MOJOK.CO – Budiman Sudjatmiko mendeklarasikan dukungannya untuk bakal capres Prabowo Subianto. Keputusan ini mendapatkan reaksi yang keras, baik dari partainya yakni PDIP, maupun publik secara luas.
PDIP menganggap dukungan Budiman tersebut adalah bentuk ketidakpatuhan kader atas partainya. Sebab, PDIP sendiri telah mendeklarasikan bakal capresnya, yakni Ganjar Pranowo. Sanksi atas Budiman pun tinggal menunggu waktu.
Sementara publik mempertanyakan langkah Budiman lantaran sejak masa Orde Baru, ia jadi aktor yang konsisten melawan rezim, termasuk Prabowo yang jadi tangan kanan Suharto.
Lantas, seperti apa rekam jejak Budiman hingga menjadi elite partai seperti sekarang ini?
Dari desa ke desa
Sejak mahasiswa, Budiman Sudjatmiko sudah akrab dengan pergerakan. Lelaki kelahiran Cilacap, 10 Maret 1970, ini menimba ilmu di Fakultas Ekonomi UGM tahun 1989. Namun, kuliahnya ini tak selesai karena ia sibuk mengadvokasi masyarakat.
Seperti yang ia jelaskan dalam bukunya, Anak-Anak Revolusi (2013), saat masih kuliah Budiman memang rajin melakukan—yang dalam bahasanya—“pengorganisasian rakyat” di desa-desa.
Tiap akhir pekan, Budiman menyempatkan waktu untuk membantu warga desa yang tengah berkonflik dengan negara. Misalnya Desa Lomanis di Cilacap yang terancam tergusur akibat pembangunan pabrik plastik.
Budiman juga pernah mengadvokasi desa lain di Cilacap yang warganya diusir pihak militer karena dituduh keluarga PKI. Akibat advokasinya ini, Budiman ditangkap dan diinterogasi Komandan Kodim Cilacap. Ia tidak ditahan, tapi “dideportasi” dari Cilacap.
Namun, Budiman tak pernah kapok. Sejak saat itu ia tetap konsisten melakukan pengorganisasian rakyat di desa-desa wilayah Ngawi, Jawa Timur.
Halaman selanjutnya…
PRD dan Kudatuli
PRD dan Kudatuli
Pada 22 Juli 1996 Budiman Sudjatmiko bersama kawan-kawan aktivis lain mendeklarasikan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Namun, terkait “asas sosial demokrasi kerakyatan” dan “watak progresif revolusioner” yang tercantum dalam Anggaran Dasar PRD, partai ini pun langsung diintai pemerintah Orba karena dituduh komunis.
Baru berumur kurang dari seminggu, pimpinan PRD langsung digulung Suharto. PRD dianggap “biang kerok” peristiwa Kudatuli yang terjadi pada 27 Juli 1996.
Budiman, yang kala itu berstatus ketua umum, bersama jajaran pimpinan PRD yang lain pun harus ditangkap dan dikenai pasal subversif. Ia diancam 13 tahun penjara.
Sejak peristiwa ini, nama Budiman dan PRD pun mulai dikenal luas. Kepemimpinan PRD pun tetap jalan meski sedikit oleng karena para petingginya harus mendekam berada di penjara.
Setelah Reformasi—yang tak bisa disaksikan Budiman secara langsung—PRD ikut Pemilu 1999. Sayangnya, partai ini gagal berkampanye secara maksimal karena petingginya masih mendekam di jeruji besi.
PRD pun hanya mampu merebut 7 ribuan suara; menempati urutan ke-40 dari 48 partai peserta pemilu.
Di tahun yang sama, presiden terpilih Abdurrahman Wahid alias Gus Dur memberi amnesti pada Budiman. Setelah bebas, Budiman melawat ke Inggris untuk melanjutkan pendidikannya.
Masuk PDIP
Seperti Detik laporkan pada edisi 3 Desember 2004, setelah kembali ke Tanah Air, Budiman Sudjatmiko bersama 52 aktivis lain (termasuk di antaranya eks PRD) mendeklarasikan Relawan Perjuangan Demokrasi di Jakarta. Kelompok ini juga memutuskan untuk bergabung dengan PDIP.
Selain Budiman, nama-nama aktivis lain yang gabung PDIP antara lain Rahardjo Waluyo Jati (PRD), mantan Ketua Pijar Haikal, Akuat Supriyanto, Beathor Suryadi, Masinton Pasaribu (Front Perjuangan Pemuda Indonesia), dan Sinyo (Gerakan Bersama Rakyat).
Dalam deklarasi dukungannya atas PDIP, Budiman mengaku bahwa tujuan utamanya adalah untuk mengembalikan parpol sebagai wadah perjuangan berbasis kerakyatan.
“Prinsip kami, parpol harus selalu dihidupi dengan aliran darah, tenaga dan pikiran yang tegar. Karenanya, meski sejauh ini fungsi-fungsi parpol masih belum optimal, bahkan di sana-sini banyak kelemahan, kami memandang tidak sepatutnya parpol diabaikan dalam mewujudkan demokrasi,” ujarnya kala itu.
Budiman juga menyebut bahwa kelompoknya punya persamaan cita-cita dengan PDIP. Maka, mereka pun akhirnya memilih parpol yang nasionalis, pluralis dan berbasis kerakyatan.
“Kami tidak berubah dengan idealisme kami, tapi kami hanya ingin merealisaikan ide-ide dan gagasan kami ke dalam partai. Kita akan tunjukkan tidak akan mencari kekayan di partai,” tandasnya.
Bersama PDIP, Budiman sendiri telah menjadi anggota DPR sejak 2009 hingga 2019. Pada Pemilu 2019, ia tak lolos ke Parlemen Senayan.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi