MOJOK.CO – Nama Anies Baswedan menjadi viral baru-baru ini. Bukan karena prestasi, tapi banyak kritik bermunculan dan dialamatkan ke mantan Gubernur DKI itu lantaran ia tidak menyangkal telah menggunakan politik identitas sebagai strategi pemenangan Pilkada DKI Jakarta 2017 silam.
Dalam talkshow The World, bertajuk “Why Anies Baswedan has been gaining traction in Indonesia’s Presidential race” tersebut, Anies dicecar banyak pertanyaan oleh jurnalis ABC Beverly O’Connor.
Saat itu, O’Connor menyebut bahwa Anies punya label negatif sebagai politikus yang memainkan “kartu agama” dalam Pilkada DKI 2017 silam. Ia pun bertanya, apakah Anies akan menempuh jalan yang sama dalam pemilihan presiden 2024 mendatang dengan menggunakan strategi politik identitas yang berbau SARA.
“Apakah Anda berkomitmen untuk tidak menempuh jalan itu lagi? Apakah Anda akan mencoba dan memisahkan agama dari pencalonan presiden Anda?” tanya jurnalis tersebut, dikutip dari kanal Youtube ABC News (Australia), Rabu (15/3/2023).
Menanggapi pertanyaan tersebut, Anies tak memberi jawaban terang. Ia malah berpendapat bahwa dalam pemilu, selalu akan terjadi keterbelahan yang disebabkan oleh perbedaan atribut kandidat yang bertarung.
Misalnya, kata Anies, jika yang bertanding adalah laki-laki dengan perempuan, maka isu gender mendominasi pembicaraan. Menurutnya, ini juga memicu keterbelahan.
“Dan kemudian jika calon berasal dai kelompok etnis berbeda [kasus Pilkada DKI], maka faktor etnis dapat menjadi faktor ketebelahan,” jelas Anies.
Tidak mengiyakan, tapi juga tidak menyanggah
Sekali lagi, Anies tidak mengafirmasi maupun menyanggah pernyataan O’Connor yang—berdasarkan asumsi publik—menilainya memakai strategi politik identitas selama Pilkada DKI.
Anies hanya menjelaskan, bahwa ada empat hal yang ia jadikan pijakan politik selama ini, yakni kesetaraan, kebaikan bersama, akal sehat, hukum, serta aturan dan regulasi.
Dengan demikian, ia menegaskan bahwa kebijakan yang ia terapkan tidak berdasarkan keinginan atau kepentingan para pendukungnya di Pilkada. Melainkan berdasarkan empat pilar tadi.
“Jadi, ini bukan tentang siapa yang mendukung Anda, tapi bagaimana Anda mengambil keputusan saat Anda menjabat,” jelas Anies.
Seperti diketahui, pada Pilkada DKI 2017 lalu, Anies diusung oleh Gerindra, PAN, dan partai konservatif PKS. Selain itu, ia juga mendapatkan dukungan masif dari ormas-ormas dan kelompok reaksioner-agamis seperti FPI dan Gerakan 212.
Mengaku Tidak Punya Utang Politik
Bahkan Hamid, dalam penelitiannya berjudul “Populism in the 2017 Jakarta gubernatorial election” (2019) yang dikutip Populicenter.org, menyebut bahwa politik identitas melalui narasi agama, menjadi faktor utama yang mendorong kemenangan Anies atas Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Terlebih, sang petahana Ahok, saat itu juga tersandung kasus penistaan agama. Ini kemudian menjadi bahan bakar yang bikin api politik agama makin berkobar. Berbekal dukungan parpol konservatif dan ormas reaksioner, Anies-Sandiaga akhirnya mengungguli Ahok-Djarot dengan suara 57,96 persen.
Anies sendiri tidak menampik terkait dukungan-dukungan ormas dan kelompok konservatif itu. Namun, ia menegaskan bahwa tak ada utang politik bagi pendukung—meski tetap mengakui bahwa pendukung adalah cerminan sosok yang diusung.
“Kadang-kadang Anda berasumsi bahwa jika Anda didukung oleh kelompok ini dan kelompok itu, maka Anda bertindak tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan, common sense, kepentingan publik juga aturan dan peraturan, dan saya telah menjalani lima tahun dan membuktikan bahwa kita bisa melakukan itu. Oleh karena itu melihat ke masa depan,” tegasnya.
Anies Baswedan sendiri resmi dicalonkan sebagai capres pada Pemilu 2024 mendatang. Ia diusung oleh Koalisi Perubahan, yang di dalamnya berisi Partai NasDem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda