Alasan Orang Kuningan Pilih Bekerja di Warung Makan Indomie

Bekerja dari warmindo yang satu ke warmindo yang lain, kemudian buka warung sendiri.

Ada alasan tersendiri mengapa sebagian besar pekerja di warung makan Indomie (warmindo) di Jogja berasal dari Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Beda lagi kalau mereka merantau ke Jakarta, kebanyakan bekerja di warung kopi. 

***

Matanya nanar memandang meja dan kursi di kiosnya. Sesekali ekor matanya mencuri pandang ke panci di atas kompor, dua meter di sampingnya. Sesekali pula ia berbincang dengan istri dan anaknya. Satu dua pembeli datang dan memberinya kesibukan. Saat pelanggan datang, raut mukanya jadi lebih gembira.

Tahun ini adalah tahun kesepuluh Ade Rukmana (30) merantau di Jogja. Sama seperti para tetangga dan saudaranya di Kuningan, Jawa Barat, ia mengadu nasib sebagai penjual di warmindo. Ia merasa jauh lebih beruntung karena 5 tahun terakhir bisa mempunyai warung sendiri dan tidak lagi bekerja sebagai pegawai.

Akhir tahun lalu asanya sempat meninggi demi melihat pandemi mulai melandai. Sayang, asa hanya asa, varian Omicron melanda dan ia harus rela menggigit jari lebih lama.

Ade baru berusia 20 tahun saat merantau ke Jogja setelah diajak temannya.  Di Kuningan, ia bekerja serabutan, termasuk menjual gorengan. Di Jogja, ia magang selama setahun di salah satu warmindo di Gamping, Sleman. Di sana, ia belajar memasak aneka menu khas warung makan Indomie. 

Nasib membawanya berlabuh dari satu warmindo ke warmindo lain sebanyak 4 kali hingga akhirnya memiliki warung sendiri dari hasil jerih payahnya selama ini. “Dulu pas di Kuningan ya tidak bisa masak,” kenangnya.

Menurut penuturan Ade, ada paguyuban penjual warung makan Indomie dengan jumlah anggota ratusan orang dan tersebar di berbagai wilayah di Provinsi DIY. Itu semua bukan tanpa alasan, sebab, sudah menjadi kebiasaan orang di Kuningan untuk merantau dan mengadu nasib di bidang kuliner kelas akar rumput. 

Warmindo dengan orang Kuningan di belakangnya pun tersebar di berbagai kota. Di Semarang misalnya, Ade mencontohkan banyak perantau Kuningan membuka usaha warmindo. Sementara di Jakarta, mereka tenar berada di balik warung kopi.

“Orang-orang di sana yang penting cari duit, bukan sekolah tinggi,” ungkap Ade menyoal alasan di balik pilihan merantau. Maka, sudah biasa para lulusan SD dan SMP di Kuningan merantau ke kota lain, termasuk Jogja. 

Usaha lain yang digeluti para perantau Kuningan beragam, mulai dari warmindo hingga penjual gorengan. Di keluarga besarnya, bapak satu anak itu punya 8 kerabat yang menjadi pekerja warmindo di Jogja dan semuanya tidak mencapai bangku SMA. 

Dengan merantau, Ade dan para perantau lain bisa menghidupi keluarga mereka di kampung. Banyak dari mereka juga memutuskan menikah dan menghidupi keluarga dari berjualan di warmindo. Empat tahun lalu, Ade juga memutuskan meminang kekasihnya asal Klaten dan kini keduanya bersama-sama mengelola warung sembari membesarkan si buah hati.

Di sudut lain Jogja, ada Andi (27), pria asal Kuningan yang sejak 2014 merantau ke Jogja. Dua tahun sudah ia bekerja di Warung Makan Indomie Andeska depan Jogjatronik, Jalan Brigjend Katamso No. 64. 

Sama seperti Ade, pria itu sebelumnya sudah berkelana dari satu warmindo ke warmindo lain. Apalagi, Andi sampai saat ini masih berstatus sebagai pegawai dan belum memiliki warung sendiri. Total, ia sudah 3 kali berpindah. Ia memberlakukan jam buka mulai pukul 06 pagi hingga 12 malam.

warung makan indomie orang kuningan
Suasana warmindo Andeska. Tampak beberapa ojol sedang menunggu pesanan. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Bagi Andi, merantau dan bekerja di warung makan Indomie cukup menguntungkan. Dari pekerjaan yang tidak mensyaratkan ijazah ini, ia bisa mendapatkan gaji sekitar 2 juta per bulan, tergantung omset bulanan warungnya, makan gratis 3X sehari, serta tempat tinggal gratis di warung tersebut.

