6 Rahasia Es Teler Pak No Surabaya Bertahan 44 Tahun

Bagi sebagian banyak masyarakat Surabaya, khususnya yang tinggal di daerah Pacar Keling, Es Teler Pak No adalah surganya kuliner. Mojok.co berkesempatan mendengar rahasia bagaimana  depot ini bisa bertahan sejak buka 44 tahun yang lalu.

***

Beruntung, hujan turun ketika saya sudah hampir sampai di depot Es Teler Pak No sekitar pukul 20.05 WIB, pada Selasa, (8/02/2022). Tepatnya di Jl. Penataran No. 2, Pacar Keling, Kecamatan Tambaksari, Surabaya. 

Baru saja saya melepas helm dan jaket yang setengah kuyup, seorang perempuan usia 30-an tahun menghampiri seraya meminta agar saya mengambil duduk di salah satu bangku yang kosong.

“Bu Ita-nya masih belum nyampe eg, Mas, mungkin sebentar lagi. Samean tunggu sebentar, nggeh?” ucap perempuan yang merupakan salah satu karyawan. Saya pun duduk tidak jauh dari meja kasir.

Siang sebelumnya, sekitar pukul 10.30 WIB saya sebenarnya sudah mampir ke depot Es Teler Pak No. Niat hati ingin mencicipi es teler legendaris itu sambil, tentunya, berbincang dengan Haji Mujiono (Pak No) selaku pemilik depot.

Namun, berdasarkan informasi yang saya dapat dari para karyawan, Pak No sudah jarang terlibat dalam pengelolaan depot. Sudah sejak tahun 2012 pengelolaan depot dipegang oleh anak pertama Pak No, yaitu Ita Verawati (41).

“Nah, kalau mau wawancara sama Bu Ita, nanti malam, Mas. Biasanya jam delapan malam orangnya pasti ke sini,” ucap salah satu karyawan yang saya temui siang itu.

Bu Ita tiba di depot pukul 20.30 WIB. Ia dengan ramah mempersilakan saya untuk mewawancarainya seputar perjalanan Es Teler Pak No atau sering disebut juga Es Teler Pacar Keling, yang seturut keterangannya, sudah buka sejak tahun 1978. Kepada saya Bu Ita membeberkan rahasia bagaimana warung ini bisa bertahan hingga puluhan tahun.

Resep rahasia

Bu Ita menceritakan, ayahnya, yakni Pak No adalah warga asli Driyorejo, Kabupaten Gresik. Pertama kali hijrah ke Surabaya Pak No memang sudah langsung jualan es teler. Saat itu masih menggunakan gerobak. Menu yang dijual Pak No pun hanya satu, yakni es teler saja. Pada masa-masa itu jumlah pembeli es teler Pak No bisa dikatakan masih standar, tidak terlalu ramai.

Namun, lambat laun, seiring dengan banyaknya warga sekitar yang suka dengan kesegaran yang ditawarkan, es teler buatan Pak No mulai memiliki banyak pelanggan. Sampai akhirnya gerobak Es Teler Pak No berubah menjadi depot pada tahun 1995.

Ita mengatakan, kunci mengapa banyak orang suka dengan es teler buatan Pak No, salah satunya adalah resep rahasia. Ada takaran tertentu untuk menciptakan kesegaran es teler sehingga disukai oleh banyak orang. 

Inovasi dari tahun ke tahun

Faktor lain di balik bertahannya Es Teler Pak No selama puluhan tahun adalah selalu melakukan inovasi untuk menjawab kebutuhan konsumen.

Misalnya, dari yang semula hanya menjual es teler, Pak No lalu merambah ke menu dan/atau bisnis kuliner lain di depotnya. Inovasi-inovasi yang sudah dilakukan sejauh ini kemungkinan masih akan terus dilakukan seiring dengan adanya potensi lain yang dianggap menguntungkan dan yang terutama sekali adalah menjawab kebutuhan konsumen.

es teler pacar keling Surabaya
Suasana depot es teler Pak No Surabaya. (Muchamad Aly Reza/Mojok.co)

Dari yang saya amati, saya akhirnya paham kenapa orang-orang menyebutnya sebagai surganya kuliner. Karena depot Es Teler Pak No tidak hanya menyediakan es teler saja, melainkan juga beraneka menu es atau jus buah lainnya.  Selain itu, juga menyediakan bakso dan pangsit mie ayam.

