sanalah permasalahannya. “Nah itu dia. Harus pelan-pelan mendekati agar dia tidak salah sangka. Ini bisa saja karena dia sudah diberi ‘hadiah’ sama suplier lain dan memilih menggunakan jasa mereka alih-alih jasa kami, atau memang karena murni ingin melakukan perombakan entah untuk mengurangi pengeluaran atau bagaimana.”

Sekalipun begitu, menurut Andri banyak terjadi komplain dari pihak tenaga medis terkait alat kesehatan yang didatangkan dari pemasok baru. “Barangnya kan yang buat masukin selang infus ke tangan pasien. Nah, semenjak bukan dari kami, banyak tenaga medis yang mengeluh kesusahan karena barangnya berbeda dan lebih kaku. Makanya ini lagi diusahakan untuk mendekati kepala pengadaan barang yang baru itu.”

Mengetahui fakta demi fakta tersebut, saya tidak bisa tidak, langsung mengatakan bahwa bisnis yang dikelola Andri sedang sangat terpuruk dan justru berpotensi hancur. Alih-alih menentang, Andri justru membenarkan perkataan saya.

“Memang. Kalau berlangsung terus begini, bisa selesai juga. Hanya ada dua rumah sakit, yang satu nunggak berbulan-bulan, yang satu ordernya hanya sedikit. Ini aku juga pusing. Tetapi aku mikir positifnya, selama ini yang aktif bergerak hanya partnerku. Yang mencari rumah sakit hanya dia, sementara aku hanya nunggu di sini dan transfer. Kalau aku mulai ikut bergerak dan sudah dapat ilmu negosiasi ke rumah sakit, seharusnya bisa dapat banyak pesanan dan balik kayak dulu lagi. Bisa per bulan lima puluh juta, atau malah lebih.”

Hobi berjualan sejak sekolah dasar

Pagi hari sebelum menemui Andri, terlebih dahulu saya menemui seseorang yang juga menjadi teman lama. Selepas kuliahnya, ia pernah bekerja di sebuah perusahaan mentereng dan saya tahu gaji pada perusahaan itu sangat lumayan. Kami hilang kontak setelah itu, hingga lama kemudian, saya mendapat kabar bahwa ia telah sukses dengan bisnis yang diurusinya, yaitu jualan parfum. Apakah ia masih bekerja sembari mengurusi bisnis, awalnya saya tidak tahu, dan berangkat dari ketidaktahuan saya tersebut, keinginan untuk menemuinya muncul.

Saya menghubunginya melalui pesan WhatsApp. Terasa sangat canggung mengingat pesan terakhir kami adalah pada bulan Juni 2019. Kecanggungan itu memudar setelah basa-basi singkat, dan saya mengutarakan niat untuk menemuinya dan membahas segala hal semenjak pertemuan kami terakhir beberapa tahun lalu. Ia menyetujuinya. Lantas ia kirimkan lokasinya tinggal saat ini, dan pada tanggal 24 Mei 2021, saya berangkat menuju tempat tinggalnya.

Namanya Ayak (24). Ia adalah salah satu dari adik angkatan kuliah yang pernah saya ajar ketika menjadi asdos bertahun-tahun silam. Saya mengenalnya sebagai si periang dan mudah akrab dengan siapa saja, pun sudah memiliki jiwa bisnis menggebu sejak pertama kali bertemu. Saya pernah mengetahuinya berjualan masker wajah ketika kuliah dulu, pun jauh di masa lalu, ia sudah sering berjualan binder sewaktu SD, stiker dengan motif lucu semasa SMP, dan hampir pernak-pernik lainnya yang digandrungi teman-teman sekolahnya dulu. Maka dari itu, sebenarnya tidak heran jika akhirnya ia kini memang sukses dengan bisnis berjualan parfum.

Ketika saya temui ia di rumah kontrakannya, ia tak banyak berubah. Masih dengan senyuman manja yang khas dengannya, suara yang bersahabat, dan kadang gelak tawa keras yang terlampau keras.

“Sudah berapa lama kita tidak bertemu, ya?” ia mempersilakanku memasuki rumah kontrakannya. Rak-rak berisi parfum tersebar di segala sudut, dipenuhi ribuan parfum dengan berbagai merk. Beberapa tertata rapi. Beberapa tampak berserakan karena dalam proses pengemasan untuk dikirim.

