Xiaomi Redmi Note 4: Hape yang Setia, Memancarkan Ketangguhan Petani Indonesia

Sungguh menarik hidup ini ketika untuk bersetia dan bekerja keras, saya malah diajari oleh sebuah benda.

Xiaomi Redmi Note 4: Hape yang Setia, Memancarkan Ketangguhan Petani Indonesia MOJOK.CO

Xiaomi Redmi Note 4: Hape yang Setia, Memancarkan Ketangguhan Petani Indonesia MOJOK.CO

MOJOK.COXiaomi Redmi Note 4 sudah empat tahun menemani saya. Mengajari saya untuk tetap setia dan tangguh seperti petani Indonesia.

“Untung hati ini buatan Tuhan, bukan buatan Cina.” Itulah lelucon yang masih dipakai untuk berlagak sok kuat setelah patah hati.

Sudah menjadi rahasia umum kalau produk Cina dikenal rentan terinfeksi kerusakan. Baik penyakit luar maupun penyakit dalam. Tapi itu dulu….

Lambat laun, anggapan yang kayak gitu mulai memudar. Terutama bagi mereka yang diajari setia dan tahan banting oleh Xiaomi. Termasuk saya sendiri, yang diajari setia sama Xiaomi Redmi Note 4.

Palagan hape dari dulu sampai sekarang tidak jauh dari spesifikasi. Mulai dari RAM, kapasitas penyimpanan, kamera, dan lain sebagainya. Namun, bagi beberapa orang Jawa, syarat beli hape, kadang cuma tiga hal dalam satu paket.

Yang saya maksud itu begini. Bagi sebagian orang Jawa, pakem beli hape itu: barangnya bagus, awet, dan harganya murah. Memang tiga hal, tapi jamak dianggap satu paket. Susah memang kalau nggak mau rugi. Namun, jangan salah, yang kayak gitu memang terjadi.

Pakem orang Jawa itu dibaca dengan baik oleh Xiaomi. Pada 2010, mereka datang, menjadi solusi bagi banyak orang dengan ekonomi pas-pasan yang belum sanggup beli Samsung untuk kelas Android. Nggak mau tahu seperti apa spesifikasinya, pokoknya sudah masuk pakem, yaitu barang bagus, (dirasa) awet, dan murah. Kemudahan yang ditawarkan OS Android menjadi salah satu daya tarik.

Xiaomi sendiri nggak cuma mudah digunakan dan masuk syarat beli hape. Merek asal Cina ini ternyata sangat dekat dengan petani.

Alvin Tse, Country Director Xiaomi Indonesia, dalam peringatan 10 tahun Xiaomi menceritakan awal mula ditemukannya nama “Xiaomi”.

“Pada mulanya, nama kami bukan Xiaomi, melainkan Dami. Dalam Bahasa Mandarin, dami memiliki makna ‘padi yang besar’. Namun, salah satu pendiri awal Xiaomi, Lei Jun, merasa sebuah perusahaan harus rendah hati karena masih baru. Maka dari itu, dia mengubah nama Dami menjadi Xiaomi yang memiliki arti ‘beras kecil’.

Ketika membaca cerita Alvin Tse, seketika saya merenung. Bayangan akan kesetiaan dan tahan banting menghadapi cobaan langsung terbayang. Maksudnya begini….

Saat ini, saya masih memakai Xiaomi Redmi Note 4. Hape yang sudah menemani saya sejak 2017. Tidak terasa sudah empat tahun hape ini setia menemani saya. Teman seperjuangan yang kini kondisinya sudah mengenaskan.

Ketika belum punya pekerjaan tetap, Xiaomi Redmi Note 4 menemani saya bekerja sambilan sebagai driver ojol. Nah, suatu ketika, saya hendak menghadiri undangan wawancara kerja di suatu daerah di Yogyakarta. Karena tidak tahu tempatnya, Google Maps jadi penolong.

Mungkin karena terik sengatan sinar matahari di jalanan depan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Xiaomi Redmi Note 4 yang saya rekatkan dengan gurita ke kap motor seketika jatuh. Di tengah jalan pula.

Pleetaaak! Suara hape yang terjatuh itu tak akan pernah saya lupakan….

Saya segera berhenti. Nahas, Xiaomi Redmi Note 4 itu jatuh tengkurap. Tidak jauh dari lokasi jatuhnya hape, saya melihat pengendara motor melaju kencang.

Dan… krak!!!

Pengendara tadi melindas Xiaomi Redmi Note 4 saya. Terlindas pas dibagian bodi. Saya hanya bisa meringis. Pikiran saya langsung tertuju ke uang tabungan buat beli hape baru. Untuk sejenak, saya lupa harus menuju tempat wawancara kerja.

Saya berjalan gontai ke arah Xiaomi Redmi Note 4 yang tergeletak tak berdaya di pinggir jalan itu. Kritis. Layarnya retak setengah. Memang masih menyala, tapi layarnya hanya berwarna putih. Pertolongan darurat tidak membantu. Saya geser dan usap tidak ada tanda kesadaran. Wassalamam sudah.

