Bicara soal Rock in Solo tak cuma soal musiknya yang keras, tapi juga teriakan vokal yang mewakili keresahan warga. Event ini menjadi bukti bahwa musik adalah tempat menyuarakan penolakan atas kebijakan ngawur pemerintah. Salah satunya wacana pembangunan pabrik semen di Pracimantoro, Wonogiri.
***
Malam itu, Wonogiri bergetar oleh suara distorsi. Gitar berdengung panjang, drum berpacu cepat, dan di belakang para musisi terpampang spanduk bertuliskan: “Pegunungan Sewu dalam Ancaman Ekstraktivisme.”
Di tengah sorot lampu panggung yang temaram, para penonton bersorak, tapi bukan hanya untuk musik. Di sela dentuman keras itu, terselip kegelisahan tentang air, batu, dan tanah yang kini dipertaruhkan.
Gelaran tersebut bernama RockCon, forum diskusi dari rangkaian Rock in Solo Festival 2025. Untuk penutupan chapter Wonogiri pada 1 November lalu, panitia memilih konsep yang tak lazim: memadukan konser musik ekstrem dengan talkshow tentang ancaman pembangunan pabrik semen di Pracimantoro, wilayah karst di selatan Wonogiri.
Diskusi dipandu oleh Mariana dari AJI Surakarta, dengan menghadirkan tiga pembicara lintas bidang: Jaya Darmawan, peneliti ekonomi lingkungan dari Celios; Azzaki Amali, periset dari Trend Asia; dan Suryanto Perment, penggerak komunitas Tali Jiwo, kelompok warga yang menolak kehadiran pabrik semen di kawasan karst Gunung Sewu.

Ekstraktivisme, cara pandang yang “membebani” bumi
Jaya Darmawan membuka percakapan dengan paparan yang membuat ruangan hening sejenak. Menurut riset Celios yang ia paparkan, rencana tambang dan pabrik semen di Pracimantoro berpotensi menimbulkan kerugian ekologis hingga Rp22,7 – 26,5 triliun dalam rentang 70 tahun.
Angka itu mencakup rusaknya sumber air, hingga menurunnya kesuburan tanah di kawasan karst.
“Ekstraktivisme bukan sekadar aktivitas tambang,” ujarnya, Sabtu (1/11/2025).
“Ia adalah cara pandang yang menempatkan bumi hanya sebagai objek ekonomi. Dan beban terberatnya selalu jatuh ke masyarakat di bawah.”
Suasana berubah lebih reflektif ketika Azzaki Amali menambahkan analisisnya. Ia menggambarkan bagaimana jejaring bisnis dan kepentingan politik membentuk lanskap ekstraktivisme di Indonesia.
“Mereka membicarakan rencana pengerukan ini di meja makan sambil tertawa,” katanya. “Sementara di bagian lain ada orang-orang yang menangis karena kehilangan sumber airnya.”
Bagi Azzaki, Pegunungan Sewu bukan ruang kosong. Ia menyimpan air bawah tanah yang menopang ribuan keluarga petani.
“Sekali karstnya rusak, yang hilang bukan hanya bentang alam, tapi juga ritme hidup masyarakat di bawahnya.”
Pabrik semen ditolak karena banyak mudharatnya
Isu yang diangkat malam itu sejatinya bukan hal baru. Banyak laporan menunjukkan dengan gamblang bagaimana rencana pembangunan pabrik semen di Pracimantoro telah menimbulkan gelombang penolakan luas di masyarakat.
Sejak izin lingkungan dan Amdal proyek disahkan pada pertengahan 2024, keresahan warga makin nyata. Konsesi tambang sendiri direncanakan seluas 123 hektar, dengan area industri dan fasilitas pendukung mencapai lebih dari 300 hektar lahan produktif.
Padahal, kawasan tersebut termasuk wilayah Karst Gunung Sewu, bagian dari Global Geopark UNESCO yang memiliki fungsi hidrogeologis penting.
Sedikitnya 1.700 warga menandatangani petisi menolak rencana itu. Mereka khawatir sumber air yang menjadi tumpuan pertanian dan kehidupan sehari-hari akan hilang. Sedikitnya ada tiga desa, yakni Gebangharjo, Sumberagung, dan Joho berpotensi kehilangan sumber air alami bila eksploitasi dimulai.
Sementara itu, Mojok juga pernah memuat liputan memperlihatkan sisi lain dari konflik ini, yakni ketegangan sosial di tingkat lokal. Sejak wacana digulirkan, muncul dua paguyuban besar: Laskar Tali Jiwo, yang menolak tambang atas nama kelestarian lingkungan dan budaya, serta Paguyuban Cinta Pracimantoro (PCP), yang mendukung proyek–dikaitkan dengan camat Pracimantoro.
Spanduk pro dan kontra berdiri saling berhadapan di jalan-jalan desa, dan beberapa warga yang menolak proyek mulai mengalami tekanan sosial, bahkan intimidasi halus dari aparat setempat.
Omon-omon narasi pembangunan
Pemerintah kabupaten dan pihak perusahaan sendiri berulang kali menegaskan bahwa proyek semen ini akan membuka lapangan kerja baru dan mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah. Namun, bagi banyak warga, janji itu cuma omon-omon.
“Tanpa uang pun kami bisa makan dari alam,” kata Agus Sibeh, seorang petani yang pernah diwawancarai Mojok. “Tapi kalau alam hilang, uang pun tak akan bisa menumbuhkan padi.”
Kalimat itu menggambarkan dengan jernih paradoks pembangunan yang berulang di banyak tempat: kesejahteraan dijanjikan, tapi ruang hidup dikorbankan.
Dalam forum RockCon, Suryanto Perment menegaskan hal serupa. Ia menilai sebagian besar masyarakat karst belum menyadari sepenuhnya potensi kerugian yang mengintai.
“Pemangku kebijakan perlu disadarkan bahwa pembangunan tidak harus dengan cara merusak ruang hidup,” katanya, dengan tegas.
“Mereka sering tergiur oleh bujukan pengusaha besar yang datang dengan janji investasi dan lapangan kerja.”
Komunitas Tali Jiwo lahir dari percakapan sederhana di pos ronda dan warung kopi. Dari keresahan itu mereka membuat poster mengedukasi warga setempat, hingga ikut berbicara di forum-forum publik.
“Kami tidak menolak kemajuan, tapi kami ingin pembangunan yang masih menyisakan air dan kehidupan.”
Ketika musik menjadi suara perlawanan atas pabrik semen
Usai sesi diskusi, panggung kembali dipenuhi musisi lokal: Boar, Human Inslavement, Infusion, Glome, The Suse, dan Thuggery. Mereka membawakan lagu-lagu penuh energi. Latar panggung menampilkan tulisan besar: “Tolak Pabrik Semen Gunung Sewu.”
Salah satu band membuka lagu dengan teriakan, “Gunung Sewu, jangan kau diam!”
Penonton berteriak. Bukan hanya karena musiknya memekakkan telinga, tapi karena mereka tahu bahwa yang sedang dipertaruhkan bukan sekadar bukit batu, tapi masa depan air dan kehidupan di tanah mereka sendiri.
Menjelang tengah malam, talkshow berakhir, festival usai. Namun, gema dari kafe kecil di Wonogiri itu seolah masih memantul di dinding-dinding karst Pegunungan Sewu. Isu tentang pabrik semen ini, tampaknya, belum akan selesai dalam waktu dekat.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: ‘Tanpa Uang pun Kami Masih Bisa Makan dari Alam, tapi Pabrik Semen Bakal Menghancurkannya’ – Suara Warga Pracimantoro Wonogiri Tolak Pendirian Pabrik Semen atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan