MOJOK.CO – Tahapan Pemilu 2024 baru saja dimulai. Namun laporan terkait pelanggaran kode etik sudah masuk ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Ragam laporan tersebut di antaranya adalah pencatutan nama oleh partai politik (parpol) dan data keanggotan ganda parpol.
Ada kekhawatiran kasus suap kepada anggota KPU dan organisasi dibawahnya bisa kembali terjadi. Mengingat pada awal 2020 lalu, Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) menangkap Komisioner KPU, Wahyu Setiawan dalam kasus transaksi suap.
Melihat situasi ini, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) meminta KPU dan Bawaslu bisa lebih fokus dalam mengawasi kinerja anggotanya. Dengan demikian pelanggaran kode etik pemilu tak lagi terjadi.
Pada periode Desember 2020 hingga Desember 2021, DKPP sudah menerima 292 pengaduan. Di antaranya aduan tentang rekapitulasi perhitungan suara, kampanye, audit, sengketa penetapan parpol dan lainnya.
“Kami harap kasus penangkapan KPK [pada komisioner KPU] itu terakhir kali lah,” ungkap Ketua DKPP Heddy Lugito dalam Rapat Koordinasi Nasional dan Peningkatan Kapasitas Tim Pemeriksa Daerah 2022 di Yogyakarta, Selasa (01/11/2022).
Menurut Heddy, DKPP sebagai lembaga yang berperan dalam penegakan kode etik pemilu melakukan koordinasi dengan KPU dan Bawaslu. Koordinasi dilakukan dalam rangka mengingatkan dan menegaskan penerapan kode etik pemilu yang harus ditaati dan dipedomani kedua lembaga tersebut.
Sosialisasi tersebut penting agar KPU dan Bawaslu tidak melakukan pelanggaran kode etik pemilu. Sebab bila dilanggar maka akan muncul pelanggaran hukum kembali seperti pemilu-pemilu sebelumnya.
Selama ini DKPP membuat kode etik bagi penyelenggara Pemilu dibuat sebagai rambu perilaku, tata krama, tata kerja yang harus ditaati. Kode etik itu dibuat bukan untuk mengancam, melainkan sebagai rambu.
“Tujuannya, untuk menjaga marwah agar penyelenggara Pemilu bekerja sesuai dengan kode etik tersebut,” paparnya.
Sementara Ketua KPU RI, Hasyim Asyari mengungkapkan setiap anggota dan komisioner KPU diminta tidak terbawa perasaan atau baperan saat menjalankan tugasnya dalam proses Pemilu 2024. Sebab dalam pemilu seringkali muncul konflik demi untuk mencapai kekuasaan.
“Penyelenggara pemilu bertugas me-manage konflik yang terjadi,” ujarnya.
Hasyim menambahan, dengan adanya Undang-Undang 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, maka anggota KPU diharapkan dapat bekerja dengan etika dan integritas. Bila terjadi pelanggaraan atau muncul sengketa maka hal itu harus diterima pula sebagai risiko tugas.
“Siapa suruh mendaftar [jadi KPU] kalau enggak mau disengketakan Bawaslu?, kalau enggak mau disidang. Kan memang tugasnya Bawaslu nyidang-nyidang, enggak boleh baperan. Mari bekerja sesuai kerangka hukum yang ada. Jadi, kalau kita disengketakan, ada dasar hukum yang kokoh,” imbuhnya.
Reporter: Yvesta Ayu
Editor: Purnawan Setyo Adi