“Sangat lama.” Saya menjawab. Aroma parfum menguar di ruangan itu. Bukan jenis parfum yang saya kenal karena memang hanya sedikit jenis parfum yang akrab di penciuman saya. Memasuki ruangan dengan aroma semerbak seperti itu, tidak bisa tidak, saya langsung membayangkan Aroma Karsa, sebuah novel milik Dewi Lestari yang berfokus tentang Jati Wesi, seseorang yang begitu peka terhadap aroma. Sayangnya, ketika saya bahas perihal Aroma Karsa, Ayak tidak mengetahui cerita tersebut.

Pun kami tidak langsung membahas perihal bisnis parfum. Saya harus menunggu Ayak menyelesaikan proses pengemasan beberapa parfum, lantas menunggunya mandi, pun ditambah menunggunya berdandan. Barulah setelah ia melakukan semua itu, kami memulai obrolan.

“Januari tahun ini aku berhenti kerja.” Ia memulai ceritanya.

“Awalnya memang sangat dilematis, mengingat gaji di sana lumayan besar. Tetapi pertimbangannya, bisnis parfumku sudah mulai susah kalau harus disambi bekerja. Aku juga yang jadinya sangat lelah kalau harus menjalani dua profesi.”

Ia mengatakan bahwa ketika masih bekerja, omset berjualan parfum sudah di atas lima puluh juta rupiah per bulannya. Angka sebesar itu, sekalipun itu baru omset belum labanya, membuat ia memberanikan diri melepas pekerjaannya. Ya, bagi Ayak inilah titik dimana seorang karyawan akan berhenti kerja pada waktunya.

“Setelah keluar dari pekerjaan, omsetnya semakin naik. Mulai tembus seratus jutaan per bulan. Ya karena itu, karena aku menjadi lebih fokus.”

Sebelum lebih jauh membahas omset bisnisnya yang ratusan juta, saya meminta Ayak untuk menceritakan bagaimana awal ia memulai bisnisnya. “Aku memang suka berjualan sejak kecil. Aku pernah cerita dulu, kan? Aku sudah berjualan sejak SD. Jualan kecil-kecilan seperti binder ke teman-teman. Hasilnya ya memang recehan, tetapi aku menyukainya,” terangnya sambil mengemas pesanan.

“Dari dulu banyak yang bilang, ‘ngapain aku jualan? Bapakku bangkrut?’ banyak sekali yang seperti itu. Masalahnya bukan karena aku kekurangan uang jajan, tetapi karena aku memang menyukai jualan.”

Ia lantas melanjutkan ceritanya ke masa-masa kuliah ketika berjualan masker wajah. “Dulu itu aku patungan modal sama temen sekelas. Patungan buat beli stok masker wajah. Aku promosiin di WhatsApp sama Instagram, dan banyak peminatnya. Makanya dulu sering banget aku kalau diajak main sama temen, pasti sambil bawa dus gede isinya masker wajah. Itu karena sekalian COD dengan pembeli.”

Sayangnya bisnis masker wajah itu harus terhenti ketika Ayak mulai berhadapan dengan tugas akhir. Ia tak memiliki waktu berjualan dan sibuk selama berbulan-bulan dengan siklus bimbingan – revisi – bimbingan – revisi, sampai akhirnya ia lulus dan kehilangan momen untuk berjualan masker.

“Momennya sudah hilang waktu itu,” terangnya. “Masker wajah yang aku jual pasarnya sudah sangat sepi.”

Berhenti berbisnis dan menjadi pekerja kantoran

Kehilangan momen berjualan, akhirnya ia bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji jauh di atas UMR Jogja. Awalnya ia merasa nyaman di sana dan menikmati bulan demi bulan bekerja di lingkungan baru, sampai pada akhirnya hasrat untuk berjualan kembali muncul.

“Aku bosan dengan rutinitas pekerjaan,” jelasnya.

Ia melanjutkan. “Akhirnya aku menemukan jalan lain untuk berjualan. Aku mendapat jaringan pemasok parfum. Karena parfumnya mahal, baik harga maupun ongkos kirimnya, akhirnya aku memutuskan untuk menggunakan sistem Pre-Order. Aku membuat promosi di media sosial dan mengumpulkan massa untuk membeli. Ternyata banyak yang tertarik dan terkumpul uang. Akhirnya aku pesan dari pemasok, dan setelah sampai ke kos-kosan—waktu itu aku masih ngekos—baru aku kirim ke para pemesan.”

Ayak menegaskan bahwa pelanggannya rata-rata ada di Kota Jogja, sehingga aktivitas COD kembali ia lakukan, dan kali ini ia lakukan di sela-sela pekerjaannya. “Itu sangat melelahkan,” kenangnya. “Pakai kardus, naik motor matic, keliling Jogja. Lebih parahnya, setiap kali mau COD, ada saja parfum yang pecah. Kalau sudah pecah, biasanya aku gratiskan ke orangnya. Mau bagaimana lagi, itu memang kesalahanku.”

