Tak Asyiknya Bioskop Belakangan Ini, Ruang Hiburan Jadi Alat Personal Branding Prabowo

Video Prabowo Tayang di Bioskop Itu Bikin Rakyat Muak! MOJOK.CO

Ilustrasi Video Prabowo Tayang di Bioskop Itu Bikin Rakyat Muak! (Mojok.co/Ega Fansuri)

Sebagai seseorang yang rutin menonton film di bioskop setiap akhir pekan, eskpetasi penonton ketika lebih awal memasuki ruang bioskop yang gelap pasti disambut oleh trailer film, iklan komersial ringan, dan imbauan etika menonton. Namun belakangan, suasana itu berbeda, sebelum lampu bioskop dimatikan untuk film, tiba-tiba video Presiden Prabowo muncul, “mengiklankan” program-program pemerintahannya.

Belum lama ini, video capaian program Presiden Prabowo Subianto diputar di bioskop sebelum film dimulai. Tayangan tersebut viral di media sosial dan ramai diperbincangkan publik.

Video tersebut hadir di tengah suasana politik yang belum reda. Sejak 25 Agustus hingga awal September, gelombang unjuk rasa rakyat merebak di berbagai kota. Massa turun ke jalan memprotes kebijakan pemerintah yang dinilai semakin menjauh dari kepentingan rakyat.

Aksi yang dimotori berbagai kelompok masyarakat ini kemudian berkembang dengan membawa tuntutan yang lebih luas, mulai dari pembatalan kebijakan pajak yang dianggap membebani hingga desakan pengesahan RUU Perampasan Aset.

Selain itu, massa juga menyuarakan penarikan TNI dari ranah sipil serta reformasi institusi politik dan hukum. Rangkaian tuntutan tersebut dinilai memperlihatkan semakin menurunya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

Gembar-gembor MBG dan kesuksesan (?) pemerintahan Prabowo

Video tersebut menampilkan Presiden Prabowo tampil dengan pernyataan bertekad menghapus kemiskinan di Indonesia. Ia juga menegaskan keberhasilan program makan bergizi gratis (MBG) yang diklaim sudah bergulir sejak awal tahun.

Disebutkan, program MBG telah menjangkau 20 juta penerima, 80 ribu Koperasi Desa Merah Putih berdiri, serta 5.800 unit pelayanan pemenuhan gizi beroperasi di berbagai daerah.

Tak berhenti di situ, layar lebar juga menampilkan data produksi beras nasional yang menembus 21,7 juta ton hingga Agustus 2025, pencetakan sawah baru 225 ribu hektare, hingga keberhasilan ekspor jagung 1.200 ton pada awal tahun.

Bioskop: ruang hiburan, bukan ruang politik

Kehadiran video tersebut sontak memantik perdebatan publik. Bagi sebagian penonton, ruang hiburan seperti bioskop dianggap tidak semestinya dipakai untuk menyampaikan pesan politik.

Tak sedikit warganet kemudian meluapkan keresahan mereka lewat media sosial. “Hadeee,… orang ke bioskop tuh mau cari hiburan, ngilangin penat, dari utang, diputisin pacar, belum bayar kontrakan, kesel ama bini (istri), bahkan kesel ama negara, malah masih aja disuguhi kayak gini, menurut saya salah tempat ini,” tulis akun @Izznxxx di Instagram.

Hal serupa juga disampaikan akun @fauzhxxx. Ia mempertanyakan relevansi cara komunikasi semacam ini di erap sekarang. “Propaganda boomer kah ? emang masih zaman pake cara ini ?,” tulisnya.

Cara Prabowo sah, tapi terlalu memaksakan diri 

Dosen Komunikasi Universitas Airlangga (Unair), Suko Widodo, menilai langkah pemerintah masuk ke ruang hiburan seperti bioskop berpotensi menimbulkan resistensi.

“Sebenarnya sah-sah saja pemerintah menyampaikan informasi di ruang publik. Tapi konteks juga penting. Bioskop itu ruang hiburan, orang datang buat nonton film, bukan buat menerima pesan politik atau pemerintaha,”kata Suko saat dihubungi Mojok, Senin (15/05/2025).

“Jadi ketika pemerintah masuk ke ruang itu, bisa muncul kesan “memaksakan diri”. Akhirnya malah bikin pesan jadi tidak efektif, atau bahkan menimbulkan resistensi,” sambungnya.

Ia menilai strategi penayangan video di bioskop tersebut bersifat reaktif terhadap menurunnya kepercayaan publik. Menurutnya, pemerintah tampak berusaha membangun kembali citra lewat media visual.

Namun, menurutnya tak cukup hanya itu, melainkan harus melalui kebijakan yang benar-benar dirasakan langsung. Jika hanya ditampilkan di layar, langkah itu berisiko dipandang sebatas pencitraan.

Alih-alih perkuat sistem, malah perkuat sosok

Tayangan yang menampilkan wajah Presiden secara dominan, menurut Suko, mengarah pada personalisasi kekuasaan.

“Kalau yang ditonjolkan terus-menerus adalah figur presiden, dan bukan program atau institusinya, maka memang ada kecenderungan ke arah personalisasi kekuasaan. Dalam negara demokratis, idealnya yang diperkuat adalah sistem, bukan sosok,” ujarnya.

Personal branding yang terlalu dominan, kata Suko, bisa mengingatkan pada gaya komunikasi rezim otoriter. Bahkan Suko menyebut tayangan Prabowo di bioskop itu masuk kategori propaganda.

“Kalau kita pakai definisi klasik, ya, ini bisa disebut sebagai propaganda—terutama kalau tujuannya adalah membentuk opini publik secara sepihak dan tanpa ruang untuk kritik,” ucapnya. Meski begitu, ia mengingatkan bahwa propaganda tidak melulu berkonotasi negatif.

Pola komunikasi politik di Indonesia, menurutnya, belum sepenuhnya lepas dari gaya lama. Pendekatan semacam itu bahkan mirip dengan praktik komunikasi Orde Baru.

“Di negara demokratis yang matang, komunikasi pemerintah lebih bersifat partisipatif dan transparan. Tapi di sini, masih terasa kental pendekatan top-down dan sentralisasi figur,” tutur dia.

Lumrah di mata pemerintah

Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, menilai hal ini lumrah sepanjang tidak melanggar aturan ataupun menganggu kenyamanan,

“Tentunya sepanjang tidak melanggar aturan, tidak mengganggu kenyamanan, keindahan, maka pneggunaan media publik untuk menyampaikan sebuah pesan tentu sebuah hal yang lumrah,” ungkap Prasetuo kepada wartawan, Minggu (14/9/2025).

Meski begitu, aspek hukum dinilai belum cukup untuk membenarkan penayangan video tersebut. Menurut Suko, komunikasi publik juga menyangkut dimensi etika.

Kata Suko, sesuatu yang legal belum tentu tepat secara sosial. Sehingga pemerintah seharusnya lebih peka terhadap suasana kebatinan masyarakat.

Tulisan ini diproduksi oleh mahasiswa program Sekolah Vokasi Mojok periode Juli-September 2025. 

Penulis: Khatibul Azizy Alfairuz
Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Pengadaan Smart TV di Sekolah, Borok Lama Kulit Baru: Saat Kesejahteraan Guru yang Diinginkan, tapi Malah TV yang Datang atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version