Media Sosial dan Dunia Nyata Sama-Sama Membuat Kita Merasa Tidak Lebih Baik Dibandingkan Orang Lain

Media Sosial dan Dunia Nyata Sama-Sama Membuat Kita Merasa Tidak Lebih Baik Dibandingkan Orang Lain

Media Sosial dan Dunia Nyata Sama-Sama Membuat Kita Merasa Tidak Lebih Baik Dibandingkan Orang Lain

Tanya

Teruntuk Mojok yang kadang bijak.

Sebelumnnya, saya ingin menyapa dulu… Hai millenials umur 20an, apa hidup kalian sebahagia feed di instagram?

Sebut saja Rara. Saya remaja menginjak dewasa (katanya) berusia 20 tahun. Saya ingin berkeluh kesah, selain berbagi cerita dengan Tuhan, saya juga ingin berbagi resah dengan klean smwaaa.

Entah ini saya alami sendiri atau ada teman-teman lainnya yang juga merasakan hal yang sama. Hiruk pikuk kehidupan di sosial media sepertinya begitu indah, main sana sini, nongkrong asiquee, berhedon ria, penuh wkwkwk bareng teman, full of love bareng pacar. Tapi di real lyfe kok saya nggak merasakan hal yang sama. Kalo saya baca ulang kok rasanya sedi ya huhuuu~

Memasuki usia 20an, jadi anak pertama, masih kuliah, tidak menghasilkan. Rasanya saya benar-benar buruk. Mungkin bagi sebagian orang itu hal wajar. Tapi tidak dengan beberapa orang tua seperti orang tua saya.  “Kamu bisanya cuma minta aja” , “nanti kalo udah lulus juga belum pasti kerjaannya apa” , “si itu udah kerja sekarang sukses” , “anaknya pak itu nilainya bagus, kamu kok cuma segitu” , “halah taunya cuma main”.

Apa ada yang sering mendengar kalimat-kalimat di atas? Sedih? Sakit hati? Iyalah, gak terima? Kadang. Rasanya melebihi kalo diselingkuhin mantan, asli. Mau ngejawab kok ya orangtua. Ya diem baelah, emang sekarang aku percum gak bergunnnnnn huhu~

Poin satu. Bagi saya itu jadi sebuah tuntutan hidup. Saya mengalami kebimbangan, saya masih kuliah tapi selalu diomeli tentang penghasilan, kamu bisa apa, cuma menghabiskan uang, beberapa pekerjaan ringan juga saya kerjakan yang kadang juga bisa buat jajan kalo di kampus. Tiap hari juga rajin ngampus, tidak boros-boros dalam menghabiskan uang jajan, kalo di kos juga hemat, tidak minum-minuman keras dan menjauhi narkoba, masih kurang berbakti juga ternyata hikss.

Poin dua. Dibanding-bandingkan dengan anak tetangga, anak teman bapak, anak teman ibu, dan anak-anak lain. Rasanya engga ena skaliiiiiii~ Kuliah saja sudah beda univ tapi masih saja dibandingkan. Intinya, saya lebih buruk dari yang lain.

Sekian jok,

Maafin ya, saya tau ini nanti bingung mau ditanggepinnya gmn. Saya juga bingung permasalahannya dimana , tapi saya merasa sediiiiiiiiiiiiii.

Dari remaja galau yang sangat huhu~

Jawab

Dear kamu yang sedang merasa galau.

Usia 20-an memang usia kritis. Rasanya seperti berjalan di atas tanduk. Dalam istilah lain, usia 20-an seperti telur yang diletakan di tepi jurang. Rasanya sangat tidak aman dan tidak menyenangkan.Banyak sekali perspektif untuk menjelaskan fenomena ini, salah satunya adalah quarter life crisis. Mungkin kamu bisa menggali lebih dalam mengenai fenomena ini dengan banyak baca dari berbagai jenis sumber.

