Alasan Artis Nggak Bisa Lagi Jadi Senjata Parpol Mendulang Suara

Alasan artis nggak efektif lagi mendulang suara parpoll. MOJOK.CO

Ilustrasi alasan artis nggak efektif lagi mendulang suara parpoll. (Mojok.co)

MOJOK.COJelang Pemilu 2024, banyak parpol yang ramai-ramai merekrut artis dan mendaftarkannya menjadi caleg karena dianggap mampu mendulang suara. Namun, apakah upaya ini masih efektif?

Tak dimungkiri bahwa sejumlah partai politik masih tertarik merekrut caleg dari kalangan artis, penyanyi, hingga selebgram.

Di Jawa Timur, misalnya, Partai Amanat Nasional (PAN) memperkenalkan selebgram sekaligus Crazy Rich Surabaya, Tomli Wafa, sebagai caleg.

PAN sendiri memang jadi parpol yang paling banyak dan sering merekrut artis sebagai kadernya. Baru-baru ini, mereka bahkan merekrut aktor muda Verrell Bramastha, menyusul nama-nama lain yang lebih senior seperti Desi Ratnasari, Eko Patrio, hingga Uya Kuya.

Selain PAN, ada juga Perindo yang mengandalkan artis Venna Melinda—yang sedang menjadi sorotan publik atas kasus KDRT-nya—untuk mendapat kursi di Dapil Jatim VI.

Selain itu, masih banyak lagi parpol yang menggunakan jasa artis sebagai vote-getter. Bahkan bisa dibilang, tiap parpol pasti memilikinya, baik nasional maupun lokal, sebagai jagoannya.

Artis, tak bisa dongkrak elektabilitas

Fenomena banyaknya parpol mengusung artis sebagai caleg ini dikomentari oleh pengamat politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Jati. Menurutnya, para artis—khususnya yang malang melintang di TV—tak bisa lagi jadi senjata parpol untuk pemilu.

Ia menjelaskan, hari ini telah terjadi pergeseran industri hiburan, yang bikin masyarakat mulai meninggalkan TV. Imbasnya, popularitas artis televisi pun kalah dengan seleb-seleb yang tampil di media sosial, seperti Instagram, Youtube, maupun TikTok.

Alhasil, kata Jati, fenomena tersebut telah menggerus popularitas dan potensi sebagai vote-getter bagi parpol di pemilu.

“Sekarang karena ada media sosial, semua orang jadi artis. Jadi fenomena ini buat tergerus peran mereka sebagai vote-getter karena Youtuber atau Tiktoker lebih terkenal dibandingkan yang ada di televisi,” ucap Wasisto Jati, Rabu (5/4/2023).

Ia melanjutkan, di era perkembangan media saat ini, popularitas seorang artis kerap dilihat dari viralnya isu dan kontroversinya dalam mencari sensasi. Dengan demikian, mereka ini kurang bisa diharapkan untuk menaikan elektablitas parpol atau dirinya sendiri, mengingat mereka tak punya potensi itu.

Jika pun ada nama-nama yang telah berhasil bertahan di panggung politik, kata Jati, itupun karena mereka tersebut sudah bertransformasi menjadi politikus.

“Sekarang popularitas artis tidak selalu muncul karena kapabilitasnya, lebih pada mencari sensasi atau hal lain lagi. Yang bisa bertahan, sesungguhnya mereka sudah bertransformasi menjadi politikus.

Pernyataan Jati ini sesuai dengan survei SMRC pada 3-11 Desember 2022 lalu, yang mana elektabilitas PAN—parpol yang paling banyak merekrut artis—hanya berada di 1,9 persen.

Begitu juga dalam survei LSI Denny JA pada 4 hingga 15 Januari 2023, elektabilitas PAN hanya ada di angka 1,9 persen.

Instan, tapi tak efektif

Pernyataan Jati senada dengan pengamat politik Universitas Trunojoyo, Surokim Abdussalam, yang menyebut pencalonan artis oleh parpol sekadar langkah instan tapi tak efektif.

Meskipun banyak parpol menempuh jalan instan ini, perekrutan artis ia nilai sebenarnya kurang menguntungkan. Apalagi, proses pencalegan adalah kompetisi yang sangat rumit, dan nama besar saja belum tentu menjadi jaminan bisa memenangkan suara masyarakat.

“Sesungguhnya itu plus-minus,” kata Surokin, kepada Detik, Rabu (5/4/2023).

“Parpol menggaet artis karena merasa masyarakat banyak mengenal mereka dan mudah menggaet voters. Sementara pertimbangan kompetensi, kapasitas, dan kapabilitas serta girah perjuangan nomer sekian,” sambungnya.

Peneliti Senior SSC itu menyebutkan, bahwa caleg dari publik figur memang akan mendapatkan peluang feedback atau imbal balik dari masyarakat rural dan periferal yang cukup baik.

“Tapi tidak demikian dengan masyarakat urban yang sudah mulai ada pergeseran dalam memilih caleg. Di masyarakat urban faktor keartisan hanya menjadi faktor pelengkap saja dan bukan faktor utama keterpilihan caleg,” katanya.

Ia mencontohkan, pada Pemilu 2019 lalu—yang mana banyak artis turun ke Jatim untuk maju sebagai caleg—tidak banyak artis yang berhasil melenggang menjadi anggota DPRD/DPR.

Menurutnya, sebuah pencalegan perlu sosok figur yang terkenal dan memiliki jaringan kuat di daerah pemilihan masing-masing. Ia tidak memungkiri bisa menjual nama publik figur untuk pencalegan, tapi harus memperhitungkan daerah pemilihannya.

“Semua tergantung wilayah dan tipikal serta habit voters-nya. Dan yang paling utama adalah jaringan dari caleg itu sendiri, serta mau turun atau tidak ke masyarakat,” ujarnya.

Artis bisa berguna, asalkan…

Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin justru memandang bahwa peran artis di panggung politik masih akan efektif untuk digunakan sebagai vote-getter di Pemilu 2024.

Namun, ada syaratnya. Yakni artis-artis itu haruslah yang memiliki popularitas serta uang.

“Saya melihat masih efektif untuk menjadi pendulang suara, karena ada dua hal di internal parpol yaitu popularitas dan uang. Nah, artis ada dua-duanya,” kata Ujang.

Ujang memandang, artis yang hanya memiliki popularitas tapi tidak mempunyai uang akan sulit meraih kemenangan di Pemilu. Meski ia tak bisa memungkiri bahwa popularitas artis akan tetap memberikan peningkatan perolehan suara parpol, meski tak signifikan.

“Popularitas punya, tapi uang tidak punya, tidak akan menang,” ujarnya.

“Ketika popularitas ada dan uang juga ada, itu efektif untuk memberikan dukungan untuk parpol yang mereka masuki,” pungkasnya.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Survei CSIS: Pemilih Pemula Manfaatkan Medsos sebagai Sumber Informasi dan tulisan menarik lainnya di Kanal Pemilu.

Exit mobile version