Mengenal Politik Gagasan, Perwujudan Pemilu Ideal di 2024

politik gagasan vs politik identitas

Ilustrasi politik gagasan vs politik identitas (Mojok.co)

MOJOK.COMenyongsong Pemilu 2024, Koalisi Indonesia Baru (KIB) meluncurkan visi-misi bernama “Politik Gagasan”. Sejumlah pengamat menilai bahwa visi tersebut sangat penting untuk membawa Indonesia keluar dari politik identitas yang sudah lama mengakar. Namun, apa sebenarnya politik gagasan itu?

Dalam launching visi-misi di Hotel Shangrilla, Surabaya, Agustus tahun lalu, Ketua DPD Partai Golkar Sarmudji menyatakan bahwa visi-misi KIB adalah untuk menjaring dan menampung ide serta gagasan akademisi, elemen masyarakat, dan lain sebagainya. Ia menegaskan, pihaknya tidak akan menonjolkan perseorangan, sebagaimana wacana politik yang sudah-sudah.

“Di sini yang ditonjolkan menjaring ide dan gagasan, tentu untuk Indonesia lebih baik. Siapapun nanti yang akan maju di pemilihan (pilpres) bisa disodorkan platform (visi-misi) ini untuk membangun Indonesia lebih baik,” terang Sarmudji.

“Visi Misi KIB tidak berbasis pada figur, tetapi lahir dari gagasan yang kemudian ditawarkan ke sosok calon yang akan maju di Pilpres,” sambungnya.

KIB sendiri merupakan koalisi yang diisi oleh tiga partai politik: Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Sejauh ini mereka belum mengusung nama capres untuk Pemilu 2024. Namun, nama Ganjar Pranowo kencang dihubungkan dengan koalisi ini.

Politik Gagasan, Lawan dari Politik Identitas

Menurut akademisi Universitas Paramadina, Djayadi Hanan, politik gagasan didefinisikan sebagai praktik politik yang mengedepankan gagasan sebagai komoditas utama yang ditawarkan kepada publik, sekaligus menjadi agenda utama perjuangan—yang dalam konteks ini—partai politik.

Menurutnya, politik gagasan bukan politik yang mengedepankan persamaan identitas, faktor kedekatan, atau aspek-aspek non-rasional lainnya. Bahkan, ia juga tidak menjadikan kekuasaan sebagai tujuan, melainkan alat untuk meraih tujuan.

“Politik gagasan adalah ketika seseorang tidak memandang latar belakang seseorang. Jadi, sepanjang idenya cocok dan dianggap bagus oleh masyarakat, dia akan diikuti, dipilih,” ujar Djayadi, saat menyampaikan paparannya di diskusi bertajuk “Politik Gagasan di Era Post Ideologi”, dikutip dari laman rumahpemilu.org, Rabu (18/1/2023).

Ide politik gagasan, dipopulerkan salah satunya oleh ilmuwan politik Amerika Serikat Kenneth White dalam bukunya The Politics of Ideas (1998). Dalam buku ini dijelaskan, di negara-negara yang demokrasi sudah matang, gagasan menjadi sesuatu yang paling sering ditawarkan dalam politik.

Misalnya, di Amerika Serikat, liberalisme sudah bukan lagi jadi bahan perdebatan atau tawaran terhadap konstituen. Gagasan terkait penurunan pajak, keberpihakan kepada warga, asuransi kesehatan dari negara, dan lain sebagainya, jadi komoditas yang sering dijual selama masa kampanye pemilu.

Lawan dari politik gagasan sendiri adalah politik kehadiran (politics of presence). Jika politik gagasan menjual ide atau gagasan, politik kehadiran lebih banyak mengampanyekan sentimen identitas seperti agama, ras, etnis maupun primordialisme, dan narasi-narasi populis lainnya. Maka dari itu, politics of presence sekaligus jadi wajah politik identitas, yang menjamur di Indonesia hari ini.

Mungkinkah Ada Politik Gagasan di Pemilu 2024?

Selama lebih dari satu dekade terakhir, dunia politik Indonesia dicemari dengan politik identitas. Nyatanya, fenomena ini tidak menghasilkan apa-apa kecuali perpecahan dan polarisasi.

Temuan Ross Tapsell dalam risetnya yang tayang di New Mandala membuktikan, bahwa narasi-narasi populisme yang digelorakan dua kandidat capres pada Pemilu 2019 bertanggungjawab atas terpecahnya rakyat menjadi dua kubu. Polarisasi ini, kata Tapsell, juga diperparah dengan propaganda dari para pendengung politik (buzzer).

Namun, seperti disampaikan Djayadi Hanan, ada harapan cerah untuk Pemilu 2024 mendatang. Menurutnya, hari ini konstituen sudah mulai bergeser ke arah pemilih rasional dan menerima politik gagasan.

Ia mengutip temuan lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dan Lembaga Survei Indonesia (LSI). Dalam survei ini, ditemukan bahwa 22 persen responden memilih partai karena program yang ditawarkan, dan 11 persen lagi memilih partai karena dianggap memperjuangkan rakyat.

“Dua elemen ini kan politik gagasan. Jadi, 35 persen pangsa politik itu setuju dengan politik gagasan,” ujarnya.

Sisanya, atau lebih dari 15 persen orang memilih karena mengenal simbol partai. Sementara 11 persen lainnya memilih karena tokoh dalam partai tersebut

“Nah, ini tidak mesti bertentangan dengan politik gagasan. Jadi, ada peluang sebetulnya,” ia menambahkan.

Lebih lanjut, selain di konstituen, angin segar juga berembus ke kalangan partai. Menurut Rektor UIN Sunan Ampel, Muzakki, tiga koalisi yang terbentuk: Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri atas Partai Golkar-PPP-PAN; koalisi Partai Gerindra-PKB; Koalisi Perubahan, terdiri atas Partai Demokrat-Nasdem-PKS; serta poros PDIP, menunjukkan bahwa partai politik sudah memiliki kesadaran baru tentang politik gagasan.

“Pada titik inilah, rangkaian awal dalam derap menuju Pemilu 2024 menjadi saksi mulai menguatnya kesadaran atas pentingnya politik gagasan,” tulis Muzakki, dalam opininya di JawaPos, dikutip Rabu (18/1/2023).

“Menguatnya kesadaran atas pentingnya politik gagasan dalam perkembangan terkini perpolitikan Indonesia memberikan harapan besar kepada kembalinya kesadaran keindonesiaan kita,” sambungnya.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda

BACA JUGA Refleksi Akhir Tahun, Muhammadiyah Minta Politik Identitas Disudahi

 

Exit mobile version