Pedagang kali lima (PKL) Malioboro akan dipindah dari tempat jualannya saat ini. Namun para PKL menolak. Selain dadakan dan masih terdampak pandemi, relokasi juga pernah bikin pedagang celaka.
Yati Dimanto (63) menolak uang untuk dua gelas es jeruk yang disuguhkan kepada Mojok.co. “Kalau semua dari wartawan tak terima, aku sudah kaya,” kata pemilik angkringan di Malioboro itu, saat ditemui, Jumat (2/12).
Sekitar dua bulan ini, ia susah payah membuka kembali warungnya setelah berbulan-bulan tutup karena pagebluk. Ketua Paguyuban Angkringan Malioboro (Padma) dan sesepuh 200-an pedagang kuliner itu bahkan sempat mengibarkan bendera putih sebagai tanda menyerah. “Ibaratnya kalau bertani, sekarang ini kami harus macul lebih dalam,” ujarnya.
Saat usaha belum pulih benar, tiba-tiba ia mendengar para PKL Malioboro bakal dipindah. Meski relokasi PKL sudah jadi selentingan lama, warga Dagen, Kota Yogyakarta, ini kaget saat menerima telepon untuk mengikuti sosialisasi dari pemerintah daerah. Tak ada info jelas soal sosialisasi apa.
Secara bergelombang, kelompok-kelompok PKL Malioboro diminta datang ke sebuah hotel tiap malam. Setelah makan-makan, mereka diberitahu harus pindah ke dua lokasi yang disiapkan pemda mulai bulan depan. Itu kali pertama mereka mendengar bahwa mereka benar-benar akan dipindah.
“Wes lemes aku,” tutur Yati. “Awake dewe kaya dijebak, seakan-akan (sosialisasi soal apa) didelike, supaya kita mau datang dulu, pas di sana mak jebret.”
Usai pertemuan itu, para pedagang gelisah. Mereka khawatir tempat usaha yang baru tak seramai lokasi saat ini. “Teman-teman banyak yang stres. Galau. Cari uang dengan hati tidak tenang, kan malah rezeki gak bakalan datang,” ujar nenek tiga cucu ini.
Apalagi, sepanjang pengalamannya berjualan sejak 1997, Yati dan para PKL Malioboro punya pengalaman buruk soal relokasi. Saat relokasi pada 2004, pedagang di sisi barat jalan, termasuk Yati, harus pindah ke seberang jalan di sebelah timur karena adanya penataan jalan terkait jalur lambat.
Meski hanya ‘lompat jalan’, PKL Malioboro harus menghadapi situasi berat karena dagangan mereka tak selaris di lokasi sebelumnya. Yati bercerita,sejumlah pedagang juga harus menanggung risiko melayani pelanggan di seberang jalan. Akibatnya, seorang pedagang harus mengalami kecelakaan tertabrak kendaraan. Kaki pedagang itu patah.
Yang memprihatinkan, menurut Yati, ada pula seorang pedagang yang stres berat karena omzet dagangannya anjlok. Sebagai ilustrasi, jika semula ia menghabiskan 4 kilogram gula sehari untuk membuat minuman, di lokasi baru ia hanya menghabiskan setengah kilo.
“Mumet dia, stres, lima hari setelah relokasi dia meninggal. Cuma lompat jalan, tapi kami mbabat alas 3-4 tahun baru bisa menata ekonomi,” kata dia.
Relokasi juga menurut dia tak menjamin munculnya PKL-PKL baru di lokasi lama. Yati mencontohkan kawasan Nol Kilometer. Berkali-kali dibersihkan, pedagang tetap muncul di kawasan itu.
Yati juga mempertanyakan rencana pemindahan PKL Malioboro yang dinilai terburu-buru. Sebab, saat sosialisasi, pemindahan di los eks Dinas Pariwisata DIY hanya sementara. “Kami diminta menunggu 1-3 tahun sampai lokasi asli jadi. Berarti kan belum rampung,” kata dia.
Menurut Yati, dirinya dan para PKL kuliner akan menempati gedung eks Bioskop Indra. Setiap pedagang mendapat lapak 1×1 meter, fasilitas air, dan legalitas usaha. Namun lokasi itu dinilai tak strategis. “Kami ndak butuh tempat elit, tapi yang laris,” ujar dia.
