Masalah sampah di Jogja, tak hanya berhenti di baunya saja. Nyatanya, darurat sampah ini juga berdampak pada kualitas udara dan air. Sayangnya, pemerintah daerah seolah takut mengambil langkah buat mengatasi ancaman tersebut.
***
Beberapa bulan terakhir, Yudi (23) dibikin kesal dengan ulah tetangganya yang hampir tiap hari membakar sampah. Meski di pekarangan masing-masing, asap yang dihasilkan terbang memasuki sela-sela jendela kamar kosnya.
“Benar kata Anies Baswedan, angin nggak kenal KTP. Itu angin bawa asap pembakaran sampah ke kamarku, anjir! Baju-baju jadi pada apek,” ujarnya, Sabtu (13/7/2024).
Sayangnya, ia tak berani protes. Pasalnya, hampir semua warga lokal di kawasan tersebut melakukan hal yang sama. Penyebabnya, sudah berhari-hari truk sampah tak datang. Alhasil, solusi yang mereka ambil adalah membakar kertas dan plastik tersebut.
“Mau nyalahin warga kok rasa-rasanya aku juga salah, soalnya mereka nggak ada pilihan lagi sekarang,” tegasnya.
Sejak Jogja mengalami darurat sampah, sebenarnya banyak warga mengeluhkan hal tersebut, sebagaimana Yudi. Sayangnya, menurut peneliti PARES Indonesia Fandy Arrifqi, pemangku kebijakan abai dengan keluhan-keluhan tersebut.
Alhasil, yang paling sering kejadian, konflik horizontal muncul gara-gara persoalan tadi.
“Sebagai contoh, ada staf PARES yang melaporkan pembakaran sampah di dekat tempatnya karena membuat bayinya terkena ISPA,” kata Fandy di UGM, Jumat (12/7/2024).
“Oleh Satpol PP, masalah ini diminta diselesaikan secara musyawarah. Namun ini tidak selesai dan justru dianggap merusak imej kampung setempat,” imbuhnya.
Ancaman lain di balik darurat sampah di Jogja
PARES Indonesia sendiri baru saja merilis hasil riset berjudul “Melihat Lebih Dalam: Big Data Ungkap Dampak Sampah terhadap Kualitas Udara dan Air” pada Jumat (12/7/2024) kemarin. Lembaga ini menelusuri persoalan darurat sampah di dunia maya sepanjang 1 Januari 2023 hingga 23 Juni 2024.
Fandy, selaku peneliti PARES Indonesia, menjelaskan riset ini dilatarbelakangi oleh pertanyaan, apakah Jogja hanya tengah menghadapi situasi masalah pengelolaan sampah, atau ada masalah lain yang mengintai.
Berdasarkan temuan Fandy dan timnya, darurat sampah menurunkan kualitas udara dan air di Jogja.
“Khusus untuk DIY, kualitas udara dan air terus memburuk, tapi belum menjadi perhatian. Kualitas udara DIY selalu memburuk ketika TPST Piyungan ditutup beberapa waktu lalu. Pengelolaan sampah menyumbang buruknya kualitas udara dan air,” jelasnya.
Fandy menjelaskan, kualitas udara di Pulau Jawa, secara umum memang memburuk. Namun, pemberitaan dan perhatian di jagat maya lebih banyak muncul di Jakarta.
“Isu pencemaran udara Jakartasentris. DIY juga tidak termasuk 10 besar daerah yang warganetnya mencari informasi tentang pencemaran udara dan air,” paparnya.
Padahal, PARES Indonesia menemukan tiga sungai di Jogja tergolong telah tercemar dari rata-rata harian ambang batas limbah. Antara lain Kali Code, Sungai Bulus, dan Sungai Bedog.
“Sayangnya banyak warga Jogja tidak peduli pencemaran air karena tak menjadikan sungai sebagai sumber air minum. Jadi tidak ada sense of belonging (rasa memiliki).”
Pemerintah tak berani mengambil langkah
Sementara itu, Anggota DPRD DIY Eko Suwanto, sangat menyayangkan isu darurat sampah hanya menjadi perdebatan pelik di masyarakat. Padahal, ini seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah kota dan kabupaten setempat.
“Parlemen sudah menghembuskan isu ini ke pemangku kebijakan, dalam hal ini Pemda. Tapi bisa dilihat, sampai saat ini belum ada satupun pemerintah kabupaten dan kota yang mendeklarasikan darurat sampah di wilayah mereka,” kata Eko, yang menghadiri forum via video telekonferensi.
Bagi Eko, pemerintah harus tegas dengan berani mendeklarasikan darurat sampah. Sebab, hanya dengan kebijakan pula kondisi bisa teratasi.
Ia menyebut, dalam 20 tahun terakhir Jogja sudah beberapa kali mengalami situasi krisis. Pertama, krisis Gempa Bumi 2006 yang memporakporandakan Jogja. Kedua, letusan Gunung Merapi 2010 yang menyebabkan 250 ribu orang mengungsi. Dan, ketiga, pandemi Covid-19 yang bikin jutaan orang meninggal dan kehilangan pekerjaan.
“Krisis-krisis tersebut bisa kita lalui dengan kebijakan dan ketegasan pemerintah daerahnya. Kalau krisis yang besar saja bisa selesai, saya yakin darurat sampah ini bisa teratasi 3-6 bulan saja,” tegasnya.
Eko juga menyoroti, pencemaran udara dan air tak hanya disumbang oleh persoalan sampah. Menurutnya, pembangunan yang tak dipikirkan secara komprehensif juga jadi persoalan.
“Ini juga karena susutnya lahan pertanian 200 hektar per tahun untuk hotel, kondominium, dan perumahan. Pemda harus berani mengendalikan fungsi lahan pertanian dan resapan air.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA Warga Jogja Paling Berisik di Medsos Soal Sampah, Tapi Pemerintahnya Tutup Mata dan Telinga
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News