MOJOK.CO – Sebanyak 82,6 persen jurnalis perempuan di Indonesia mengaku pernah mengalami kekerasan seksual ketika bekerja. Ada 10 jenis kekerasan yang paling sering diterima jurnalis, body shaming menjadi yang tertinggi.
Survei Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Regulator Media (PR2Media) pada September – Oktober 2022 mencatat, sebagian besar jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. Survei yang didukung International Media Support (IMS) itu melibatkan 852 responden di 34 provinsi di Indonesia. Dari ratusan jurnalis itu, 82,6 persen di antaranya mengaku pernah mengalami kekerasan seksual ketika melakukan pekerjaan.
Kekerasan yang dialami jurnalis perempuan secara daring mencapai 26,8 persen, sementara di ranah luring tercatat 18,2 persen. Melansir rilis AJI, kekerasan seksual yang paling banyak terjadi adalah body shaming secara luring. Angkanya mencapai 58,9 persen. Setelah itu, catcalling secara luring yang mencapai 51,4 persen dan body shaming secara daring yang tercatat 48,6 persen.
“Berdasarkan UU Tindak Pidana Seksual, ini sudah masuk unsur pidana,” kata Wakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Olivia .C. Salampessy seperti dikutip dari detik.com, Rabu (8/8/2023). Ia pun berharap ada tindak lanjut serius atas kasus kekerasan seksual yang menimpa para jurnalis perempuan di Indonesia.
Selain tiga bentuk kekerasan seksual di atas, survei menunjukkan jurnalis perempuan juga kerap menerima pesan teks maupun audio visual yang bersifat seksual dan eksplisit secara daring (37,2 persen); Sentuhan fisik bersifat seksual yang tidak diinginkan secara luring (36,3 persen); Komentar kasar atau menghina bersifat seksual secara luring (36 persen); Komentar kasar atau menghina bersifat seksual secara daring (35,1 persen); Diperlihatkan pesan teks maupun audio visual yang bersifat seksual dan eksplisit secara luring (27,2 persen); Dipaksa menyentuh atau melayani keinginan seksual pelaku secara luring (4,8 persen); Dipaksa melakukan hubungan seksual secara luring (2,6 persen).
Halaman selanjutnya …
Kekerasan di ruang redaksi
Kekerasan seksual di ruang redaksi
Apabila merujuk dari penelitian PR2Media pada 2021, pelaku kekerasan terhadap jurnalis perempuan tidak hanya dari narasumber. Mayoritas kasus justru dilakukan oleh rekan kerja (20,9 persen) dan atasan (6,9 persen).
Berangkat dari angka itu, tulisan “Riset: jurnalis perempuan masih menjadi target rentan kekerasan” karya Iwan Awaluddin Yusuf yang diunggah di The Conversation menekankan perlunya menciptakan ruang aman bagi jurnalis perempuan di ruang redaksi. Sebab, apabila media sebagai organisasi tidak mampu menangani kasus kekerasan yang terjadi di lingkungannya sendiri, bagaimana mereka bisa bersikap terhadap kasus-kasus kekerasan yang terjadi di luar sana?
Melihat catatan di atas, regulasi yang mampu melindungi jurnalis perempuan kemudian menjadi penting. Selama ini memang belum ada regulasi khusus dan peraturan standar tentang pencegahan, perlindungan, dan penanganan kasus kekerasan terhadap jurnalis perempuan. Memang sih ada Peraturan Dewan Pers 2013, tapi sifat regulasi tersebut masih umum.
Upaya menciptakan lingkungan yang aman kemudian bisa diwujudkan dalam turunan regulasi yang lebih detail. Bentuknya bisa berupa protokol, peraturan perusahaan, ataupun Perjanjian Kerja Bersama (PKB) tentang perlindungan jurnalis perempuan. Termasuk dalam aturan tersebut adalah kekerasan seksual sebagai bagian dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Penulis: Kenia Intan
Editor: Kenia Intan