Jam kerjanya selama 12 jam per hari dan di sana ada 3 orang pekerja lain. “Lumayanlah, tidak usah mikir kos sama makan, uangnya bisa dikirim ke kampung buat bantu orang tua,” terangnya.

Di balik bisnis warmindo

Burjoan, singkatan dari bubur kacang ijo, adalah nama lain warmindo di masa lalu. Hingga hari ini, masih banyak orang menyebut warung ini dengan sebutan burjo atau burjoan. Secara fisik, warmindo identik dengan spanduk papan nama nan tipikal. Baik dari komposisi warna merah, kuning, dan hijaunya maupun dari jenis font yang digunakan. Komposisi warna tadi juga bisa ditemukan di cat di warung.

Sepengetahuan Ade, nama burjoan berawal dari usaha bubur kacang hijau keliling yang dilakoni para perantau Kuningan di tahun ‘90-an. Saat itu, mereka berjualan dengan gerobak pikul, gerobak dorong, lalu memutuskan berjualan di kios. 

“Ya karena permintaan mahasiswa,” cetus Ade mengenai alasan perpindahan itu. Permintaan mahasiswa pula yang sepengetahuan Ade berada di balik keberagaman menu di warmindo hingga hari ini.

Penggunaan nama warmindo di warung burjoan mulai marak terjadi beberapa tahun belakangan. Semuanya bermula dari pemberian bantuan spanduk oleh sebuah perusahaan mie instan, Indofood melalui merek Indomie. 

Hal ini menurut Ade bisa dilihat dari kemiripan spanduk di warung-warung warmindo hingga sekarang. Selain bantuan berupa spanduk, perusahaan itu juga memberikan beberapa kardus mie instan di masa-masa awal kerja sama.

Kini, menemukan burjoan atau warmindo dengan menu bubur kacang hijau bukan perkara mudah. Ade sudah lama tidak menyediakan itu di warungnya. Sementara Warung Makan Indomie Andeska tempat Andi kerja sudah 2 tahun ini tidak menyediakan menu bubur kacang hijau. Tidak ada pula menu itu di daftar menu kedua warung tersebut. Pun, sangat jarang ada pembeli memesan bubur kacang hijau.

Melewati rentang waktu puluhan tahun, warmindo bukan lagi sekadar pertaruhan para perantau Kuningan di Jogja. Ia telah tumbuh menjadi salah satu tempat yang sangat identik dengan dunia mahasiswa. Andi dan Ade sama-sama membenarkan bahwa pandemi dan liburnya kampus-kampus di Jogja sangat memukul usaha warmindo.

Di tahun-tahun sebelumnya, Ade bisa meraup omset harian hingga 2 juta rupiah. Hidupnya terasa mudah kala itu, ia punya banyak rencana di kepala. Sementara, Andi mengenang sebelum pandemi, warmindo tempat ia bekerja bisa meraup pendapatan hingga 3 juta per hari. 

Namun, itu semua dibuyarkan oleh pandemi. Masa-masa sulit keduanya terjadi di saat awal pandemi. Mahasiswa diliburkan tidak tahu hingga kapan, kampus tutup, gang depan warmindo Ade ikut ditutup.

Sementara warung Andi memberlakukan larangan makan di tempat. Padahal, selama ini warmindo identik sebagai tempat kongkow para mahasiswa, tidak sekadar makan lalu pulang. Otomatis, itu mempengaruhi penjualan. Omset warung makan Indomie Andi merosot drastis. Si bos memangkas pegawai dari 6 menjadi 4 saja. 

Andi, salah satu pegawai di warmindo Andeska. Warung satu ini punya banyak cabang di Jogja. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Sementara Ade sempat mengalami hari-hari dengan omset Rp300 ribu bahkan seharian tanpa pembeli. Ia pernah khawatir tidak mampu memperpanjang sewa kios. Ia juga sempat memikirkan menambah penghasilan dengan berjualan gorengan. 

Puncaknya, ia sempat menitipkan istri dan anaknya di rumah mertua karena situasi sulit itu. Di tengah ketidakpastian, Ade menyaksikan banyak rekannya tumbang. Mereka mulai menjual warung dan kembali ke kampung halaman. Itu semua, kata Ade, berada di luar perkiraan orang-orang sepertinya.

