UGC, Pasar Besar yang Bakal Menjadi Pembeda di 2023

UGC di media sosial adalah pangsa pasar terbesar yang acap tidak dirangkul secara maksimal. 

UGC, Pasar Besar yang Bakal Menjadi Pembeda di 2023 MOJOK.CO

Ilustrasi UGC, Pasar Besar yang Bakal Menjadi Pembeda di 2023. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COPlatform UGC atau User Generated Content bisa menjadi pembeda di 20223. Masalahnya, bagaimana memanfaatkan konten dari pengguna ini?

2023 sudah di depan mata. Di ranah media sosial dan dunia bisnis secara umum, salah satu yang layak diantisipasi adalah bagaimana perkembangan dan strategi yang mereka siapkan untuk menyambut 2023 yang konon, akan sangat menantang.

Pengujung 2022 diwarnai berbagai lay off massal. Atas nama kekhawatiran terhadap kondisi makroekonomi dan perang Rusia-Ukraina, beberapa tech company melakukan pengetatan mulai dari hiring freeze hingga pemecatan atau efisiensi. Ikat pinggang mulai dikencangkan, strategi perkembangan mulai dipikirkan. Dan salah satu yang tampaknya akan memegang peranan penting adalah sektor UGC.

UGC itu apa?

UGC sejatinya bukan istilah asing, utamanya di kalangan dunia bisnis hingga marketing. Singkatnya, ia adalah User Generated Content. Di berbagai kalangan, ia punya makna yang kurang lebih sama, namun punya fungsi yang berbeda-beda, tergantung di sektor bisnis apa kita melihatnya.

Jika kamu pemilik usaha dan kebetulan memiliki brand bisnis, UGC bisa diartikan sebagai konten ulasan dari seorang customer yang bisa memengaruhi orang lain untuk membeli produk kamu. Katakanlah kamu punya bisnis kosmetik atau warung bakso, ulasan-ulasan jujur yang datang dari konsumen tanpa kamu minta, acap disebut sebagai UGC.

Bergeser di sisi media, UGC sejatinya punya makna yang kurang lebih sama, namun punya fungsi berbeda. Karena saya menulis di Mojok, kita ambil media ini sebagai contoh. Terminal Mojok sejatinya adalah platform berbasis UGC. Mojok, selaku penyedia platform, memberikan akses kepada siapa pun, sampai bisa menulis dan menerbitkannya di Mojok, melalui Terminal

Tujuannya beragam. Pertama, untuk menaikkan content supply. Kedua, tentu saja berharap dari sekian banyak tulisan yang langsung, ada beberapa di antaranya yang akan menyumbang cukup banyak traffic ke situs Mojok.

Bukan barang baru

Dari sisi media, ini jelas bukan hal baru. IDN Times hingga Kumparan juga menerapkan hal serupa seperti Mojok. Beberapa di antaranya menyelipkan reward berupa uang tunai sebagai kompensasi dari tulisan-tulisan yang dikirim para UGC ini.

Di ranah platform media sosial, seperti Twitter, Instagram, hingga TikTok, pengertian UGC relatif sama, meski dengan fungsi berbeda. UGC di media sosial adalah pangsa pasar terbesar yang acap tidak dirangkul secara maksimal. 

Strategi tersebut tidak bisa dibilang salah juga. Pasalnya, atas nama pertumbuhan dan revenue, beberapa platform punya pilihan yang sudah mereka yakini. Mereka menyenangi content creator yang sudah matang dan mampu memproduksi konten dengan prima untuk membantu platform itu sendiri agar berkembang lebih pesat. 

Bisa menjadi pembeda

2023 bisa dibilang adalah tahun yang akan sangat menarik. Perang berkepanjangan antara Rusia dan Ukraina membuat beberapa perusahaan mulai berpikir dua sampai tiga kali untuk membakar uang. Di titik ini kemudian, UGC akan berperan sangat besar.

