MOJOK.CO – Golongan putih atau golput selalu menjadi momok saat menjelang tahun politik. Bagaimana tidak, pemerintah selalu menganggap bahwa gerakan ini telah mencederai demokrasi.
Bahkan untuk mengatasi masalah ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) lewat hasil Ijtimak Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia II pada 2009 lalu menyatakan “tidak memilih calon pemimpin adalah haram”. Dengan demikian, tegas MUI, golput adalah haram.
Pada 2014, MUI lewat Ketua Umum saat itu, Din Syamsuddin, kembali menyatakan golput adalah haram karena memilih pemimpin hukumnya wajib. Fatwa ini masih bertahan di Pemilu 2019.
Imbasnya, angka golput di Pemilu 2019 disebut-sebut mengalami penurunan. Berdasarkan hitungan Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA, angka golput di Pemilu 2019 adalah 19,24 persen.
Angka tersebut turun dari Pemilu 2014, yakni sebanyak 30,42 persen.
Lantas, yang menjadi pertanyaan, sejak kapan gerakan ini mulai muncul dan mengapa bernama “golongan putih”?
Munculnya istilah “golongan putih”
Dalam sejarahnya, golongan putih atau golput sebenarnya pertama kali digaungkan pada masa Orde Baru, yakni sejak disahkannya UU Pemilu 1969.
Saat itu, kakak dari Soe Hok Gie yakni Soe Hok Djin atau yang dikenal dengan nama Arief Budiman, adalah pelopornya. Alasan Arief menggaungkan narasi golput adalah karena ia menganggap UU Pemilu bisa mematikan kekuatan politik baru.
Seperti diketahui, imbas dari UU Pemilu 1969 adalah penyusutan parpol peserta pemilu. Pada Pemilu 1971, kontestasi hanya diikuti 10 partai, atau menyusut dua kali lipat dari pemilu sebelumnya pada 1955.
Dalam catatannya yang ditulis dalam buku Kebebasan, Negara, Pembangunan (2006), Arief menilai bahwa Golkar yang saat itu didukung militer telah memberangus HAM dan selalu mendapat privilese dari negara.
Salah satunya, misalnya, kebijakan yang mewajibkan para PNS dan keluarganya masuk Golkar (jika tidak akan dipecat). Contoh lain adalah memastikan keuangan partai berlambang pohon beringin untuk selalu disuplai pemerintah.
Selain itu, Arief juga melihat intervensi pemerintah terhadap parpol peserta Pemilu juga sudah kelewatan. Misalnya, dengan menyeleksi calon-calon pemimpin Partai Nasionalis Indonesia (loyalis Soekarno).
Alhasil, pada akhirnya Arief dan kawan-kawan memilih memboikot Pemilu 1971. Pemboikot menganjurkan pengikutnya datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dan ikut nyoblos, tapi mencoblos bagian putih dari surat suara—bukan tanda gambar partai.
Mereka sengaja melakukannya agar pencoblosan mereka dihitung tidak sah. Dari sinilah istilah “golongan putih” muncul.
Namun, yang perlu digarisbawahi bahwa golput sendiri bukan merupakan organisasi. Dalam manifesto-nya terkait gerakan golput, Arief menuliskan bahwa golput adalah identitas bagi mereka yang tidak puas atas keadaan karena demokrasi diinjak-injak oleh pemerintah dan Golkar.
Golput adalah gerakan kebudayaan, yang mengimbau pengikutnya untuk menjadi “penonton” yang baik. Bagi mereka, “tidak memilih adalah hak tiap warga negara”.
Nama-nama lain pendukung Golput
Selain Arief Budiman, ada nama-nama lain yang turut menjadi motor gerakan golput menjelang Pemilu 1971. Sebagaimana dicatat Nyarwi Ahmad dalam tulisannya berjudul “Golput Pasca Orde Baru: Merekonstruksi Ulang Dua Perspektif”, ada nama lain seperti Imam Waluyo, Julius Usman, dan Husin Umar yang jadi penggeraknya.
“Mereka menggelar Proklamasi Golput di Gedung Balai Budaya Jakarta. Lambangnya adalah segi lima dengan warna dasar putih,” tulisnya, dikutip dari Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik vol. 12 nomor 3 (2009), Minggu (21/5/2023).
Pada saat gerakan ini digaungkan, pamflet-pamflet yang berisi ajakan boikut pemilu bertebaran. Antara lain, seperti dicatat Nyarwi, pamflet bertuliskan “Tidak Memilih Hak Saudara”, “Tolak Paksaan dari Manapun”, dan “Golongan Putih Penonton yang Baik”.
Bagi gerakan ini, Pemilu 1971 tak lebih dari formalitas saja. Ia tak akan melahirkan perubahan bangsa ke arah yang lebih baik.
Meski intensitasnya berkurang, pada akhirnya gerakan ini bertahan lama hingga Pemilu 1997. Hal ini mengingat adanya rasa ketidakpercayaan pada MPR hasil pemilu yang dianggap hanya “titipan” penguasa.
Bahkan, pada Pemilu 1997 tokoh besar dari Partai Indonesia Perjuangan (PDI) sekaligus oposisi Soeharto, Megawati Sukarnoputri, juga menggaungkan boikot pemilu.
Pasca KLB Medan 1996 dan Peristiwa Kudatuli, PDI memang digembosi pemerintah kala itu. Hingga akhirnya melahirkan dualisme PDI, yakni pimpinan Megawati (yang diakui akar rumput), dan pimpinan Soerjadi (diakui pemerintah, ikut Pemilu).
Akhirnya, Mega pun mengajak loyalisnya untuk golput dan tidak memberikan suara mereka pada PDI. Alhasil, perolehan suara PDI di Pemilu 1997 hancur lebur, anjlok 45 kursi dari Pemilu 1992.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi