MOJOK.CO – Modus baru kekerasan seksual dengan meminta foto payudara atau pap tt berdalih penelitian dialami sejumlah warganet. Begini cara mereka beraksi.
Informasi ini pertama kali dicuit oleh akun Twitter @vesicaafellea, yang membagikan tangkapan layar terkait percakapannya dengan pelaku, Minggu (14/5/2023) kemarin.
Dihubungi Mojok, perempuan yang akrab disapa Isa (23) ini mengaku bahwa pelaku pertama kali menghubunginya melalui pesan langsung Instagram. Saat itu, kata Isa, pelaku memperkenalkan diri sebagai mahasiswa kedokteran dari universitas tertentu.
“Terus dia bilang bahwa lagi butuh responden untuk penelitiannya. Dia juga cantumin surat pengantar yang lengkap dengan kop surat dari universitasnya,” ujarnya kepada Mojok, Senin (15/5/2023).
Isa mengatakan, sejak awal sebenarnya telah menaruh curiga karena penelitian tersebut terlihat janggal. Katanya, kelihatan dari judul penelitian yang seperti makalah anak SMP, poin-poin pertanyaan wawancara yang tidak sinkron, hingga imbalan yang ditawarkan juga terlalu besar.
“Tapi aku tetap membalas chat dia karena penasaran apa yang sebenernya mau dia perbuat,” sambungnya.
Selanjutnya, Isa mengaku harus menjawab pertanyaan via chat dalam empat sesi. Pertanyaan sendiri menyangkut hal-hal yang terkait kesehatan reproduksi, seperti “Berapa kali Anda membersihkan vagina dalam sehari?”, “Apakah Anda pernah mengalami penyakit kelamin?”, dan sebagainya.
“Pertanyaan sesi terakhir, seperti yang aku screenshot, dia meminta untuk memfoto payudara. Dari sini aku sudah paham ternyata ini adalah niat si pelaku,” jelasnya.
Belakangan diketahui bahwa pelaku menggunakan akun samaran @astinaa_20 di Instagram. Ia juga mengaku sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Kedokteran Universitas Pattimura yang tengah membuat penelitian berjudul “Pengetahuan Cara Menjaga Kesehatan Alat Reproduksi Pada Remaja Perempuan”.
Dijanjikan imbalan Rp350 Ribu
Selain itu, Isa juga mengaku bahwa pelaku mengiming-iminginya uang Rp350 ribu sebagai imbalan.
“Pelaku menjanjikan akan memberikan uang senilai Rp350.000, sebagai tanda terima kasihnya,” kata Isa.
Senada dengan Isa, hal serupa juga dialami Aulia (20). Pelaku dan modusnya pun sama: @astinaa_20 yang mengaku melakukan penelitian terkait kesehatan reproduksi.
Kepada Mojok, ia bercerita bahwa pelaku menawarinya uang Rp350 ribu apabila mau menjadi responden penelitian tersebut. Namun, Aulia tak ambil pusing dengan tawaran itu. Sejak awal ia memang sudah curiga karena modus serupa beberapa kali pernah dialaminya sebelumnya.
“Dulu sih pernah, udah lama banget orang DM modusnya macam-macam, ada yang penelitian, ada juga yang jualan,” kata Aulia, Senin (15/5/2023).
“Tapi karena udah sering, jadi udah langsung tahu dan enggak pernah ketipu untungnya,” pungkasnya.
Riset kedokteran membutuhkan kelayakan etik
Fenomena meresahkan ini sebenarnya bukan barang baru. Bahkan, pada 2019 dan 2022 lalu, jagad Twitter pernah ramai dengan modus tersebut.
Terkait hal ini, Sekjen Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) saat itu, Mohamad Adib Khumaidi, menegaskan bahwa tidak ada dokter yang diperbolehkan untuk meminta foto-foto riset secara serampangan seperti itu. Apalagi bagian sensitif seseorang.
Kata Adib, seorang dokter maupun calon dokter harusnya patuh dengan kode etik profesi dan etika riset yang berlaku di Indonesia.
Suatu riset kedokteran yang melibatkan makhluk hidup, lanjutnya, membutuhkan ethical clearance (EC) atau kelayakan etik. Ini merupakan keterangan tertulis dari komisi etik penelitian yang menyatakan proposal riset terkait telah layak dilaksanakan setelah memenuhi syarat tertentu.
“Dalam proses penelitian, itu ada yang namanya ethical clearance. Ethical clearance itu harus melalui proses etik yang juga nanti hal-hal yang dalam proses penelitian itu harus sesuai,” jelas Adib.
Sementara psikolog klinis Ratih Andjayani Ibrahim menyarankan agar netizen selalu berpikir kritis agar terhindar dari modus kekerasan seksual dalih penelitian tersebut.
Apalagi jika penelitian terdapat permintaan yang tidak wajar dan menjurus ke hal-hal sensitif. Kata Ratih, kita harus bisa kritis dan mempertanyakan lagi permintaan yang tak wajar itu.
“Namun, yang paling penting adalah paham bahwa penelitian selalu dikawal dengan etika,” tegas Direktur Organisasi Personal Growth itu.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi