Polemik Kampanye Pemilu di Sekolah, Bisa Jadi Potensi Ancaman Kekerasan bagi Anak?

kampanye di sekolah mojok.co

Ilustrasi sekolah (Photo by Jess Yuwono on Unsplash)

MOJOK.CO – Sejumlah pihak mengkritik putusan MK yang memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di sekolah dan kampus. Ini berpotensi menjadi ancaman dan memperluas potensi pelanggaran hak-hak konstitusional anak di masa kampanye Pemilu 2024 mendatang.

Seperti yang sudah kita ketahui, Selasa (15/8/2023) lalu MK mengesahkan Keputusan Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang memperbolehkan kampanye terlaksana di fasilitas pemerintah dan pendidikan.

Sebagai catatan, kampanye boleh berlangsung tanpa menggunakan atribut-atribut kampanye di tempat-tempat tersebut. Dan sudah seizin pihak kampus/sekolah.

Meski disambut baik sejumlah civitas akademik di kampus, nyatanya keputusan itu dapat habis-habisan oleh aktivis anak dan serikat guru. Pasalnya, sekolah tempat yang harus netral dari politik elektoral. Jika kampanye politik berlangsung, khawatirnya akan menimbulkan dampak negatif bagi anak.

Ancaman kekerasan bagi anak

Kritik keras salah satunya datang dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Sejak putusan MK turun, Komisioner KPAI Sylvana Apituley berulang kali menekankan: “sekolah seharusnya dijaga agar tetap menjadi ruang publik yang netral dari aktivitas politik elektoral”.

Sebab, lanjut Sylvana, politik elektoral sarat dengan kepentingan personal dan kelompok, yang berpotensi menimbulkan kekerasan, terutama kekerasan simbolik dan verbal.

Ia pun menegaskan bahwa konten kampanye politik bukanlah konsumsi anak-anak sekolah. Bahkan bukan untuk peserta didik usia 17 tahun yang sudah memiliki hak pilih.

“Adanya putusan MK ini menyadarkan KPAI betapa belum semua pihak awas dan memprioritaskan hak-hak konstitusional anak yang seringkali tersembunyi di balik kesadaran dan kepentingan dominan orang dewasa,” kata Sylvana.

Selain melanggar hak konstitusional anak, bahaya lain saat kampanye di sekolah adalah potensi ancaman kekerasan yang melibatkan massa pendukung suatu kandidat atau parpol.

Jika ini yang terjadi, kata Sylvana, artinya negara telah gagal dalam melindungi anak dari penyalahgunaan kekuasaan dalam politik. Sebagaimana sudah diatur dalam UU Perlindungan Anak.

“Negara bahkan dapat disebut membiarkan atau tidak melakukan tanggungjawabnya untuk melindungi anak-anak dari bahaya kekerasan pada masa kampanye Pemilu/Pilkada 2024,” tegasnya.

Rawan gesekkan saat kampanye

Senada dengan KPAI, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo juga bersepakat bahwa sekolah harus jadi ruang yang netral dari politik praktis. Ia pun khawatir, jika kampanye benar-benar terselenggara di sekolah, hal ini bisa menciptakan gesekan yang besar. Bahkan dari hal-hal yang “sepele” sekalipun.

Misalnya, dalam hal pemberian izin sekolah buat kampanye saja sudah bisa bikin gaduh. Sebab, menurut pengalaman pribadinya, pemberian izin seringkali bermakna sebagai keberpihakan terhadap calon tertentu dan bukan kepada calon lain.

“Misal, nih, karena kepala dinasnya itu hubungannya akrab dengan calon tertentu, akhirnya memudahkan izin. Sementara ada calon yang relasinya tidak kuat dengan kepala dinasnya. Saat meminta izin malah diberikan kendala, dan lain sebagainya; akhirnya tidak terlayani dengan baik. Ini kan berpotensi untuk menimbulkan konflik antarkelompok,” ujar Heru.

Jika ini terjadi, lagi-lagi anak bakal menjadi korban. Sekolah yang harusnya jadi tempat belajar menjadi tempat yang penuh dengan konflik kepentingan dan rawan kekerasan.

“Ketika psikologisnya itu belum matang, kejiwaannya belum mantap benar, kemudian tidak ada pihak keamanan yang memberikan penjaminan untuk menciptakan kampanye yang aman, kemudian menjadi chaos. Siapa yang bertanggung jawab?” pungkasnya.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Pabrik Gula Gondang Winangoen Klaten, Lambang Kejayaan Indonesia di Masa Lalu

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version