Yang jelas, selama pemda menyiapkan tempat-tempat baru untuk PKL Malioboro, para pedagang tak dilibatkan. “PKL belum pernah diajak omong. Mungkin karena pemerintah punya kuasa,”ujarnya.
Untuk itu, Yati meminta para PKL tetap dapat berdagang di tempat mereka saat ini. Menurut dia, pemda dapat mempercantik trotoar dan para PKL Malioboro,misalnya dengan menyeragamkan tenda jualan.
“Kalau dipercantik, saya kira semua mau. Malioboro bisa indah tanpa PKL dipindah,” kata dia.
Sebelum masa pandemi, dari membuka angkringan di siang hari, penghasilan Yati lumayan. Ia hanya mesem saat disinggung soal pendapatannya yang tak kalah dari upah minimum di DIY—yang tak sampai Rp2 juta perbulan dan di urutan buncit di tingkat nasional. “Yang penting dapat untuk hidup layak,” kata Yati.
Hasil layak itu pun musnah digebuk pagebluk. Hanya menerima sejumlah bantuan bahan pokok, bantuan modal yang diharapkan Yati justru nyangkut di urusan birokrasi. Ia sempat banting setir membuat masker dari kain perca dan melayani jasa pesan antar makanan.
Namun kini saat memulai lagi warung yang dikelolanya nyaris 25 tahun ini, Yati ‘dipukul’ lagi oleh relokasi.
“Kami baru bangun sadar dari klenger, belum bisa nyaur utangan, ini mendadak mau direlokasi. Tadinya mati suri, ini nanti kami bisa benar-benar mati,” tuturnya.
Manut asal tidak dipindah
Ketua DPD Asosiasi PKL Indonesia Kota Yogyakarta, Wawan Suhendra, juga menolak relokasi. Apalagi di Malioboro terdapat sekitar 2000 PKL dan menjadi tempat bergantung hidup puluhan ribu orang, baik pekerja maupun keluarga pedagang.
“PKL syok dan merasa keberatan karena ini menyangkut masa depan mereka. Apalagi kondisi kami saat ini babak belur akibat pandemi. Ekonomi PKL terjun bebas. Apa-apa dijual, utang numpuk, tabungan menipis. Dalam kondisi ini, kami malah direlokasi,” tutur dia kepada Mojok.co.
Sebagai koordinator Unit 37 di Malioboro dengan anggota 83 PKL, Wawan tahu betul para pedagang selalu mematuhi ketentuan.
“Disuruh apapun kami manut asal tidak dipindah. Waktu itu GKR Hemas juga sempat minta jangan jual makanan basah. Anggota kami yang kuliner langsung beralih jual pakaian,” ucapnya.
Wawan menyatakan pembenahan Malioboro, termasuk relokasi, harus dikaji dan melibatkan semua pihak, dari akademisi, budayawan, politisi, dan pemangku kepentingan lain.
“PKL itu ikon Malioboro. Yang bikin menarik dan unik Malioboro. Tidak semua kota ada PKL-nya, tapi pengen punya Malioboro, seperti Solo dan Malang,” tuturnya.
Merespons rencana relokasi ini, kelompok-kelompok PKL Malioboro terus berkumpul untuk menyatukan sikap. Sekretaris Koperasi Tri Dharma Malioboro, Dodi Indragiharto, menjelaskan selama dua pekan ini secara maraton dan bertahap 900-an anggota koperasi itu telah bertemu.
“Kami sangat keberatan. Dulu mau bangkit, ada PPKM. Sekarang mau bangkit lagi, ada relokasi. Anggota kurang siap. Eman-eman juga karena PKL vital untuk menarik wisatawan,” ujarnya.
Dengan pemindahan PKL, Malioboro juga akan kehilangan ciri khasnya karena akan diubah bak Orchard Road, Singapura. Sementara daerah lain ingin meniru Malioboro. “Nanti kalau ditanya mau ke mana, ada yang jawab , ‘mau ke Malioboro Solo’, karena sekarang adanya Orchard Road Jogja,” celetuk Dodi.
Anggota Tri Dharma juga disebut bakal dipindah ke shelter. Padahal, tempat itu lokasi jualan sementara. “Ini harus lewat undian, terus kami promosi, mbabat alas, tapi lalu direlokasi lagi ke tempat permanen yang belum tahu di mana. Ini kan dua kali kerja,” tutur pedagang pakaian di Malioboro ini.