“Di sini bisa milih. Kalau lapar tinggal pesan bakso atau mie. Nah, minumnya ada aneka macam es buah. Cuocok pokok’e,” ujar Minan (40), salah satu pengunjung yang tengah menikmati es teler bersama istri dan dua anaknya.

Buah selalu segar

Di samping itu, Bu Ita menyebut, Es Teler Pak No selalu berkomitmen untuk menjaga kualitas rasa. Buah-buahan yang dipakai selalu diupayakan buah-buahan yang masih segar-segar.

“Kebetulan kalau urusan menyetok buah saya yang handle sendiri. Karena saya ingin memastikan buahnya bener-bener yang masih segar. Saya juga menghindari menimbun terlalu banyak. Nanti kalau busuk kan repot,” jelasnya.

“Kami juga menggunakan gula murni,” sebutnya menambahkan.

Harga murah porsi melimpah

Siang hari sebelumnya, saat datang ke depot, saya memesan seporsi es teler, menu andalan di depot Es Teler Pak No. Terlebih cuaca Surabaya siang itu amat terik menyengat.

Tidak sampai lama menunggu, es teler pesanan saya pun sudah terhidang di depan mata. Porsinya, bagi saya, lumayan besar dibanding beberapa es teler di Surabaya yang sempat saya cicipi sejauh ini. Isiannya ada nangka, apel, alpukat, rambutan, semangka, melon, blewah, mangga, irisan kelapa muda, dan dilengkapi dengan mutiara, kolang-kaling, serta kacang merah. Siraman sirup membuatnya terasa lebih manis dan segar.

Untuk satu porsi es teler tersebut harus ditebus dengan harga Rp18 ribu. Begitu juga untuk menu es buah lainnya. Sementara untuk bakso dan mie pangsit harganya Rp15 ribu. Harga yang, menurut Atikah (37), relatif murah untuk ukuran porsi yang melimpah.

“Porsinya banyak, buahnya juga macem-macem. Kalau menurut saya ini sudah paling enak dan murah,” tutur Atikah, pengunjung yang duduk bersebelahan meja dengan saya.

Bu Ita mengatakan, niatnya Es Teler Pak No tetap menyediakan menu-menu dengan harga terjangkau. “Karena sasaran kami sebenarnya kan kalangan masyarakat menengah ke bawah. Biar bisa makan enak, kenyang, tapi nggak nguras dompet,” terang ibu dua anak itu.

“Makanya kami bertahan di harga segitu. Padahal kalau di tempat lain harganya bisa Rp25 ribua-an, loh!” tambahnya.

Tak berniat buka cabang

Saat disinggung mengenai apakah ada kemungkinan untuk buka cabang, Bu Ita tersenyum sesaat untuk kemudian menegaskan bahwa ia hanya akan mengoptimalkan depot Es Teler Pak No yang sudah ada sekarang.

Menurutnya, membuka cabang tentunya akan membutuhkan tenaga ekstra. Tapi di luar faktor tersebut, ia, sebagaimana juga prinsip yang dipegang Pak No, ingin menjaga sisi historis dari Es Teler Pak No.

Sebab, lokasi tempat dibukanya depot Es Teler Pak No menjadi saksi perjalanan Es Teler Pak No sejak tahun 1978. Dari mulai berwujud gerobak kaki lima dan tak ramai pembeli hingga sekarang menjadi depot kuliner yang dicari-cari banyak orang.

Seporsi es teler yang jadi andalan di Es Teler Pacar Keling, Surabaya. (Muchamad Aly Reza/Mojok.co)

“Dulu pas masih gerobak kan jualannya di depan situ. Terus tahun 1995 jadi depot di seberang jalan sana. Sampai akhirnya  sejak 2012 pindah ke sini,” papar Bu Ita sembari menunjuk ke arah lokasi-lokasi yang pernah menjadi titik jualan Pak No.

Meski sering kali mendapat tawaran untuk membuka orderan secara online, Bu Ita selalu menolak. Di samping karena ribetnya urusan teknis, sang bapak memang tidak menghendaki demikian.

“Abah penginnya kalau ada yang mau mencicipi es teler atau yang lain ya datang langsung ke sini. Sensasinya lebih nikmat,” jelasnya.

