MOJOK.CO – Capres Prabowo Subianto makin aktif menggaet influencer. Padahal tak menjamin bisa mengeruk banyak suara di Pemilu 2024.
Kandidat calon presiden asal Partai Gerindra, Prabowo Subianto, makin gencar membentuk citra “milenial”-nya dengan cara menggandeng sejumlah artis dan influencer. Terbaru, ia mengundang sejumlah influencer ke kantor Kemenhan pada Kamis (3/8/2023) pekan lalu.
Di antara influencer yang hadir, terdapat komika Bintang Emon, Boris Bokir, Coki Pardede, Tretan Muslim, hingga Praz Teguh, dan sejumlah pesohor seperti Young Lex, Gritte Agatha, Rivaldo Santosa, Chandra Liow, Bobon Santoso, Celloszxz, dan Deryanshaa.
Perlu kita ketahui, sebelumnya Prabowo juga telah bertemu dengan Raffi Ahmad, salah satu influencer paling berpengaruh di Indonesia. Bahkan, sang Menhan juga terlihat makin mengakrabkan diri dengan Deddy Corbuzer, sampai-sampai memberi eks pesulap itu gelar Letkol Tituler.
Kendati belum benar-benar mendeklarasikan dukungan buat Prabowo, tapi harapannya para influencer ini bakal memberi keuntungan elektoral bagi Ketum Gerindra tersebut.
Lantas, benarkah peran influencer ini bisa menentukkan kemenangan seorang capres dalam pemilu?
Gunanya buat menarik pemilih muda
Dosen ilmu politik UGM Mada Sukmajati memandang, para influencer ini mungkin bakal berfungsi untuk mengeruk suara dari kalangan milenial dan generasi Z.
Seperti yang ia jelaskan, dua kelompok ini merupakan daftar pemilih yang paling besar untuk Pemilu 2024 mendatang. Jumlahnya mencapai hampir 60 persen.
“Dan sebagian besar dari mereka aktif di media sosial. Tempat para influencer menyebarkan pengaruhnya,” kata Mada saat ditemui Mojok, Kamis (10/8/2023).
Kata Mada, kaum milenial dan generasi Z punya kecenderungan yang lebih rasional. Artinya, ketika memilih, mereka akan lebih mempertimbangkan tawaran dan program kerja seorang kandidiat.
Tentu ini berbeda dengan pemilih tradisional, yang karakteristiknya lebih bersifat ideologis-komunal. Artinya, pertimbangan memilih mereka lebih condong ke arah sentimen. Misalnya, memilih partai tertentu karena faktor lingkungan, keluarga, ataupun ideologi.
“Kalau anak muda kan ‘rasional, pilihan mereka masih bisa berganti. Sangat berbeda dengan yang pemilih tradisional yang sudah saklek,” ujar Mada.
“Jadi, ada harapan influencer ini bisa memengaruhi pemilih yang rasional tadi guna memberi keuntungan elektoral bagi seorang kandidiat,” lanjutnya.
Tapi bukan jaminan bisa mengeruk suara besar
Meskipun demikian, Mada menegaskan bahwa influencer ini bukan jaminan mutlak untuk bisa memenangkan pemilu. Pasalnya, pengaruh besar di media sosial tak selalu bikin mereka jadi vote getter.
Contohnya adalah PAN Jawa Timur, yang pada 2019 mengusung banyak caleg dari kalangan artis dan influencer untuk pemilu. Nyatanya, ketercapaian elektoral mereka tak sesuai harapan. PAN hanya dapat jatah 5 kursi DPRD, kalah jauh dari PDIP (27 kursi), PKB (25), dan Gerindra (15) di tiga besar.
“Penting untuk kita lihat, semisal ada influencer punya jutaan follower, apakah semua pengikutnya masuk daftar pemilih tetap? ‘Kan belum pasti juga,” jelasnya.
Lebih lanjut, selain bersifat rasional, anak muda sebenarnya punya otonomi dalam memilih. Artinya, menjadi pengikut seorang influencer tidak menjamin mereka bakal ikut-ikutan nyoblos kandidat yang didukung idolanya itu.
Hal itu, menurut Mada, disebabkan karena antara follower dan influencer tak ada ikatan ideologis yang kuat. Hal ini tentu berbeda dengan, misalnya, ulama atau kiai yang secara ideologis punya ikatan kuat—sehingga pilihan politik mereka pun biasanya diikuti murid atau jamaahnya.
“Jadi, jika kita melihat kecenderungan pemilih muda maupun pemilih tradisional, saya pikir para influencerbelum akan mampu menjadi vote getter utama buat memenangkan pemilu,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi