Tanya
Dear Mojok dan Pijar yang baik,
Salam
Perkenalkan namaku Alexa, mahasiswi asal bandung yang sedang sangat resah dengan diriku dan lingkunganku. Aku adalah perempuan yang memiliki bobot tubuh sedikit di atas rata-rata, dan sejak SMP aku sudah terbiasa dipanggi “gendut” oleh teman-temanku. Tapi belakangan ini, panggilan itu jadi menurunkan rasa percaya diriku.
Ketika tahu bahwa teman-temanku memanggilku “gendut” Ibuku marah sekali. Tidak pernah aku melihat dia semarah itu. Dia bilang dia susah payah memberikanku nama yang cantik, dan seharusnya teman-temanku memanggilku dengan nama itu. Bukan dengan panggilan “gendut”. Tentu saja aku sebenarnya sepakat dengan ibuku, aku pikir panggilan itu bukan sebuah panggilan sayang, tapi panggilan yang sedikit merendahkan. Aku ingin teman-temanku berhenti memanggilku itu.
Kedua, aku juga menjadi sangat insecure dengan diriku. Ketika aku dekat dengan seorang laki-laki, aku takut dia—kawan-kawannya, atau bahkan keluarganya membicarakan tentang diriku. Aku pernah dekat dengan seseorang dan dia bilang teman-temannya tidak terlalu menyukaiku karena tubuhku, “coba kalau kamu diet,” dia bilang. Saat mendengar itu aku jadi sangat sedih dan kehilangan kepercayaan diriku. Aku merasa sebaik apapun diriku, semenyenangkan apapun sikapku, orang lain tetap melihatku sebagai seseorang yang “kurang” karena berat badanku.
Apa yang harus aku lakukan supaya orang lain tidak lagi memanggilku “gendut” dan aku bisa mendapatkan kepercayaan diriku lagi. Aku lelah dengan body shaming yang mereka lakukan kepadaku.
Terima kasih,
Alexa
Jawab
Dear Alexa. Terima kasih telah berbagi keresahanmu di sini.
Kita sama-sama tahu, menjadi objek penilaian orang lain berdasarkan bentuk tubuh bukanlah hal yang menyenangkan. Ditambah lagi, kehidupan sosial banyak terperangkap oleh stigma bahwa seorang perempuan yang cantik adalah yang langsing, tinggi semampai, mengenakan make-up, dll. Padahal tidak ada yang salah dengan perempuan yang memiliki berat badan di atas rata-rata. Cantik hanyalah tentang persepsi.
Beauty lies in the eye of the beholder
Apa yang dilakukan oleh teman-teman kamu dengan memanggilmu “gendut” memang sangat menyakitkan. Kamu mungkin sudah meyakinkan diri sendiri, bahkan Ibu juga turut meyakinkan bahwa tidak ada yang salah dengan penampilan kamu. Tapi, kencangnya hembusan cemoohan dari luar sana menggoyahkan kemampuan kamu untuk meyakinkan dirimu sendiri. Itu hal yang wajar. Perempuan yang kuat pun pasti bisa jadi lemah karena perlakuan seperti ini.
Apalagi jika sudah terkait dengan urusan pasangan. Perasaan rendah diri, terutama jika memang sudah terucap langsung dari mulut laki-laki itu (meskipun secara implisit) bahwa ia tidak menyukai penampilan kamu pasti menjadi pukulan berat. Perempuan punya sisi rapuhnya sendiri jika sudah “disentuh” urusan penampilan. Itu mengapa, terkadang hanya ditanya, “kok kamu gendutan?” saja, hati perempuan bisa remuk.
Pasti tidak mudah untuk meyakinkan diri sendiri bahwa kita tetap seorang perempuan yang cantik meskipun memiliki berat badan yang tidak ideal. Namun, justru keyakinan itulah yang kita butuhkan untuk bisa bangkit dan bangga menjadi diri kita sendiri. Jangan pernah biarkan apa yang diyakini orang lain mengubah keyakinan kita pada diri kita sendiri. Termasuk urusan penampilan.
Accept me as I am, or watch me as I go
Kita sadari saja kembali. Tanyakan pada diri sendiri, apakah dengan kondisi penampilan seperti ini, kita bahagia? Tanyakan pada diri sendiri dengan jujur tanpa memikirkan apa pendapat orang lain. Jika memang kamu merasa nyaman dan bahagia, ya mengapa harus peduli dengan apa kata orang? Sosok terpenting dan yang paling utama untuk dibahagiakan adalah diri sendiri. Kita tidak akan pernah bisa memenuhi semua keinginan orang lain terhadap kita. Dan tentu saja, kita juga bukan hidup untuk membuat orang lain senang. Kebahagiaan terpenting tetap kebahagiaan milik diri kita sendiri.
Prinsip yang hampir sama juga bisa diterapkan pada saat memilih pasangan. Awalnya terasa berat, namun akan terasa lebih lega untuk tidak mencemaskannya. Meyakini bahwa orang yang tepat dan benar-benar mencintai kamu, tidak akan menilai kamu dari penampilan luar. Karena sesungguhnya cinta itu tentang rasa, bukan apa yang tampak nyata.
Seseorang merasa penuh atau kurang itu berangkat dari keyakinan kita terhadap diri kita sendiri. Ketika kita sudah merasa bahagia, mampu menerima kekurangan dan kelebihan diri secara utuh maka itu sudah cukup. Kita sudah terbebas dari kekangan stigma masyarakat luar. Kita juga akan lebih mampu menerima dan membagi cinta kasih ketika kita sudah lebih dahulu menyayangi diri kita.
Selalu ingat, yang terpenting adalah bagaimana kita memandang diri kita sendiri. Bukan bagaimana orang lain memandang kita. Bagaimana diri kita merasa bahagia dengan cara kita sendiri, bukan memenuhi ekspektasi kebahagiaan orang lain di sana.
Kamu bisa membaca kisah inspiratif ini tentang bagaimana seorang perempuan yang merasa berat badannya di atas rata-rata, namun tetap menerima apa adanya.
Semangat selalu ya, Alexa. Dunia tidak berakhir hanya karena orang-orang mempermasalahkan penampilan fisikmu. Bisa saja malah apa yang mereka permasalahkan adalah kekuatanmu untuk menjalani kehidupan. Biarkan mereka berkata, yang penting kamu tetap berkarya. Kelak, biar semesta yang akan mendiamkan mereka.
Salam hangat dari kami di Pijar Psikologi
*Ayunda Zikrina, ex-Pemimpin Redaksi Pijar Psikologi
_____________________________________________________________________________
Punya masalah psikologis yang ingin dikonsultasikan? Tim Pijar Psikologi siap menjawab semua keresahan, kegelisahan, dan kebrutalan hidup kalian dengan serius (iya, seriusan)