MOJOK – Rieke Diah Pitaloka akan merilis buku terbarunya dalam waktu dekat. Buku yang memuat hasil disertasi doktoralnya ini, mengungkap mekanisme pendataan yang simpang siur yang berujung pada kekerasan simbolik.
Politisi perempuan dari PDIP itu akan segera merilis bukunya yang berjudul Kekerasan Simbolik Negara: Kebijakan Rekolonialisasi. Buku ini merupakan hasil disertasinya berjudul “Kebijakan Rekolonialisasi: Kekerasan Simbolik Negara Melalui Pendataan Perdesaan”, yang telah diuji untuk promosi doktoralnya 2022 lalu.
Buku ini menghimpun temuan Rieke tentang kekerasan simbolik dalam pendataan perdesaan. Di dalamnya, ia menelusuri kesimpangsiuran data pemerintah yang diperoleh melalui mekanisme top-down, yang ternyata tidak terintegrasi antara satu lembaga dengan lembaga yang lainnya.
Parahnya lagi, data-data tersebut juga menunjukkan angka yang jauh berbeda untuk kategori yang sama. Padahal, menurut Rieke, data merupakan basis utama untuk menentukan kebijakan publik, khususnya untuk mencapai kesejahteraan warga desa.
Mekanisme Top Down Rugikan Rakyat
Rieke meminjam pandangan Pierre Bourdieu dan Nick Couldry dalam menganalisis temuannya itu. Menurut dua filsuf cum sosiolog ini, data yang diproduksi melalui mekanisme pendataan top-down dan tanpa melibatkan warga desa dipastikan telah menjadi bagian dari kekerasan simbolik, yang seolah-olah terjadi secara alamiah dan berulang.
Lebih lanjut, riset ini juga membuktikan bahwa model pendataan bottom-up yang lebih terintegrasi, terkoneksi, dan mudah divalidasi, dapat menghasilkan Data Desa Presisi (DDP) sebagai basis dari kebijakan publik.
Model pendataan perdesaan yang mengafirmasi keterlibatan warga desa dan menggunakan teknologi digital tersebut, menurut kesimpulan Rieke, dapat menjadi pengganti dari kekacauan data birokrat yang tak lebih dari pseudo-data yang menghasilkan pseudo-policy.
Pergeseran Bentuk Kekerasan Negara
Selain dikenal sebagai seniman, Rieke adalah politisi yang—dalam studinya—aktif meneliti topik kekerasan negara. Sebelum bikin disertasi, Rieke telah menulis tesis yang juga ia bukukan dengan judul Banalitas Kekerasan: Telaah Pemikiran Hannah Arendt tentang Kekerasan Negara (2010).
Dalam penelitiannya itu, ia mengomparasi bagaimana pola-pola kekerasan negara yang dilakukan Nazi Jerman juga terjadi di Indonesia semasa Orde Baru. Sementara dalam disertasinya ini, Rieke berangkat dari pertanyaan: apakah ketika Orde Baru runtuh, kekerasan negara masih ada, dan bagaimana polanya?
Alhasil, ia pun menemukan bahwa di era demokrasi kekerasan negara masih terjadi. Namun, bentuk kekerasan negara ini sudah tidak lagi secara terang-terangan, melainkan secara simbolik.
“Di era demokrasi, kekerasan itu telah bersembunyi di balik aturan yuridis alias undang-undang, yang mana undang-undang itu lahir karena adanya data yang dirujuk,” ujar Rieke, dalam podcast Unpacking Indonesia yang tayang di kanal Youtube Zulfan Lindan, dikutip Rabu (8/2/2023).
“Sementara data itu sendiri tidak tiba-tiba muncul. Ia terbentuk karena adanya pendataan, yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, di mana setiap lembaga negara punya program pendataan,” sambungnya.
Data Bukanlah Sekadar Angka
Rieke menjelaskan bahwa mekanisme pendataan di perdesaan dapat menunjukkan bentuk kekerasan simbolik negara kepada warganya. Menurutnya, selama ini orang-orang menganggap bahwa data itu sekadar statistik.
Padahal, kata Rieke, di balik angka tersebut ada nasib dan harapan jutaan warga negara, mengingat dalam setiap pengambilan keputusan pasti para stakeholder mengacu pada data yang berupa angka tersebut. Jadi, seperti apa kebijakan akan diambil tergantung pada data yang diacu.
“Tidak ada satu rupiah pun penganggaran negara untuk kebijakan, yang tidak mengacu pada data,” tegas Rieke.
Lantas, yang menjadi masalah berikutnya adalah kebanyakan pemangku kebijakan memakai pseudo-data. Warga dalam pendataan tidak dilibatkan. Alhasil, data-data tersebut tidak mampu merepresentasikan kebutuhan atau kondisi nyata masyarakat, maka hasilnya pun berupa pseudo-policy.
Dengan demikian, meminjam gagasan Bourdieu dan Couldry, itu menjadi bentuk kekerasan simbolik negara kepada warga. Karena, dengan pseudo-policy, yang lahir bukanlah kesejahteraan warga, melainkan hanya kesengsaraan, kemiskinan, dan penindasan secara struktural dan lumrah.
“Selain isu energi dan pangan, persoalan kedaulatan data menjadi sesuatu yang fundamental untuk sebuah negara,” tegasnya.
“Kalau tidak ada data yang akurat, bagaimana negara dapat mewujudkan visi bangsa?” kritik Rieke.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda