MOJOK.CO – Jika boleh menyebut satu tokoh nasional yang underrated, saya bakal menyebut nama tokoh idola saya: Sutan Sjahrir. Harus diakui, ia punya peranan besar dalam proses kemerdekaan negara Indonesia, mempertahankan republik, dan memberi sumbangsih besar dalam wacana intelektual kritis.
Sutan Sjahrir juga merupakan Perdana Menteri Pertama Indonesia, yang mana ia menjabat di usia 36 tahun, meski belum punya pengalaman sebagai kepala daerah.
Sjahrir lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat pada 5 Maret 1909. Pisces adalah zodiaknya. Ia lahir dari keluarga elite; ayahnya, Mohammad Rasad, punya gelar Maharaja Soetan bin Leman dan bekerja sebagai landraad (kepala jaksa), sementara ibunya dari golongan berada.
Oleh karena lahir dari keluarga yang berkecukupan, pendidikan Sjahrir pun terjamin. Ia menamatkan jenjang sekolah dasar (ELS) dan menengah pertama (MULO) di sekolah terbaik di Medan.
Selepas itu, ia melanjutkan jenjang sekolah ke AMS di Bandung. Di sinilah ia mulai berkenalan dengan paham-paham progresif, termasuk menjadi bagian dari Jong Indonesie (salah satu motor Sumpah Pemuda) dan menjadi Pemred Majalah Himpunan Mahasiswa Nasionalis.
Lulus sekolah, Sjahrir melanjutkan kuliah ke Fakultas Hukum Universitas Amsterdam, Belanda. Di negeri kincir angin, ia semakin mendekatkan diri dengan paham-paham kiri, mulai Sosialisme hingga kiri-jauh Anarkisme.
Sjahrir juga mulai akrab dengan Muhammad Hatta, yang mana keduanya aktif di organisasi pergerakan nasional bernama Perhimpunan Indonesia (PI).
Perdana Menteri yang jago diplomasi
Sejak lama Sjahrir memang cukup bertentangan dengan pemikiran Sukarno. Perjuangan mereka sama tapi metodenya beda. Sampai-sampai, dalam Penyambung Lidah Rakyat, Sukarno pernah bilang kalau “Apa yang mereka (Sjahrir dan Hatta) kerjakan hanya bicara” alias banyak cakap.
Sjahir memang sejak lama menjadi seorang anti-fasis, menolak keras paham militerisme Jepang. Ia, cukup kritis mengolok-olok figur yang ia anggap mau berkompromi dengan Jepang, termasuk Sukarno. Ia menyebutnya “antek Jepang”.
Kendati kerap berselisih, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Sukarno sadar pentingnya Sjahrir dalam menghadapi Sekutu pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Kecakapan diplomasi Sjahrir, bagi Sukarno, amat penting bagi republik yang baru berdiri. Maka, ia pun mendapat penunjukan sebagai Perdana Menteri di usia 36 tahun.
Sayangnya, Sjahrir yang lebih mengedepankan diplomasi ketimbang angkat senjata dalam upaya mempertahankan republik, harus berhadapan dengan tokoh lain. Misalnya, Tan Malaka, yang selalu menolak diplomasi karena katanya, “tuan rumah tak akan berdiplomasi dengan maling”.
Sutan Sjahrir sang diplomat ulung
Meski terus mengalami pergolakan, Sutan Sjahrir akhirnya memimpin Perjanjian Linggarjati pada 15 November 1946. Isi perjanjian itu adalah Belanda secara de facto mengakui kemerdekaan Indonesia atas Sumatra, Jawa dan Madura.
Di dalam negeri, Sjahrir mendapat olok-olok dan dapat cap pengkhianat karena telah “melepas” sebagian besar wilayah republik. Namun, yang publik lupa, Perjanjian Linggarjati pada akhirnya berhasil meredam konflik Hindia-Belanda dan rakyat Indonesia. Perjanjian itu meminimalisir jatuhnya korban jiwa akibat perang.
Selain itu, perjanjian ini nyatanya juga sebagai kekalahan bagi Belanda karena hasilnya tak sesuai yang mereka inginkan. Delegasi Belanda di Linggarjati, PM Wim Schermerhorn bahkan mendapat hujatan dari masyarakat Belanda dan dicap “orang gila”.
Hal lain yang bisa dikenang dari kepiawaian diplomasi Sjahrir adalah kala ia berpidato di sidang Dewan Keamanan PBB pada 14 Agustus 1947. Di sana, Sjahrir berhasil mematahkan secara telak fafifu-wasweswos wakil Belanda, Eelco van Kleffens. Argumennya itu menjadi jalan PBB untuk ikut campur dalam konflik Indonesia dengan Belanda.
Meski jatuh-bangun akibat berbagai tantangan di kalangan bangsa sendiri, Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II sampai dengan Kabinet Sjahrir III (1945 hingga 1947) konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi.
Si paling anti-kekerasan
Seturut dengan metode perjuangan melalui diplomasi, Sutan Sjahrir menganggap cara ini adalah yang paling ampuh dalam meredam kekerasan. Sejak lama, ia memang sangat anti dengan yang namanya kekerasan.
Salah satu cerita menarik dari pendiriannya ini terjadi pada Desember 1946. Kala itu, serdadu NICA mencegat dan menodong Sjahrir yang berada dalam mobil. Ia hampir ditembak, untungnya pelatuknya macet. Karena geram, mereka memukul Sjahrir dengan gagang pistol.
Berita pemukulan Sjahrir, kemudian tersebar lewat Radio Republik Indonesia (RRI). Mendengar itu, Sjahrir langsung memberi peringatan keras agar siaran segera dihentikan. Jika berlanjut, kata Sjahrir, para pejuang bisa membunuh tawanan Belanda di kamp-kamp karena tahu perdana menteri mereka dipukul.
Berikut hari, Sjahrir tetap aktif berpolitik meski tak lagi menjadi menteri. Ia aktif di Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang ia dirikan pada 1945. Meski gagal di Pemilu 1955, orang mengenal PSI sebagai partai dengan ideologi kuat dan tradisi intelektual yang selevel lebih maju.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Pengusaha Pisang Berusia 35 Tahun Ini Jadi Presiden Termuda
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News