Yogyakarta kini punya satu ruang seni baru. Namanya EDSU House. Galeri ini membuka pameran perdananya dengan menghadirkan karya Bob Sick dengan tajuk Appetite for Distortion, Bob Sick: Dari Apotek ke MoMA. Pamerannya berlangsung dari 21 Maret hingg 27 April 2025
Edsu House berada di utara Kota Yogyakarta. Terletak di Jl. Kaliurang KM 5 No 72 Yogyakarta. Ruangannya masuk dalam kompleks bangunan Pulang ke Uttara yang berisi hotel, apartemen, cafe, dan toko buku.
Galeri Yogyakarta yang terinspirasi kehidupan pematung ternama Indonesia
Galeri ini terinspirasi dari kehidupan dan karya pematung ternama Indonesia, Edhi Sunarso. Nama EDSU menghormati Sunarso, sekaligus mencerminkan semangat berani, kreatif, dan sedikit memberontak yang relevan dengan dunia seni saat ini.
Ada yang menarik dari galeri ini. Mereka mempunyai dua ruang yang paradoks: black box dan all white. Khusus yang all white bahkan dirancang dengan instalasi diffuser light yang membuat warna dari karya terpantul dengan sempurna dan tak membentuk bayangan.

Perancang dari galeri baru di Yogyakarta ini tak lain adalah Wawan Dalbo, seorang arsitek, pencinta seni, sekaligus founder EDSU House.
“Ini (EDSU) semacam tempat bermain gagasan dan ide tentang seni dan literasi, walaupun semangatnya main-main tapi kalau eksekusi kita nggak pernah main-main,” ujarnya.
“EDSU tidak membatasi diri dan EDSU juga tidak dibatasi oleh apapun. Tidak dibatasi oleh demografi, gender, level sosial, dll. Semua boleh masuk dan bermain di sini. EDSU berpihak pada generasi muda, ini bisa terlihat dari visualnya. Buat saya generasi muda ini jauh lebih penting karena mereka yang akan membentuk wajah negeri ini,” tegas Wawan Dalbo.
EDSU dan Bob Sick
EDSU House memulai perjalanannya di kancah seni rupa dengan memamerkan karya-karya Bob Sick. Ia merupakan seniman eksentrik dari Yogyakarta. Ia menempuh pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, jurusan Seni Lukis.
Nama aslinya adalah Bob Yudhita Agung. Namun pada tahun 1995 ia menahbiskan dirinya menjadi Bob Sick. Ia menciptakan identitas baru yang lekat dengan gaya hidup penuh kebebasan. Tubuhnya dipenuhi tato mulai dari atas hingga bawah. Unik.

Nama Bob Sick di kancah seni rupa juga nggak kaleng-kaleng. Ia pernah memenangkan Affandi Prize, sebuah penghargaan bergengsi di dunia seni lukis Indonesia.
Namun, pengakuan yang lebih luas terhadap karyanya baru mulai berkembang pesat sejak tahun 2007, ketika seniman dan kolektor mulai memberikan apresiasi lebih terhadap eksplorasi visual dan ekspresi liar dalam setiap karyanya.
Pameran Appetite for Distortion, Bob Sick: Dari Apotek ke MoMA merangkum tiga fase penting dalam perjalanan Bob Sick melalui tiga koleksi utama milik Simon Tan, St. Eddy ‘Oyik’ Prakoso, dan Wawan Dalbo. Koleksi Simon Tan menangkap periode awal Bob yang eksperimental, di mana eksplorasi visualnya mulai terbentuk.
Sementara itu, Koleksi St. Eddy ‘Oyik’ Prakoso mendokumentasikan puncak popularitasnya, ketika Bob mulai dikenal luas dengan karakteristiknya yang nyeleneh dan penuh pemberontakan. Dan koleksi Wawan Dalbo merekam fase paling personal dan reflektif, ketika Bob semakin tenggelam dalam ekspresi tanpa filter, menggambarkan kegelisahan dan dunia batinnya yang kompleks.
Penulis: Purnawan Setyo Adi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Upaya Seniman Lokal Jogja Tetap Eksis di Tengah Kondisi Ekonomi yang Menghimpit atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan