Cerita Sukses Pemegang Ijazah Sastra Jepang yang Nggak Bisa Bahasa Jepang

Ijazah nggak selalu penting MOJOK.CO

MOJOK.COSeberapa penting ijazah dalam kesuksesan finansial seseorang? Om Haryo akan menjelaskan kalau ijazah itu nggak selalu penting, apalagi ketika membicarakan alumni Sastra Jepang yang nggak bisa Berbahasa Jepang.

Sahabat Celenger yang tengah banyak senyum karena tanggal muda.

Sejauh ini, orang masih mengira bahwa rubrik Celengan ketika membahas kesuksesan, pastilah kesuksesan terkait materi. Membahas pekerjaan, pastilah jenis pekerjaan yang memberikan kelimpahan materi. Tidak, tidak sama sekali. Filosofi Celengan ialah membuat orang merasa cukup dan bahagia dengan pilihannya.

Misalnya seperti tulisan sebelumnya saat membahas pekerjaan non PNS yang menjanjikan secara finansial. Ada sosok seperti Jon Jandai, pemegang ijazah hukum salah satu universitas di Bangkok, Thailand, yang memaknai kesuksesan dengan sederhana. Kembali ke desa, bertani organik, dan memuliakan benih yang merupakan sumber pangan.

Uang mungkin tidak melimpah, tetapi orang akan merasa cukup karena makanan terjamin, sisanya bisa dijual, serta mempunyai banyak waktu luang. Urusan tempat tinggal pun tidak perlu mengajukan KPR yang bakal menggerogoti penghasilan sepanjang hayat. Bagaimana generasi milenial menyikapi hal tersebut?

Kesuksesan mulai dibangun bukan saat kalian kuliah di suatu universitas, pilihan fakultasnya, lembaga yang akan meluluskan kalian kelak, dan ijazah di tangan. Tetapi, ketekunan dan aktivitas selama berada di ekosistem tersebut yang akan menentukan.

Beberapa waktu lalu, megaseleb Facebook asli Bantul, Iqbal Aji Daryono, menyatakan di satu forum, kemudian diunggah di “tembok ratapannya”,  soal ketidakmampuannya berbahasa Jepang. Pengakuan itu kok rasanya tidak ada yang aneh. Wajar dan bukan merupakan suatu dosa. Om juga sama sekali nggak bisa Bahasa Zimbabwe, namun tetap baik-baik saja.

Lagipula, bukankah secara persentase orang Indonesia yang mampu berbahasa Jepang secara aktif terbilang rendah? Sangat mungin kurang dari satu persen!

Hmm… tapi begini sahabat Celengan yang tengah boros karena masih tanggal muda. Masalahnya, salah satu kolomnis terproduktif di Indonesia tersebut kuliah dan mendapatkan ijazah Sastra Jepang. Rasanya janggal, tapi memang itu yang terjadi. Ia tidak malu untuk mengakuinya di depan sivitas akademika Sastra Jepang UGM, di muka adik-adik kelasnya, di hadapan dosen-dosennya yang bisa jadi merasa gagal mendidiknya. Hiks.

Orang mungkin akan mengatakan kebangeten. Bagaimana tidak, bertahun-tahun kuliah di jurusan tersebut, begitu lulus dan mendapatkan ijazah, tetap nggak bisa berbahasa Jepang. Fatalnya, saat berkesempatan mengunjungi Jepang pun, Iqbal harus memasang aplikasi penerjemah untuk percakapan keseharian.

Kiai AH Iyubenu, salah satu koleganya, begitu prihatin mendapati kenyataan itu. Beliau merasa perlu untuk mengetes kemampuan sang megaseleb tersebut. Jangan-jangan Iqbal hanya menyembunyikan kemampuan sebenarnya. Apa yang ia ungkapkan di forum tersebut semata untuk memotivasi para juniornya.