Peluang dan tantangan mengelola warmindo

Bisnis warmindo, ungkap Ade, sesungguhnya adalah bisnis menggiurkan. Mereka bahkan punya berbagai mekanisme dalam pengelolaannya. Ada yang murni bekerja dengan orang lain, sebagaimana Andi. Ada pula pemilik merangkap pegawai, seperti Ade. Ada pula sistem berbagi saham kepemilikan dan bagi hasil dengan orang lain. Masalah balik modal, dalam kondisi biasa, mudah saja dilakukan.

Ade mencontohkan, tahun lalu seorang temannya menjual warmindo seharga Rp35 juta di daerah Babarsari, Yogyakarta. Harga itu sudah termasuk fasilitas lengkap berupa alat masak dan meja kursi serta sewa kios selama 6 bulan. Dalam perhitungan Ade, biaya itu akan balik modal tidak sampai satu tahun bahkan di tengah pandemi. 

Apalagi lokasinya berada di area kampus dan perkantoran. Sementara, Andi sebagai pegawai mengatakan bahwa ia tidaklah membuka cabang sendiri dan menyandang nama Andeska. Ia adalah pegawai dalam arti sesungguhnya. “Bosku cari pegawai, lalu aku melamar dan disuruh jaga di sini,” terangnya.

Namun, di balik semua itu tentu saja terdapat beberapa tantangan dalam mengelola warmindo. Ade mengisahkan banyak rekannya khawatir dengan menjamurnya warmindo yang dikelola oleh orang-orang dari luar Kuningan. Ini semua, salah satunya, bermula dari beberapa pekerja warmindo secara tidak sengaja membocorkan menu di warmindo kepada para pelanggan. 

Masih menurut Ade, hari ini bisnis warmindo di Jogja sesungguhnya bukan hanya milik perantau Kuningan semata. Ia banyak menemukan orang-orang asli Jogja membuka warung makan Indomie dengan mempekerjakan perantau asal Kuningan. Selain itu, ada pula salah satu warmindo di Jogja dengan beberapa cabang yang dikelola oleh perantau daerah lain.

Menanggapi persaingan tersebut, Ade dan Andi sama-sama menyikapinya dengan santai. Ade selalu melakukan inovasi di warungnya. Mulai dari menambah menu baru hingga mengubah tata letak warung. Ia juga tidak tutup kuping jika ada kritikan dari pelanggan atas menunya. 

Meski namanya warung makan Indomie, warmindo kini banyak ragam menunya. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Sementara inovasi lebih jauh bisa dilihat di Warmindo Andeska dengan adanya menu lebih beragam seperti roti bakar dan kentang goreng. Selain itu, ada pula fasilitas Wifi gratis dan layanan pesan daring bekerjasama dengan aplikasi ojek daring.

Memiliki banyak cabang, Andeska memang tidak terlihat seperti warung makan Indomie umumnya. Sekilas ia tampak seperti kafe baik dari dekorasi ruangan, pilihan menu, hingga pembayaran yang telah tercatat dengan mesin kasir. Sementara baru-baru ini, Ade baru saja mengubah nama warmindonya di Muja-Muju, Umbulharjo dari Ekasari menjadi Sami Raos. “Biar ada suasana baru aja sih,” cetusnya.

Lia, salah satu pembeli di Warmindo Sami Raos mengatakan bahwa ia senang makan di warmindo karena keberagaman menu dan harganya yang ramah mahasiswa. Dengan makan di sana, Lia bisa memesan menu berbeda tiap harinya sehingga terhindar dari rasa bosan. Ada kalanya pula ia menyesuaikan bumbu masakannya supaya bisa lebih pas dengan lidahnya.

Kini, baik Ade maupun Andi sedang membiasakan hidup normal kembali. Mereka berharap Omicron tidak membawa warung makan indomie ke titik sulit lagi.  Baru-baru ini, Ade baru saja memperpanjang kontrak kiosnya dengan merogoh uang tabungan. Sementara, Andi masih menyimpan asa bahwa suatu saat bisa punya Warmindo sendiri dan tidak lagi jadi pegawai.

Penulis : Syaeful Cahyadi
Editor  : Agung Purwandono

BACA JUGA Prapatan Rebel: Ikon Generasi, Riwayatmu Kini liputan menarik lainnya di Susul.

                 

 

 

Exit mobile version