Dengan siklus hidup seperti itu, saya lantas menanyakan perihal bagaimana ia bersosialisasi dengan teman-teman kantornya, dan Ayak langsung menegaskan bahwa ia memang kehilangan teman. “Semenjak aktif berjualan, aku tidak punya teman.”

Hobi jualan sejak kecil, membuat Ayak yakin untuk berhenti kerja dan memulai bisnis parfum. Foto oleh Riyanto/Mojok.co

Ia juga mengatakan tidak pernah memberitahu rekan kerjanya perihal aktivitas berjualan parfum. “Aku tidak memberitahu mereka. Makanya, kadang mereka sering menganggap aku sok sibuk karena tidak pernah mau diajak nongkrong. Tapi ya bagaimana, bukannya sok sibuk atau apa, tetapi aku memang harus berjualan. Melakukan promosi, mengumpulkan orang yang mau PO (pre-order), pesan ke pemasok, lantas melakukan COD itu memang menyita banyak waktuku.”

Dan aktivitas seperti itu ia lakukan selama berbulan-bulan sehingga waktu untuk bersosialisasi benar-benar tidak ada. “Aku melakukan itu semua karena memang suka. Ditambah, aku masih muda, dan selagi bisa melakukan banyak hal, terutama menghasilkan uang, kenapa tidak?”

Ya. Saya sangat setuju dengan hal itu, dan meski pada penerapan yang berbeda, saya juga melakukan apa yang Ayak lakukan tersebut dengan bekerja di suatu tempat, pun menjadi penulis lepas, pun merintis bisnis sampingan. “Benar, kenapa tidak?” saya mengulangi kalimatnya.

“Sampai akhirnya…” Ayak melanjutkan. “Ketika uangnya cukup banyak, aku mencoba berani untuk tidak menggunakan sistem PO lagi. Aku mulai membeli stok meski belum banyak, dan luar biasanya, semua stok yang aku beli pasti langsung habis. Setelah itu, aku mulai menyetok lebih banyak lagi. Sampai ada ratusan stok di kos.”

Masalah lain datang saat ia mulai memiliki stok parfum. Kamar tempatnya tinggal berada di lantai dua, dan hampir setiap hari ia harus mengangkat kardus demi kardus parfum dari lantai satu ke lantai dua, lantas dari lantai dua ke lantai satu saat hendak melakukan pengiriman.

“Aktivitas itu aku lakukan hampir setiap hari. Dan itu sangat melelahkan. Ditambah aku masih harus bekerja juga. Sampai akhirnya aku memutuskan pindah tempat tinggal. Dari sebuah kamar kos, aku pindah ke sebuah kontrakan. Bukan kontrakan yang ini. Yang sebelumnya.”

Di tempat tinggal barunya, bisnis yang ia jalani semakin besar. “Akhirnya aku punya reseller. Total sampai sekarang ada lima puluh reseller. Selain itu, aku juga mulai melakukan pengiriman menggunakan ekspedisi kalau memang pengirimannya jauh. Paling gampang menggunakan ojek online kalau masih di kota. Kalau sudah di luar kota menggunakan JNE, JNT, dan sejenisnya.”

Ia terus menjalani kehidupan seperti itu, sampai akhirnya rasa lelahnya memuncak ketika pesanan datang dalam jumlah banyak berhari-hari. “Akhirnya aku benar-benar lelah. Keinginan untuk berhenti bekerja memang sudah ada sejak jauh-jauh hari, tetapi selalu aku urungkan karena merasa bisa menjalani dua kehidupan ini terus menerus,” kata Ayak.

Akhirnya ketika Ayak merasa salah satu kehidupan menjadi lebih dominan, pada kasus ini adalah usahanya, ia memutuskan berhenti bekerja. “Dan kalau boleh jujur, lebih melelahkan mana antara bekerja kantoran atau berjualan parfum, jauh lebih melelahkan berjualan. Tetapi mau bagaimana pun, sekali lagi aku menyukai aktivitas ini.”

Berhenti kerja dan memiliki omset hingga 200 juta per bulan

Per Januari 2021, ia fokus pada usahanya. Tidak hanya melayani pengiriman, akhirnya ia menerima siapa saja yang ingin membeli parfum langsung datang ke kontrakannya. “Lebih mudah kalau pelanggan yang datang ke kontrakan dan langsung beli.”

Pada periode di tempat barunya, bisnisnya begitu ramai sehingga pernah mencapai rekor omset bulanan hingga lebih dari dua ratus juta rupiah. “Itu kalau aku masih bekerja, barangkali tidak bisa sampai dua ratus juta. Setelah itu, beberapa bulan kemudian, aku memutuskan untuk membeli mobil meski aku belum bisa menyetir sama sekali.”

Gelak tawanya yang sedikit terlalu lepas kendali itu kembali muncul. “Padahal dari dulu aku tidak pernah terpikir membeli mobil. Tetapi mau bagaimana lagi? Daripada uangnya tidak terkumpul.”

Akan tetapi masalah lain muncul tak lama setelah itu. Lingkungan tempat ia tinggal tidak terlalu menyukai aktivitas yang ia lakukan. “Jalan masuk sering ditutup portal, padahal kalau ada pengiriman dari pemasok kan harus menggunakan mobil boks besar setiap hari rabu. Waktu itu stok yang aku punya sudah menyentuh ribuan. Warga di sana tidak suka dengan aktivitasku berjualan. Akhirnya ya aku pindah ke sini. Dan di sini, karena aku semakin kerepotan, akhirnya aku memiliki tiga pegawai yang jaga bergantian.”

Di tempat barunya, di sebuah perumahan sekitar Jombor, ia tidak mendapatkan kesulitan dari warga sekitar. “Orang-orang di sini jauh lebih menerima aktivitas jualanku. Aku buka sampai jam sepuluh malam juga tidak apa-apa.”

Obrolan kami terjeda beberapa saat ketika ada beberapa orang berkunjung. Lama Ayak melayani beberapa pembeli, dan dari sanalah saya tahu bahwa ia begitu menikmati kesibukannya. Jeda waktu tersebut saya sempatkan untuk melihat deretan parfum yang berjejer rapi di sebuah rak. Ada satu parfum yang menarik perhatian karena memang parfum tersebut yang saya gunakan dalam sehari-hari.

Versace Eros Flame, terbungkus apik dalam boks merahnya. Ah, siapa saja yang mencium aroma jeruk mandarin bercampur vanila itu pasti akan terlena. Saya mengambil parfum itu, berniat membelinya karena stok milik saya memang sudah menipis.

Ketika akhirnya Ayak kembali memiliki waktu luang, saya langsung memberikan pertanyaan yang sudah sejak tadi saya tahan. “Kamu yakin dengan bisnis ini?”

Di luar ekspektasi, ia menggeleng. “Tidak,” jawabnya. “Kalau ditanya apakah ‘saat ini’ aku yakin dengan bisnis ini, maka jawabannya adalah ‘iya’. Tetapi jika pertanyaannya adalah apakah aku akan ‘terus’ di bisnis ini, maka jawabannya bisa saja ‘tidak’.”

Ia melanjutkan. “Aku sangat fleksibel terhadap segala sesuatu. Kalau bisnis ini akan terus berkembang, maka akan aku jalani terus. Kalau suatu ketika ternyata tidak bisa dipertahankan, maka aku akan beralih ke bisnis lain. Atau kalau ternyata bisnis ini nanti bisa aku tinggal dan murni diurusi pegawai, aku bisa saja bekerja lagi agar mendapat uang lebih banyak. Atau membuka usaha lain.”

Ah, sialan. Saya lupa kalau ia memang tipe orang seperti itu.

Obrolan kami berakhir di sana. Berakhir dengan saya yang membeli Versace Eros Flame, yang menurut Ayak aromanya tidak enak padahal belum pernah ia coba. Akhirnya ia harus mengakui bahwa aroma Versace Eros Flame memang sangat melenakan ketika saya iseng menyemprotkan parfum itu ke tangannya. Setelah itu saya berpamitan, akan tetapi hujan yang mendadak turun membuat saya bertahan lebih lama lagi di sana.

Aneh memang bagaimana hujan bisa turun padahal sudah penghujung Mei. Di satu sisi saya sebal karena tidak bisa melanjutkan aktivitas, tetapi di sisi lain saya justru begitu beruntung karena merasakan percampuran aroma yang begitu dahsyat. Perpaduan antara petrikor dan sisa-sisa aroma jeruk mandarin dari Versace Eros Flame yang saya semprotkan beberapa waktu lalu menciptakan aroma yang hanya layak dideskripsikan dalam satu kata: magis.

BACA JUGA Kopi Lain Boleh Mahal, Maringopi Tetap Bayar Seikhlasnya dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

 

Exit mobile version