“Iqbaru San, sate klathak wo ogottekudasai,” kata Kiai Iyubenu dengan suara dibuat-buat berat menirukan logat di acara “Takashi Castle”. Beliau berusaha selancar mungkin mengatakan kalimat yang didapatnya dari temannya tersebut hanya untuk kepentingan ngetes.

Iqbal tentu saja kaget. Waduh, ini kiai kok seperti ngomong bahasa, hmmm ya… sepertinya Jepang. Sebagai penulis yang akrab dengan berbagai isu dan kemudian mengangkatnya melalui tulisan dan tentu saja berhonor istimewa, intuisinya menuntun pada satu kesimpulan bahwa Mas Kiai tersebut mengajaknya makan sate klathak.

“Sakukurata, Mamase.”

Kiai langsung paham bahwa Iqbal, selain minta ditraktir, ternyata menyembunyikan kemahirannya berbahasa. Ia ternyata menguasai Bahasa Jepang. Ya, tentu saja menguasai secara awur-awuran Bahasa Jepang yang digunakan pelawak lawas.

Ya, bahasa itu soal bakat dan kebiasaan. Sementara seleb kita tersebut kegairahannya lain. Ia lebih terampil melakukan banyak hal terkait sastra, lebih terbiasa menjadi “polisi bahasa” dan lebih menikmati berbahasa Indonesia dengan penuh gairah.

Pertanyaannya, sepenting apa pendidikan dan ijazah bagi karier dan kesuksesan seseorang? Lebih penting mana, gairah atau pendidikan?

Kita baru membicarakan Iqbal, lulusan Sastra Jepang yang sama sekali tidak menggunakan ijazah di tangannya.  Kita belum membicarakan Kiai AH Iyubenu, alumni UIN yang menjadi salah satu konglomerat buku. Ada lagi Puthut EA, alumni Filsafat yang menjadi Kepala Suku Mojok, sekaligus salah satu penulis buku paling produktif di negeri ini.

Sebenarnya itu satu fenomena lumrah. Seperti halnya tidak semua mahasiswa Fakultas Ekonomi memahami ilmu ekonomi dengan baik. Jangankan filsafat keilmuannnya, jika kalian secara mendadak menanyakan ke mereka bedanya prinsip ekonomi dan motif ekonomi pun bisa jadi akan kebalik-balik. Padahal itu hal yang mendasar.

Cara pandang kita selama ini memang kerap bermasalah. Utamanya saat membenturkan minat, pendidikan, dan passion atau gairah. Bagaimana bisa seorang alumni UIN menjadi konglomerat buku? Sementara template berpikir kita kaku pada dugaan-dugaan bahwa alumni UIN pantasnya jadi guru agama di madrasah, sedangkan pengusaha sudah menjadi domain alumni sekolah ekonomi.

Faktanya ternyata tidak begitu. Sering, gairah untuk menjadi pengusaha justru dimiliki oleh orang-orang yang bukan berlatar pendidikan ekonomi. Lha ke mana akhirnya para alumni Fakultas Ekonomi berlabuh? Paling banyak menjadi pegawai dari para pengusaha tersebut. Serius!

Wajar, secara umum, lulusan dengan ijazah Fakultas Ekonomi masih menggenggam paradigma membangun satu imperium bisnis harus dengan “kapaital wah”. Belum memikirkan risiko yang timbul saat kelak usahanya beroperasi. Perhitungannya cermat, matang dan njlimet. Tapi karena takut dengan bayangannya sendiri, akhirnya memutuskan bekerja dengan orang lain saja.

Kiai AH Iyubenu lain. Cukup dengan prinsip yang menyerupai guyonan Gus Dur, bahwa usaha itu cukup bermodal dengkul, itu pun bukan dengkul sendiri. Termasuk dengkul kalian, para pembaca buku-buku keluaran rumah penerbitannya, yang rela untuk pesan bahkan pegang sampulnya pun belum.

