MOJOK.CO –Rupiah kian melorot seperti kolor yang kehilangan elastisitas karetnya. Om Haryo kali ini menjelaskan situasi ini dengan melihat sumber permasalahan dari sisi internal negara kita.
Sejak awal 2018, mata uang kita terus mengalami depresiasi, merosot nilainya dibandingkan US dollar (USD). Beberapa ekonom di luar pemerintah sejak 2017 silam telah mengingatkan potensi krisis dan memberikan cara untuk meminimalkan dampaknya. Sayangnya, kritik-kritik yang kalau dibukukan akan melebihi ketebalan dari buku Lambe Akrobat seringkali sudah layu dihadang nyinyiran dari lambe-lambe netijen yang terlalu sering tidak paham dengan ilmu ekonomi.
“Halah belanja masih ke pasar becek aja kok gaya banget ngomongin dollar.”
“Nih, aku baru saja sarapan nasi, telor balado dan sayur. Harganya kurang dari 1/2 dollar. Kek yang pinter aja ngomongin dollar.”
Kita lupa. Di saat bersamaan, saudara-saudara kita di pedesaan yang berprofesi jadi petani cabe sedang mengalami kejadian yang memilukan. Senyum lebar yang seharusnya menghiasai wajah mereka saat memasuki panen raya seperti saat ini tidak dapat kita saksikan. Sebagai konsumen mungkin kita hanya menyeringai menyaksikan itu atau bahkan girang karena harga cabe 1kg kurang dari 10 ribu di tingkat petani.
Bangganya dimana coba belanja murah dari pedagang yang mendapatkan harga dari petani yang menjual produknya di bawah ongkos produksi? Ya kali kalau pedagang masih bisa untung dari selisih harga. Sementara petani tidak mempunyai keleluasaan serupa saat berhadapan dengan mekanisme pasar.
Cabe dan sayuran harganya jelas tidak akan terkatrol naik akibat pelemahan rupiah. Tetapi bagi orang yang mempunyai logika utuh lagi sehat pasti akan berpikir, “Bagaimana para petani tersebut akan memenuhi kebutuhan akan barang yang terpengaruh depresiasi rupiah seperti tempe, dan makanan berbasis gandum? Dari semula cukup menjual 1kg cabe (30 ribu) untuk mendapatkan 3 lonjor tempe (@10 ribu), menjadi tinggal 1 lonjor pun kurang 1-2cm”
Itu pun kadang kita akan disergap dengan pernyataan, “Nggak usah lebay deh, terigu harganya masih sama kok. Jangan bikin panik orang.”
Hal seperti itu harusnya justru memancing pertanyaan dari kita sebagai konsumen. Apa karena perusahaan tersebut mempunyai gudang raksasa tempat menyimpan barang impor dengan harga beli saat rupiah masih tinggi dalam jumlah besar? atau perusahaan tersebut terlalu besar menikmati surplus produsen, sehingga harga impor yang seharusnya membuat belanja mereka bertambah belum diberlakukan pada konsumen?
Di tengah terus merosotnya rupiah tersebut, berulangkali pemerintah melalui menteri keuangannya, Sri Mulyani, terus saja mengampanyekan Indonesia tengah baik-baik saja, telah berjalan ke arah yang benar, dan bahkan dapat dimaknai positif. Menurutnya, setiap pelemahan 100 rupiah dari asumsi kurs APBN justru akan mendatangkan tambahan pendapatan 1,7 trilyun.
Itu pendapat Budhe Sri Mulyani, sosok yang pernah Om HSW idolakan semasa kuliah. Derajat pendapat tersebut menyerupai fatwa ulama, sering diviralkan dan dijadikan jurus pamungkas jika netijen saling berdebat. Mana yang lebih benar, merosotnya satu mata uang secara bermakna positif ataukah justru mendorong perekonomian semakin ke tubir jurang? Bisa jadi pernyataan tersebut benar, tetapi tetap saja tidak baik untuk sektor riil.
Faktanya, negara merasa rugi. Tau darimana Om, kalau negara rugi? Ya tau dong. Ini bukan soal pinter atau Om mempunyai nilai makro ekonomi yang sangat baik. Cukup menggunakan logika standar saja. Saat Bank Indonesia melakukan intervensi dengan cara melepas dollar yang dimiliki di pasar uang dan melakukan pembelian Surat berharga negara (SBN) dengan maksud mengerek rupiah, itu dapat diartikan negara tidak mau mata uangnya babak belur.
Beberapa waktu lalu ada momen betapa sukses sebagai penyelenggaraan Asian Games, dilengkapi dengan mencorongnya prestasi atlet Indonesia membuat kita sejenak melupakan persoalan bangsa.
Iya sejenak saja, sampai pergerakan rupiah yang terus mlotrok seperti kolor kehilangan elastisitasnya menggantikan berita-berita utama di media pemberitaan
Apalagi di penghujung gelaran pesta olahraga multi event tersebut, publik disuguhi adegan pelukan teletubbies dari 2 kutub kekuatan politik Indonesia, Jokowi dan Prabowo. Adegan tersebut ditambah berita-berita kesuksesan atlet kita yang berulang kali mengumandangkan lagu Indonesia Raya dari gelanggang ke gelanggang selama 2 pekan membuat kita tidak tertarik lagi membaca berita ekonomi.