Dari cerita yang kamu sampaikan. Nampaknya ada dua hal yang perlu kita bahas. Yang pertama adalah tentang media sosial. Yang kedua adalah tentang orang tua yang menuntutmu dengan segudang hal. Keduanya mengarahkan pada hal yang sama, yaitu perasaan bahwa “saya tak cukup”, “saya kurang” dan “saya selalu lebih buruk dari orang lain”.

Mari kita bahas satu per satu.

Tentang Media Sosial

Kami senang kamu sadar bahwa banyak milenial yang memakai topeng. Pertanyaan apa hidup kalian sebahagia feed di instagram? adalah cerminan kita semua di usia 20-an. Pertanyaan yang mungkin menampar sebagian besar milenial yang membaca. Kamu hebat karena sudah berani menjadi authentic dengan bertanya. Kamu hebat karena telah sadar dengan ‘ada yang salah di era ini’ dan juga ingin berefleksi. Tak banyak anak muda sepertimu, yang menyadari hal tersebut. Lebih banyak yang memilih pura-pura tidak tahu atau benar-benar tidak tahu. Hingga akhirnya, terjebak di dunia maya selama mungkin sampai mereka sadar bahwa waktu mereka telah habis tanpa makna.

Dunia maya, dengan media sosial di dalamnya, adalah tempat yang sangat menyenangkan. Tempat di mana kamu dan semua orang bisa menampilkan diri terbaikmu. Media sosial juga menjadi tempat manusia jelata untuk memiliki panggung yang terus disorot masyarakat.

Apalagi hidup di dunia nyata yang dingin dan minim apresiasi, bertengger di dunia maya membuat kita merasa eksis bagai selebritas. Love dan like menjadi notifikasi yang selalu ditunggu. Harga diri kita ditentukan oleh sebarapa banyak followers, seberapa banyak love dan likes yang kita dapatkan. Tentunya, mendapatkan love di Instagram lebih mudah daripada mendapatkan love di dunia nyata. Di sinilah letaknya candu kita. Instagram memenuhi salah satu kebutuhan utama manusia, perasaan ingin dicintai dan dihargai.

Akan tetapi, karena semua itu hanya ada di dunia maya, maka tak aneh jika sebagian besar dari kita merasa kosong di balik semua “wkwkwkw” dan “foto nongkrong asique” di Instagram. Belum lagi, melihat feed teman-teman yang sudah lebih sukses dari kita. Rasa-rasanya diri ini semakin terinjak-injak.

Tapi percayalah, semua yang ada di Instagram tidak mewakili kehidupan si pemilik akun. Instagram hanyalah 1 detik foto dari 24 jam kehidupan manusia. Sayangnya, sebagian besar dari kita berlomba-lomba menampilkan yang terbaik saja. Akibatnya, tidak ada satu orang yang pun yang puas akan pencapaian dirinya sendiri karena iri melihat feed Instagram orang lain.

Sebagai tambahan, kamu bisa membaca kisah lucy, yang sempat viral, mengenai iri hati dan cemburu di dunia maya.

Dibanding-bandingkan Orangtua

Hal kedua yang menganggumu adalah orang tua yang kerap membanding-bandingkan.

Perlu kita ketahui bahwa mereka yang menyakiti kita juga sebenarnya sedang terluka. Sekilas, dari sudut pandangmu, dan dari sudut pandang anak-anak usia 20-an, orangtua yang membandingkan anaknya dengan anak lain adalah orang tua yang amat tega. Perbandingan yang dilakukan itu mampu menyiksa anaknya pada tataran batin.

Namun, jika ditarik dari sudut pandang yang lebih luas, orangtuamu juga belum puas dengan keadaannya. Mereka masih ingin ekonominya lebih baik lagi atau mereka sangat pencemas, yang sudah mengkhawatirkan masa depan anaknya sejak bayi. Jadi, kalau sekarang kamu mendengar kekhawatiran dan perbandingan yang mereka lakukan, coba bayangkan kamu berada di posisi mereka. Posisi sebagai orangtua yang juga menanti segala kepastian.