Tidak beda saat beranggapan bahwa pemimpin media semestinya orang yang berlatar belakang pendidikan jurnalistik. Puthut EA bukan lulusan fakultas komunikasi atau secara khusus punya ijazah dunia jurnalistik. Toh dia menjadi Kepala Suku Mojok. Satu media yang dalam kesehariannya setidaknya menerapkan kaidah jurnalisme.

Gamblangnya begini. Iqbal menjadi penulis andal bukan karena kuliah di Sastra Jepang. Ia menemukan habitat yang pas sesuai gairahnya. Ketemu dengan berbagai orang dari berbagai latar belakang di pers mahasiswa, mendapatkan lawan debat yang memperkaya tema tulisan-tulisannya yang dikenal ringan dan tanpa membuat pembacanya berkerut tidak paham.

Kalau kalian saat ini sedang dalam proses menyelesaikan S1 dan setelahnya mengincar gelar S2 demi beberapa alasan berikut: karier, menaikkan daya tawar, atau bahkan untuk koleksi gelar saja, ingat satu nama besar: Agus Mulyadi. Ijazah di tangannya hanya SMA ketika mengomandani media besar di Indonesia. Awak redaksinya bukan main-main, lulusan universitas bergengsi di negeri ini.

Umumnya, perusahaan membedakan antara job description dan personal description. Untuk Mojok, berlaku personal description. Walaupun hanya punya ijazah SMA, dengan kemampuan yang melekat di dirinya, Agus dapat diandalkan menjadi pemimpin redaksi. Sementara deskripsi pekerjaan atau bisa disebut deskripsi posisi, lain sama sekali. Sehebat apapun Agus Mulyadi eyel-eyelan dan ngotot, ia tidak dapat menjalankan tugas sebagai lawyer Mojok.

Krisis moneter yang melanda Indonesia puluhan tahun silam merupakan satu periode gelap. Supply tenaga kerja begitu berlebih karena pertumbuhan ekonomi yang negatif tidak dapat menyerap tenaga kerja bahkan dari universitas dengan klasifikasi A. Siapa yang selamat saat itu? Orang yang hokinya tinggi dan yang mempunyai skill, bukan yang mengantongi ijazah.

Peristiwa itu memaksa banyak orang untuk menyiasatinya dengan sekolah lagi. Pertama, untuk menaikkan kompetensi. Kedua, untuk memperpanjang usia. Di Indonesia, sarjana berusia lebih dari 27 tahun dengan pengalaman nol tidak dihargai perusahaan besar. Walaupun kalau bekerja akan menjadi aset penting perusahaan tersebut? Ya betul. Itu kebijakan screening awal yang umumnya banyak menghancurkan mental sarjana kita.

Baik. Jadi, seberapa penting ijazah untuk dapat sukses secara finansial?

Sama sekali tidak penting. Ilmu jelas posisinya di atas uang. Beberapa profesi seperti pengajar dan peneliti memang memerlukan pendidikan pascasarjana. Tetapi di swasta, kalian dihargai sesuai deskripsi pekerjaan. Jangan dikira tidak ada pegawai administrasi dengan pendidikan S2. Apa kemudian gajinya lebih baik? Tidak.

“Ekosistem” merupakan kata kunci yang pas. Kalau minatnya membangun perusahaan, misalnya perusahaan start up, maka sekolah di ITB dan Bina Nusantara merupakan pilihan tepat. Sejarah sudah membuktikan kedua sekolah ternama tersebut mencatatkan diri sebagai penghasil alumni terbanyak di bidang itu.

Idealnya, ilmu melalui sekolah harusnya menjadi kebutuhan, bukan sekadar untuk menyiasati aturan atau bahkan untuk mengharap tambahan imbalan materi. Terpenting sebenarnya bagaimana kita mempelajari cerita sukses orang-orang di atas. Kalau perlu menguntit orang semacam Iqbal, lulusan Sastra Jepang yang sukses menjadi penulis besar tanpa mengandalkan ijazahnya sama sekali.

Jangan-jangan, sukses yang diraihnya karena sering makan tongseng kambing. Itu pun ditraktir!

Exit mobile version