Setelah menarik napas, saya sedikit bersyukur karena waktu wawancara masih satu jam lagi. Saya sempatkan mampir ke kos teman dekat UIN. Di titik ini, pikiran saya tinggal satu: “Kalau nggak bisa nyala, gimana saya bisa sampai ke tempat wawancara kerja?” Nomor HRD dan informasi soal lokasi wawancara kerja tidak bisa dibuka.

Setelah sampai di kos teman. Ternyata Xiaomi Redmi Note 4 masih saya bisa dibuka walau layarnya kini setengah hitam. Ajaib. Hape kritis itu masih bisa dipakai kalau cuma sekadar buat buka WhatsApp dan Google Maps. Oke, nggak salah lagi. Hape ini memang teman seperjuangan. Kondisi kritis saja masih sanggup membantu. Ia selalu ada di saat saya susah.

Singkat cerita, setelah akhirnya diterima kerja dan punya waktu luang, saya mengganti layar Xiaomi Redmi Note 4 saya. Hape itu memang masih bisa diselamatkan. Waktu itu saya belum bisa mengganti LCD dengan yang original. Saya memilih menggunakan barang KW. Meski layarnya nggak lagi original, tapi mesinnya masih lancar jaya.

Oya, bekas kerusakan Xiaomi Redmi Note 4 saya sebetulnya masih ada. Lampu notifikasinya pecah dan tidak saya perbaiki. Kalau dilihat-lihat, saya teringat tokoh film Terminator 2: Judgment Day yang diperankan Arnold Schwarzenegger. Ya, mata Arnold yang merah waktu setengah wajahnya hancur itu mirip sama hape saya ketika baterainya lemah. Lampu notifnya merah. Layar pecah malah menciptakan nuansa cyborg, je. Apa nggak keren.

Xiaomi Redmi Note 4 yang kondisinya mengenaskan itu masih saya pakai sampai sekarang. Awet betul. Malah bikin saya bingung ketika hasrat ganti hape muncul. Kadang saya malah diajari untuk setia dan bersyukur dengan sesuatu yang kita kenal dengan “apa adanya”.

Saya memang belum butuh spesifikasi canggih dari hape baru. Xiaomi Redmi Note 4 ini membantu saya berhemat, bersetia, dan menghargai barang. Bikin saya kuat menghadapi berbagai masalah yang terjadi.

Bicara soal kekuatan untuk bertahan di tengah cobaan yang tak kunjung ada solusinya, Xiaomi mengingatkan saya akan petani di Indonesia. Masih ingat dengan istilah beras kecil dan padi besar di atas, kan?

Kamu tentu tahu bagaimana petani, peternak, dan berbagai profesi yang masih dianggap “rentan” di sini mengalami turbulensi yang tak kunjung usai. Petani, misalnya, sering menghadapi gagal panen, mahalnya harga pupuk, jahatnya tengkulak, hingga anjloknya harga.

Ketika harga anjlok dan petani mengekspresikan kekecewaannya dengan membuang hasil panen, petani malah “disalahkan”. Mereka malah diajari untuk bersyukur karena masih bisa panen. Petani, peternak, dan semua profesi rentan tak perlu diajari bersyukur. Karya dan kerja keras mereka tiap hari adalah wujud syukur paling besar kepada Tuhan. Ada kesetiaan kepada profesi, yang tidak membuat mereka sejahtera. Mereka tidak butuh diajari bersyukur. Mereka perlu dimuliakan dan disejahterakan.

Banyak petani yang saya kenal tetap setia kepada profesi ini. Mereka adalah pribadi-pribadi yang tahan banting. Meski tahu harus menghadapi risiko gagal panen dan dicibir, mereka tetap berusaha memberikan yang terbaik. Bagi saya pribadi, analogi ini pas sekali dengan kesetiaan Xiaomi Redmi Note 4.

Wujudnya sudah mengenaskan. Tidak sedap dipandang. Namun, di dalam “diri mesin”, ia masih berusaha memberikan yang terbaik. Saya bersyukur terhadap keputusan untuk bersetia. Apa adanya saja sudah bahagia. Sungguh menarik hidup ini ketika untuk bersetia dan bekerja keras, saya malah diajari oleh sebuah benda.

Tujuh tahun setelah kehadirannya, tepatnya 4 April 2017, Xiaomi Redmi Note 4 masih mendampingi saya. Ia setia sampai akhir hayat kelak tiba. Oleh sebab itu, saya juga akan setia dan belajar menerima keadaan dengan perasaan ikhlas dan bahagia.

BACA JUGA Xiaomi Cinta Indonesia, Kepemimpinan Ciamik Alvin Tse, dan Demokratisasi Industri Smartphone dan kisah mengharukan bersama gadget lainnya di rubrik KONTER.

Exit mobile version