UGC adalah solusi murah meriah dari sudut pandang bisnis dan marketing. Contohnya, pembeli kosmetik A, akan secara sukarela mempromosikan merek kosmetik A ketika dia merasa produk itu cocok untuknya. Satu-satunya yang brand harus lakukan kemudian adalah benar-benar memastikan bahwa kualitas produknya sesuai dengan pasar yang mereka tuju. Jika dulu kita mengenal konsep mulut ke mulut sebagai salah satu wujud marketing dalam bentuknya yang paling dasar, di era modern, peranan itu dipegang oleh UGC.

Dari sisi content supply, konten dari UGC bisa menaikkan angka yang ditargetkan, tanpa harus mengorbankan budget. Katakanlah kamu punya bisnis restoran. Ada salah satu pelanggan datang ke resto kamu dan mengunggahnya di media sosial. Secara tidak langsung, itu adalah promosi gratis dan sukarela dari UGC.

Maksimalkan hal itu dengan, misalnya, me-repost ulang unggahan pelanggan dan meminta izin jika memang konten itu akan kamu gunakan sebagai salah satu konten marketing. Biar bagaimana, kesukarelaan pelanggan untuk membagikan kesan-kesannya mampir ke restoran kamu tidak serta merta membuatmu punya hak mengklaim hak cipta dari unggahannya di media sosial. Gratis sih gratis, tapi sebagai brand, kamu harus tahu diri dan norma ya.

Bakal digenjot platform media sosial

Sementara dari sisi platform media sosial, sektor UGC agaknya akan jadi ceruk pasar yang bakal digenjot secara masif. Jika platform video kini didominasi oleh TikTok sebagai pemuncak klasemen, jika diibaratkan sebagai kompetisi liga sepak bola, banyak kompetitor di bawah TikTok yang tengah mengintip peluang menyodok ke puncak klasemen.

YouTube misalnya, dengan Shorts-nya. Mereka sudah beberapa kali melakukan gathering komunal dengan kumpulan content creators yang memang sudah lama menjadi YouTuber. Privilege itulah yang mereka gunakan dengan memakai YouTuber ini sebagai bait untuk menarik UGC bermunculan dan mulai aktif memakai Shorts di waktu mendatang.

Dari kacamata content ecology, UGC ini sejatinya ada di posisi yang cukup dilematis. Umumnya, mereka ada di second tier atau third tier kota-kota di Indonesia dengan pengetahuan soal content producing yang masih belum memadai. Tapi, potensi mereka besar karena jumlahnya banyak. Sebagai platform media sosial, tantangannya kemudian adalah bagaimana merangkul UGC agar jadi senjata andalan si platform di masa depan.

Sangat menantang untuk dirangkul

TikTok telah sedikit banyak sudah menunjukkan buktinya. Entah sudah berapa banyak selebritis baru “dilahirkan” dari TikTok dengan beberapa dari mereka berangkat dari bukan siapa-siapa tapi lantas menjadi “seseorang” melalui sebuah platform media sosial.

Dan itu semua, dimulai dari UGC. Benar bahwa UGC akan sangat menantang sekali untuk dirangkul. Mereka sangat acak dan seringnya tidak memiliki pengetahuan soal konten yang baik. Tapi saya termasuk yang percaya bahwa semakin besar tantangannya, ketika itu berhasil, maka hasilnya pun akan sama besarnya dengan tantangan yang ada.

Pertanyaannya, siapa yang akan lebih mampu mengoptimalkan ceruk pasar yang potensial ini di tahun depan? Apakah kali ini Instagram akan mampu berhenti bersikap norak dengan mengekor TikTok dan mulai melakukan langkah nyata guna menggeser dominasi produk ByteDance itu? 

Atau justru YouTube, anak bekingan Google, yang akan jadi kuda hitam seperti Kroasia di Piala Dunia 2022 yang siap mengancam eksistensi TikTok? Atau malah akan ada aplikasi baru yang tiba-tiba mengancam para big boys seperti kiprah Maroko?

BACA JUGA Tiktok Dianggap  Goblok, Padahal Twitter dan Instagram Sama Saja dan analisis menarik lainnya di rubrik KONTER.

Penulis: Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version