Nggak ada kesenjangan karyawan dan bawahan

Bertahan selama puluhan tahun bagi sebuah usaha bukan perkara mudah. Salah satu kuncinya adalah bagaimana mengelola karyawan dengan  baik. Saat ini total ada sebanyak 12 karyawan yang bekerja semuanya adalah perempuan. 

Bu Ita menjelaskan, tidak ada alasan khusus kenapa seluruh karyawannya adalah perempuan. Seturut keterangannya, depot Es Teler Pak No membuka peluang kerja untuk siapa saja, tidak berdasarkan gender tertentu.

“Dulu pernah juga ada masanya yang kerja laki-laki semua. Tapi sekarang memang perempuan. Tapi kami sebenarnya open (untuk siapa saja), kok,” jelasnya.

Bu Ita lalu mengaku kalau dirinya menolak betul adanya senjang antara bos dengan anak buah. Ia menjalin hubungan dengan para karyawannya sudah selayaknya teman sendiri. Karena itu lah yang selalu diajarkan oleh sang bapak, yakni Pak No. Bahwa meskipun sebagai atasan, dalam hal ini sebagai pemilik depot, tidak lantas menjadi pembenaran bagi dirinya untuk berbuat semena-mena terhadap para karyawannya.

“Saya masih ikut bantu-bantu melayani pengunjung juga kok, di sini. Nggak lantas saya diem saja nggak ngapa-ngapain. Saya juga sering kalau istirahat makan bareng-bareng sama anak-anak (karyawan),” tuturnya.

Keakraban seperti itu lah yang, menurut Bu Ita, menjadi alasan kuat mengapa rata-rata karyawannya nyaman bekerja bahkan hingga bertahun-tahun di depot Es Teler Pak No. Ia juga berkomitmen untuk selalu memenuhi hak-hak para karyawan sebagaimana mestinya.

***

Bu Ita sendiri sebenarnya tidak pernah memiliki bayangan bakal meneruskan usaha dari sang bapak. Pasalnya, sejak remaja ia sudah dididik Pak No untuk tidak hanya mengandalkan kesuksesan orang tua.

Ita Verawati, generasi kedua Depot Es Teler Pak No Surabaya. (Muchamad Aly Reza/Mojok.co)

Bu Ita baru resmi mengelola depot pada 2012, saat Pak No memutuskan untuk istirahat. Sebelum itu, perempuan yang merupakan alumnus Teknik Industri UPN Veteran Surabaya itu sempat kerja kantoran selama kurang lebih sembilan tahun.

“Dari SMP saya sudah bantu-bantu Abah. Karena dulu itu kan kalau nggak bantu nggak dapat uang saku. Terus pas kuliah saya mulai nyari kerja sendiri,” tuturnya.

“Lulus kuliah ya nggak langsung dapat arahan bakal dipegangi depot ini, Mas. Memang bapak itu penginnya anak-anaknya mandiri dulu, merasakan bagaimana rasanya jadi bawahan, ikut orang,” lanjutnya.

Pola pendidikan yang diterapkan sang bapak dirasakan Bu Ita memberikan dampak besar bagi dirinya. Karena seandainya sedari awal ia sudah tinggal mendompleng kesuksesan sang bapak, tentunya akan sulit bagi dirinya untuk membuat depot Es Teler Pak No bisa terus berkembang. Bekerja di luar selama kurang lebih sembilan tahun membuatnya cukup tahan banting. 

Bu Ita juga menerapkan pola pendidikan yang sama kepada tiga anaknya. Untuk saat-saat ini ia memang tidak ingin memberikan iming-iming kepada anak-anaknya kalau kelak mereka lah yang akan meneruskan bisnis Es Teler Pak No. Suatu saat ia tetap akan membiarkan anak-anaknya mencari pengalaman dengan bekerja di luar sesuai bidang yang ditekuni masing-masing.

“Target saya anak-anak juga meneruskan bisnis ini. Tapi sebelum itu, biar mereka tahu kerasnya dunia luar dulu, tahu rasanya jadi bawahan gimana, nggak tiba-tiba ada di posisi enak,” ungkap Bu Ita sembari merapatkan jaket jeans yang ia kenakan lantaran angin yang berhembus cukup dingin.

“Gimana-gimana es teler ini sudah menghidupi dari saya kecil sampai sekarang punya anak. Jadi  eman kalau sampai nggak diteruskan,” tegasnya.

Reporter: Muchamad Aly Reza

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Nostalgia di Maganol, Toko Layang-layang Legendaris di Kota Semarang  liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version