Perppu Ciptaker Reduksi Hak-Hak Buruh Perempuan: Bikin Mobat-mabit

perppu ciptaker mojok.co

Ilustrasi beban perempuan (Mojok.co)

MOJOK.CO – Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang baru saja disahkan pemerintah akhir tahun 2022 lalu, diklaim mereduksi sejumlah hak buruh perempuan. Di dalamnya terdapat beberapa regulasi, yang dikhawatirkan malah bikin kesejahteraan perempuan mengalami kemunduran.

Deputi Bidang Perempuan Partai Buruh, Jumisih, menyebut bahwa Perppu Ciptaker—yang meregulasi cipta lapangan kerja—justru membuat ketidakpastian kerja bagi para buruh, khusunya perempuan. Dalam bahasanya, ia menyebut situasi ini sebagai “informalisasi pekerja”.

“Ketidakpastian kerja ini dilegalisasi lewat Perppu, bikin buruh jadi mobat-mabit [porak-poranda]” ujarnya, saat memaparkan pandangannya dalam diskusi “Jalan Menuju Pemilu 5: Polemik Perppu Cipta Kerja dan Respons Kelas Pekerja” yang ditayangkan kanal Youtube Indoprogress TV, Jumat (6/1/2023).

Akibat legalisasi ketidakpastian kerja ini, lanjut Jumisih, imbasnya bakal merembet ke aspek-aspek lain. Bagi perempuan, misalnya, dampak ini bakal terasa ke hak-hak mereka dalam hal jaminan sosial, upah, serta cuti hamil dan melahirkan.

Sebagaimana diketahui, sebelumnya hak cuti dan melahirkan bagi buruh perempuan sudah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam undang-undang ini, perempuan diperbolehkan tidak masuk di hari pertama dan kedua haid; serta memperoleh istirahat 1,5 bulan sesudah melahirkan.

Meski pengusaha tetap harus memberikan hak upah mereka, fakta di lapangan menunjukkan bahwa aturan ini sering dilanggar. Sementara dalam Perppu Ciptaker, pelanggaran itu malah bakal mendapatkan legalitas hukum.

“Secara otomatis memang Perppu Cipta Kerja tidak menghapus cuti haid dan melahirkan,” kata Jumisih.

“Tapi formulasi gaji yang berubah, bikin perempuan haid dan melahirkan yang melaksanakan cuti tidak mendapat upah yang semestinya mereka peroleh. Tentunya ini mereduksi hak-hak mereka,” sambungnya.

Menurut Jumisih, kondisi yang demikian hanya berdampak pada ketidakpastian kerja pada kaum perempuan. Alhasil, kesejahteraan seperti yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah cuma bakal menjadi angan.

“Saat pekerja perempuan punya kepastian kerja, ini bisa meningkatkan kesejahteraan. Perppu malah menghilangkannya,” katanya.

Hal serupa juga disampaikan anggota Pusat Studi Gender, Anak, dan Disabilitas UMY, Ane Purnamasari. Baginya, Perppu Ciptaker memberi legalitas bagi pengusaha untuk mematikan hak-hak fundamental perempuan.

Ia memberi contoh, dalam Pasal 79 ayat (5) Perppu Ciptaker menjelaskan terkait pelaksanaan jam kerja bagi buruh di perusahaan diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Menurut Ane, hal ini malah bakal bikin jarak antara pengusaha dan pekerja, serta bikin buruh jadi tidak punya daya tawar.

”Penyerahan keputusan hak pekerja wanita kepada pengusaha atau perusahaan membuat jarak, di mana terdapat kemungkinan pengusaha tidak akan memasukkan hak-hak tersebut. Dan hal ini ke depannya tidak dapat dipermasalahkan secara hukum,” ucap Ane, dikutip Selasa (10/1/2023).

Dosen Ilmu Politik ini pun juga berharap bahwa nantinya tidak ada lagi ruang abu-abu bagi hak perempuan dalam bekerja. Dalam artian ada kepastian hukum yang mengatur hak-hak mereka alias tercantum secara eksplisit dalam regulasi.

“Hak [perempuan] seperti cuti haid dan melahirkan bagi pekerja wanita harus diatur secara eksplisit. Harapan ini dapat kita serahkan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Kita berharap MK dapat menimbang kembali kepentingan masyarakat khususnya para pekerja Indonesia,” pungkasnya.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda

BACA JUGA Perppu Ciptaker Hanya Akal-akalan Pemerintah dan Menyulitkan Buruh

Exit mobile version