Dalam sosialisasi pemda, PKL Malioboro bakal dipindah ke dua lokasi, yakni gedung sentra PKL di eks lahan Bioskop Indra dan shelter di eks Dinas Pariwisata DIY. Shelter atau los ini berada di eks lahan Dinas Pariwisata DIY di ujung utara Jalan Malioboro, di sebelah Hotel Inna Garuda.
Saat disambangi Mojok.co pekan lalu, pengerjaan los terus dikebut. Rangka-rangka bangunan telah berdiri, melintang berderet dari timur ke barat. Ekskavator pun masih bekerja mengeruk tanah di sisi lain area itu. Proyek bernilai Rp2,5 miliar ditarget rampung akhir bulan ini dan akan akan ditempati untuk PKL Malioboro yang berjualan pakaian dan kerajinan.
Jika lokasi pertama itu berupa los untuk tempat jualan sementara, lokasi kedua adalah gedung megah di eks lahan Bioskop Indra. Lokasinya tak jauh di ujung selatan Malioboro di seputaran kawasan Nol Kilometer—sisi utara Gedung Agung dan Hamzah Batik.
Dari jalan, akses ke tempat ini masih tertutup seng dan tempat parkir mobil. Namun di baliknya, berdiri gedung tiga lantai dengan fasad modern dan dinding kaca. Halaman area ini lapang dengan pohon rindang serta taman vertikal plus dua tulisan Instagramable
Di sisi utara terpampang, ‘Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan’. Sedangkan sebelah selatan tertulis ‘Bagi setiap orang yang pernah tinggal di Jogja setiap sudut kota Jogja itu romantis’. Gedung dan tulisan ini sempat viral di media sosial dan dianggap sebagai spot wisata tersembunyi di Malioboro.
Dalam desain rancangannya, gedung itu dilengkapi sentra kuliner, tempat pertunjukan, dan air mancur. Proyek senilai Rp62 miliar ini sudah rampung dibangun dan siap digunakan.
Selain dua tempat itu, ada dua bangunan lagi yang dinyatakan bakal digunakan untuk tempat PKL Malioboro, yakni dua gedung Hotel Mutiara di tengah-tengah Malioboro. Kedua gedung ini dibeli menggunakan Dana Keistimewaan DIY senilai Rp 170 miliar pada 2020. Tahun ini, gedung tersebut dijadikan tempat isolasi pasien Covid-19.
Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah DIY Srie Nurkyatsiwi menjelaskan akan menggunakan gedung eks Bioskop Indra dan shelter di eks Dinas Pariwisata. Masing-masing tempat itu berkapasitas 800 PKL.
“Kami punya target Januari 2022,maka ini mulai jalan mundur sudah ada persiapan-persiapan. Ini bentuk kolaborasi antar wilayah dan UPT,” ujar Siwi saat dihubungi Mojok.co.
Menanggapi penolakan pedagang, Siwi menyatakan akan terus bertemu dengan para pedagang untuk membahas pemindahan ini.
“Kami terus berproses supaya ada titik temu dengan pedagang. Kami terus melakukan sosialisasi soal tujuan relokasi, termasuk plus minusnya. Tidak serta merta pindah. Soal tuntutan, akan kami list dan diskusikan, “ ucapnya.
Adapun Hotel Mutiara saat ini masih digunakan untuk tempat isolasi terpusat. Namun tahun ini tengah disusun desain rancangan detail (DED) dan amdal sebagai tempat PKL.
“Untuk (difungsikan) tahun depan, kami masih lihat situasi. Kami harus bicarakan prioritas dan kemampuan finansial untuk pemanfaatan aset sesuai tujuan awalnya,” kata Siwi.
Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X menyatakan, relokasi ini bagian dari penataan Malioboro sebagai bagian garis imajiner dan sumbu filosofi Yogyakarta. Garis yang terbentang dari Laut Selatan, Keraton Yogyakarta, hingga Gunung Merapi itu bakal diakui oleh lembaga kebudayaan dunia, Unesco.
“Kita ingin membangun kerjasama dengan Unesco untuk sumbu filosofisnya,” kata Sultan kepada wartawan. “Toh pindah juga tetap di kawasan Malioboro.”
BACA JUGA Membongkar Rahasia Blantik: Menepok Pantat untuk Menaksir Berat Badan dan liputan menarik lainnya di Susul.