Seandainya setiap pengerekan bendera merah putih sebanyak 31 kali diikuti juga dengan apresiasi rupiah kita, maka senyum kita hari-hari ini akan semakin lebar. Negara berprestasi, ekonomi kuat, penduduknya bahagia. Sayangnya, itu harapan yang berkecambah pun belum.
Mei 2018, Om pernah menulis di mojok juga terkait mlotroknya rupiah. Kurs dollar sudah tembus 14 ribu, tidak ada alasan untuk tenang-tenang lagi. Pemerintah memang tidak mendiamkan nilai rupiah anjlok dari waktu ke waktu. Tapi sejauh ini, intervensi yang dilakukan pemerintah belum menampakkan hasil yang kita kehendaki. Perlu tapi belum cukup.
Memang pahit, performa rupiah terhadap dollar saat ini merupakan terendah sejak tahun 1998. Bahkan secara rata-rata merupakan raport terburuk sepanjang sejarah rupiah kita. Tetapi sebaiknya jangan dipolitisir situasi saat ini lebih buruk dari 1998 yang secara fundamental tidak sebaik sekarang. Sekali lagi ini hanya bicara angka, bukan dimensi nilai. Karena nilai 15 ribu di tahun 1998, dengan memperhitungkan tingkat inflasi, saat ini akan bernilai 90 ribu.
Jika kebijakan intervensi BI tersebut disandingkan dengan pernyataan Sri Mulyani, apakah kontradiktif?
Membangun optimisme itu memang baik dan perlu, tetapi juga jangan lupa menyandarkan pada realitas yang ada. Memang benar, menguat atau melemahnya satu mata uang itu tidak selalu mencerminkan baik atau buruk ekonomi suatu negara. Rupiah menurun memang belum tentu menggambarkan ekonomi kita rapuh. Tetapi harus diingat juga, tidak ada negara yang menolak mata uangnya menguat.
Untuk saat ini, tidak perlu membuat argumen yang mengesankan otoritas kita cenderung menyalahkan faktor eksternal. Betul faktor tersebut nyata ada dan mengglobal, tetapi kita perlu juga instrospeksi bahwa sistem keuangan kita memang termasuk satu di antara beberapa negara yang ringkih dan mudah untuk dipermainkan para spekulan.
Kalau neraca perdagangan kita surplus dan terus agresif mengusahakan pasar baru, niscaya kemampuan kita dalam mengumpulkan valas tidak akan terpengaruh banyak dengan kondisi eksternal. Ini jelas salah satu teori handal untuk keluar dari belitan merosotnya rupiah saat ini. Soal praktek biarlah menjadi kewajiban penguasa.
Secara psikogis, mengatakan ekonomi kita tidak sedang tidak ada masalah, itu baik. Apalagi dilengkapi dengan data-data yang menunjukkan fundamental kita memang kuat. Pertumbuhan tinggi, inflasi rendah, utang luar negeri tidak membebani keuangan negara, kemiskinan dan pengangguran membukukan rekor terendah sepanjang masa.
Tapi ingat, rupiah saat ini sudah siap teronggok di batas psikologis baru, 15.000 per dollar. Trend penurunan akan terus berlanjut selama US belum selesai kutak katik bunga yang membuat arus modal terus keluar. Mau tidak mau, suka tidak suka, saat ini kita memasuki fase krisis. Tidak mudah untuk membalikkan kecenderungan ini ke kondisi semula. Sama tidak mudahnya untuk kembali membangun kepercayaan publik terhadap pemerintah jika kurs tidak kunjung menunjukkan arah penguatan.
Diakui atau tidak, selain pengusaha yang pendapatan dan utangnya dalam bentuk dollar, sementara pengeluarannya rupiah, kondisi saat ini memang cukup membuat panik. Sementara pemerintah berulang kali meminta perusahaan yang menyimpan valas dari hasil ekspor pun diminta untuk segera melepasnya.
Untuk preferensi politik, silahkan para celengers (sebutan baru untuk pembaca rubrik celengan) memilih sesuai kata hati, jangan kata mantan. Golput pun Om rasa tidak ada masalah. Tetapi untuk membantu perekonomian nasional ada banyak hal yang dapat kita lakukan.
Pertama, beli produk-produk dari pedagang kecil atau langsung ke petani. Kelompok penghasilan rendah tersebut yang saat ini lebih terancam dari kita yang mempunyai penghasilan tetap. Jangan pernah lagi meremehkan pelemahan rupiah ini, dengan mengatakan krisis masih jauh hanya karena mendapatkan harga murah dari pedagang kecil.
Kedua, tidak perlu menyimpan dollar dalam jumlah banyak. Sesuaikan dengan kebutuhan kita saja. Kecuali untuk keperluan bisnis trip, umroh, naik haji dan wisata rohani yang memang sudah sejak lama direncanakan.
Ketiga, tunda semua perjalanan wisata mode ke Eropa yang tidak mendatangkan devisa buat negeri ini. Lupakan sejenak belanja tas langsung di Galeries Lafayette atau Champs-Élysées sampai perekonomian negara membaik. Pergi ke Tajur saja beli tas sekaligus asinan. Uang awet, badan sehat, semua senang.
Hmmm… untuk yang nomor dua dan tiga kok Om kepikir untuk menghapus saja, ya? Jangankan nabung dollar dan wisata ke Eropa, gajian masih lima hari lagi saja kalian dah puasa mutih kok. Hahaha nggak lah, ini bagian dari doa Om untuk kalian semua. Satu saat kalian akan mendapatkan hal-hal yang saat ini terasa di luar jangkauan.