Sebagai anak yang bisa kamu lakukan adalah berusaha memahami mereka. Kata-kata itu memang sakit, sesekali bicaralah dari hati ke hati bila diperlukan dan ada momen yang tepat. Namun, kadang-kadang memaksa orang lain berubah bukanlah hal mudah. Satu-satunya yang bisa diubah adalah dirimu sendiri. Berusahalah mengubah dirimu dengan meningkatkan kesabaranmu, memahami orang tuamu, dengan belajar lebih tekun dan bisa membanggakan orangtuamu, karena mungkin itu yang mereka mau. Itu yang mereka ingin lihat.

Bersikap “Bodo Amat”

Seringkali kita memedulikan sesuatu yang menyedot tenaga dan membuat kita semakin pusing sebagai akibatnya. Padahal, kita tidak perlu memedulikan setiap hal yang ada di sekitar kita. Seperti yang sedang kamu rasakan, tanpa disadari kamu memedulikan banyak hal yang sebenarnya bisa kamu pilih untuk tidak diacuhkan. Memedulikan feed Instagram teman atau terlalu memikirkan pendapat negatif tentang dirimu dari orangtua.

Kamu bisa belajar untuk bersikap “bodo amat”. Hidup dengan “bodo amat” menjadi hal penting yang perlu dilakukan di tengah dunia yang penuh dengan cibiran, nyinyiran, serta perbandingan dari orang-orang. Belajar untuk tidak peduli dengan apa yang terjadi di luar sana karena hanya akan membuat dirimu merasa tidak nyaman. Tidak apa-apa kamu merasakan ada yang salah, ada yang kurang, selama kamu dapat belajar untuk lebih mengenali dan memahami apa yang sebenarnya dapat menjadi kelebihanmu. Kamu tidak harus berubah dengan keras demi memenuhi standar orang lain. Terima apa yang ada di dirimu sekarang dan melihat apa sebenarnya yang kamu inginkan dan hal apa yang kamu punya untuk bisa dikembangkan.

Menyayangi Diri Sendiri sebagai Jawaban

Seperti saran di atas, jika perlu uninstall media sosialmu biar semakin cool kayak Ed Sheeran. Dengan meng-unistall media sosial, kamu bisa melindungi diri untuk tidak membandingkan hidup dengan orang lain di dunia maya sana. Waktu yang kamu habiskan juga tidak sia-sia begitu saja hanya karena scrolling feed media sosial.

Di sisi lain, kamu perlu lebih menyanyangi dirimu sendiri. Sudah banyak kata-kata negatif yang kamu telan. Baik dari orang tuamu saat membanding-bandingkan ataupun dari dirimu sendiri saat scrolling IG orang lain. Maafkanlah dan sayangi dirimu sendiri. Berhentilah melabel negatif diri dan menggunakan orang lain sebagai patokan kualitas dirimu. Ketika kamu semakin kuat menggunakan orang lain sebagai patokan, semakin besar peluangmu untuk kehilangan diri sendiri. Percayalah, masing-masing dari kita memiliki alur hidup masing-masing untuk mencapai perubahan.

***

Terakhir, jangan pernah lupa bahwa kamu masih muda. Usia 20 tahunan rasanya memang menyiksa. Ada banyak hal di depan mata yang bisa kamu lakukan. Ada banyak hal di internet dan di toko buku yang bisa kamu pelajari. Pelajarilah kisah orang-orang sukses, lakukan rutinitas yang mereka lakukan. Lihatlah dirimu di masa depan dan mulai lakukan apa yang perlu dilakukan sekarang, perlahan demi perlahan. Jika kamu bisa menyibukan diri dengan hal-hal positif yang terarah, percayalah, tanpa kamu sadari tiba-tiba kamu sudah berada di titik sukses yang kamu harapkan. Saat itu terjadi, segala drama yang diakibatkan media sosial hanya akan menjadi debu yang tak lagi berarti.

 

*Regis Machdy, co-founder Pijar Psikologi

_____________________________________________________________________________

Punya masalah psikologis yang ingin dikonsultasikan? Tim Pijar Psikologi siap menjawab semua keresahan, kegelisahan, dan kebrutalan hidup kalian dengan serius (iya, seriusan).

Exit mobile version