Sistem SPMB 2025 Tidak Jelas, Ambigu, dan Diskriminatif: “Pendidikan Bermutu untuk Semua” pun Hanya Omon-omon

spmb 2025, zonasi.MOJOK.CO

Ilustrasi - Sistem SPMB 2025 Tidak Jelas, Ambigu, dan Penuh Diskriminatif. (Mojok.co/Ega Fansuri)

Sistem seleksi penerimaan murid baru (SPMB) 2025 masih banyak celah. Ia diskriminatif, ambigu, bahkan penuh kecurangan. Sistem ini cuma bikin sibuk rebutan kursi, dan melupakan masalah utama dalam pendidikan.

***

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) terus menggaungkan program “Pendidikan Bermutu untuk Semua”. Tujuannya, adalah untuk memastikan bahwa setiap anak, tanpa memandang latar belakang sosial ekonomi, daerah tempat tinggal, atau kondisi lainnya, memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.

Melansir laman resmi Kemendikdasmen, ada beberapa aspek yang menjadi perhatian dalam program ini. Antara lain peningkatan kualitas guru, perbaikan sarana dan prasarana sekolah, pengembangan kurikulum yang relevan, serta peningkatan akses pendidikan bagi seluruh masyarakat.

Kendati demikian, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai bahwa program tersebut cuma sebatas omon-omon alias retorika saja.

Salah satu buktinya terlihat dalam sistem SPMB 2025 yang diwarnai protes karena banyak pihak merasa bahwa sistemnya masih belum berkeadilan untuk semua.  

“Sistem SPMB 2025 masih diskriminatif dan belum sepenuhnya memenuhi prinsip perlindungan ‘hak semua anak’ atas pendidikan,” kata Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, dalam keterangannya kepada Mojok, Sabtu (21/6/2025).

“Kenapa harus semua anak? Jelas ini adalah hak dasar setiap warga negara dan dijamin pula oleh UUD 1945 pasal 31 ayat 1,” sambungnya.

Bikin sibuk rebutan kursi di sekolah negeri

Menurut Ubaid, JPPI sendiri menemukan ada tiga masalah sistemik yang tercermin dalam Permendikdasmen No.3 tahun 2025 tentang SPMB. Inilah yang membuat SPMB tahun ini kembali ricuh.

Pertama, Ubaid menilai SPMB 2025 masih terjebak dalam masalah klasik. Yaitu perebutan kursi di sekolah negeri, tanpa memberikan solusi komprehensif bagi mayoritas anak yang tidak tertampung.

“Inilah pintu masuk kasus jual beli kursi, pungli, dan manipulasi yang sudah diberantas. Ada permintaan yang sangat tinggi (demand), sementara penyediaan (supply) yang sangat minim,” ungkapnya.

Kasus jual beli kursi ini, bagi Ubaid, terjadi mengikuti hukum pasar supply and demand. Semakin tinggi permintaan karena barang yang langka, maka semakin tinggi harga jual.

“Ibarat naik bus (sekolah negeri), ini kapasitas bus sudah jelas-jelas tidak muat, mengapa pemerintah hanya sibuk urus seleksi calon penumpang yang ingin naik bus? Padahal penumpang (calon murid) yang tidak tertampung jauh lebih banyak?” tanya Ubaid. 

Sebagai contoh, rata-rata daya tampung SMA Negeri di berbagai provinsi hanya sekitar 30 persen. Menurutnya, pemerintah harusnya fokus ke 70 persen anak yang tidak tertampung, daripada hiruk-pikuk ribut urus 30 persen saja.

“Bagaimana nasib 70 persen anak yang tidak tertampung ini? Kondisi ini malah berpotensi mengakibatkan tingginya angka putus sekolah di jenjang SMA dan rendahnya angka partisipasi sekolah.”

SPMB 2025 ambigu, sistem domisili tapi rasa prestasi

Masalah kedua, JPPI melihat bahwa Permendikdasmen No. 3 Tahun 2025 tentang SPMB sangat membingungkan dan penuh ambigu, terutama terkait penerapan jalur penerimaan. 

Misalnya, pada jalur domisili tingkat SMA, yang menjadi ukuran adalah kemampuan akademik, bukan jarak tempat tinggal ke sekolah. Keanehan serupa juga ditemukan pada jalur afirmasi yang ternyata mengukur jarak, sementara jalur domisili jenjang SD yang diukur malah usia. 

“Pusing bukan? Saya yang mengikuti tiap tahun saja pusing, apalagi orang tua,” keluhnya.

Kebingungan ini semakin diperparah dengan aturan di daerah seperti Jakarta dan Yogyakarta. Di dua daerah ini, semua jalur penerimaan di jenjang SMA (prestasi, domisili, mutasi, dan afirmasi) pada akhirnya tetap mengutamakan prestasi akademik. Ini tertuang dalam Pergub Jakarta 414/2025 dan Keputusan Gubernur DIY 131/2025.

“Ironi memang, meski jarak domisili anak dekat dengan sekolah dan dari keluarga miskin pula, tidak menjamin akan bisa melenggang lolos seleksi bila tidak berprestasi,” kata Ubaid.

Negara wajib membiayai, bukan hanya memberikan bantuan

Sementara untuk masalah ketiga, JPPI menyoroti ketidakpatuhan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai tafsir Pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas terkait sekolah tanpa dipungut biaya di SD dan SMP. 

Menurut JPPI, SPMB 2025 mestinya mengatur skema pembiayaan “full gratis” bagi calon murid yang tidak lolos di sekolah negeri dan akhirnya masuk ke sekolah swasta. 

Namun, kata Ubaid, aturan SPMB 2025 tidak tegas mewajibkan Pemda untuk membiayai anak-anak di sekolah swasta. Aturan ini hanya menyinggung dengan kalimat: “Pemda dapat memberikan bantuan pendidikan”.

Bagi Ubaid, hal ini menunjukkan rendahnya kemauan politik pemerintah dalam melindungi hak anak atas pendidikan.

“Kalau sekadar memberikan bantuan, periode lalu juga sudah, dan itu jelas dianggap inkonstitusional oleh MK, jadi harus dibiayai total kebutuhannya bukan sekadar bantuan parsial,” pungkasnya.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JELAS: Presiden Wajib Gratiskan Biaya Jenjang SD-SMP, Kalau Memang Berpihak pada Rakyat atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version