Peran Perempuan Adat Sangat Vital Bagi Pelestarian Alam, Sayangnya Hak Mereka Sering Dirampas

perempuan adat pelestari alam

Ilustrasi para perempuan adat menjadi penjaga tradisi dan kelestarian alam (Mojok.co).

MOJOK.CO – Perempuan adat tidak hanya berperan sebagai penjaga tradisi. Namun, mereka juga menjadi aktor sentral dalam menjaga kelestarian alam dan lingkungannya. Sayangnya, hak-hak mereka kerap diabaikan bahkan dirampas oleh negara.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat adat punya peran fundamental dalam melindungi alam. Khususnya dalam hal menjaga keanekaragaman hayati (biodiversity).

Temuan Reliefweb.int berjudul “Indigenous peoples’ knowledge and climate adaptation” menyebut bahwa masyarakat adat melindungi 80 persen keanekaragaman hayati dunia. Mereka juga mewakili 6 persen populasi dunia.

Selain menjaga biodiversity, laporan itu juga menyebutkan masyarakat adat merupakan “penjaga terbaik bumi”. Hal ini mengingat pengetahuan tradisional yang bergantung pada solusi berbasis alam—dan telah diwariskan secara turun-temurun—secara efektif telah berkontribusi pada strategi adaptasi di tingkat lokal, nasional, bahkan global.

“Praktik-praktik mereka yang telah teruji oleh waktu harus menjadi dasar pengambilan keputusan kebijakan dan direfleksikan bersama dengan hak-hak masyarakat adat ke dalam kerangka kerja adaptasi,” tulis laporan tersebut.

Perempuan adat menjaga tradisi dan alam

Dalam tatanan masyarakat modern, perempuan seringnya hanya mengisi ruang-ruang terpinggirkan. Peranan mereka kerap diabaikan. Perempuan modern juga kerap terjebak dalam lingkaran patriarki sekaligus kapitalisme.

Namun, dalam tatanan masyarakat adat, derajat perempuan justru begitu dihormati. Peran-perannya diakui, bahkan ia menjadi sosok sentral sebagai guardian of culture and nature.

Walter Fernandes dan G.S. Menon dalam penelitiannya berjudul “Tribal Women and Forest Economy: Deforestation, Exploitation and Status Change” yang terbit di Indian Social Institute (1987) menyebut para perempuan adat punya kontribusi yang tak kalah penting dalam komunitas adatnya.

Di banyak suku yang tersebar di Asia Tenggara, misalnya, perempuan ditemukan punya kontribusi lebih banyak dari pada laki-laki dalam hal perladangan berpindah, pengumpulan dan pengolahan hasil hutan, maupun pelestarian hutan secara umum.

Penelitian itu memberi contoh masyarakat adat di hutan Desa Hmong, Thailand. Perempuan di sana memegang peran krusial mengatur koloni saat membuka lahan dan pemukiman baru. Mereka juga yang menjadi mastermind dari rencana perburuan maupun pengolahan hasil hutan.

Para perempuan juga bertanggungjawab atas pengetahuan tradisional terkait budaya komunitasnya. Mereka menjaga tradisi dan menjaga pengetahuan atas tanaman obat-obatan yang secara turun-temurun digunakan oleh sukunya.

Mama-Mama Raja Ampat yang Perkasa

Selain itu, laporan Fernandes dan Menon itu juga memaparkan bahwa sebagian besar perempuan adat juga menjadi penjaga tradisi, yang secara bergenerasi telah berkontribusi dalam kelestarian lingkungan.

Di Indonesia, tepatnya di Kampung Kapatcol, Raja Ampat, perempuan lah yang memimpin tradisi sasi—mekanisme adat untuk mengatur pengelolaan sumber daya alam, baik di darat maupun di laut, dalam jangka waktu tertentu.

Selama sasi berlaku, masyarakat tidak boleh mengambil sumber daya di dalam wilayah sasi hingga tiba waktu panen. Di wilayah ini, ada sekitar 32 hektar sasi yang dikelola untuk budidaya teripang dan lobster.

Menurut laporan Tirto, hak perempuan dalam mengelola sasi ini telah diakui penuh oleh pemerintah kampung, gereja, dan pemegang adat. Kelompok laki-laki di Kampung Kapatcol ikut membantu mengambil biota yang telah siap dipanen. Namun, proses pengelolaan secara menyeluruh serta pencatatan hasil sudah diserahkan kepada para mama.

Tapi, haknya sering dirampas negara

Ada sebuah pepatah, “Jika ada masyarakat adat yang dilukai, maka mama-mamanya (perempuan adat) adalah yang paling terluka”. Pepatah ini menunjukkan bahwa meski punya peran krusial dalam menjaga tradisi dan alam di lingkungan adat, perempuan tetap rentan.

Sayangnya, ancaman-ancaman yang memperparah kerentanan itu justru muncul dari luar komunitas, yakni oleh aktor negara.

Laporan peneliti University of Queensland, Udiana Puspa Dewi, dalam The Conversation menunjukkan bahwa masyarakat adat di Indonesia kerap mengalami marginalisasi secara sosial, budaya, dan ekonomi.

Menurut Udiana, marginalisasi yang dialami masyarakat adat ini menggambarkan bagaimana segala keputusan terkait keberlangsungan mereka saat ini sangat bersifat pusat-pinggiran, yakni hanya berdasarkan sudut pandang sentral (pemerintah) dengan memposisikan masyarakat adat sebagai kaum marginal yang tidak memiliki suara untuk menentukan nasibnya sendiri.

Salah satu yang paling terlihat adalah negara yang kerap melihat masyarakat adat sebagai entitas terbelakang. Sehingga, hak-hak dasar mereka seakan harus diwakilkan negara. Semisal, bagaimana mereka terpaksa ikut “agama konvensional” padahal punya kepercayaan sendiri, sering mengalami apropriasi budaya, dan sebagainya.

Selain itu, masalah lain yang kerap dialami masyarakat adat adalah perampasan tanah mereka oleh aktor negara. Hak masyarakat atas tanah dan sumber daya alam, kerap berada dalam tekanan hebat. Tekanan ini seiring dengan meningkatnya penetrasi kepentingan kapital dalam bungkus berbagai macam proyek atas nama investasi, ekspansi perkebunan, industri ekstraktif, serta pembangunan infrastruktur.

Dalam dua tahun terakhir saja, proyek-proyek yang tercantum dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dijalankan secara masif di seluruh Indonesia—dan merebut ruang hidup masyarakat adat.

Aktor utama yang bertanggung jawab atas pengambilalihan tanah rakyat melalui MP3EI adalah Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Korporasi. Sementara itu, aktor pendukung yang paling berperan adalah militer dan spekulan tanah.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda

BACA JUGA Mengenal Aeshnina, ‘Greta Thunberg Asal Gresik’ yang Kampanyekan Gerakan Anti-Sachet Plastik

Exit mobile version