MOJOK.CO – Sebuah polemik kebahasaan muncul saat berbicara soal surat kepemilikan tanah: sertifikat atau sertipikat neeeh??? Dasar hukumnya ada nga???
Ketika peristiwa kunjungan Presiden Jokowi yang sekaligus menjadi agenda bagi-bagi sertifikat tanah, sejumlah netizen bertanya di media sosial, mengapa pada banner acara pembagian sertifikat yang dipotret wartawan itu tampak bahwa kata yang digunakan adalah sertipikat? “Apakah ini typo?” batin para netizen yang memang khitahnya mencari-cari kesalahan.
Sebelum berpikiran (iya, kata pikir pakai p, bukan f) bahwa si pembuat sertifikat tanah tadi adalah keturunan Sunda yang konon mengalami kesulitan melafalkan huruf “f”, bolehlah kita menguak dulu arti kata sertifikat dan sertipikat yang dimaksud.
Jadi, mana yang benar, sertifikat atau sertipikat? Dalam KBBI, sertifikat berarti tanda atau surat keterangan (pernyataan) tertulis atau tercetak dari orang yang berwenang yang dapat digunakan sebagai bukti pemilikan atau suatu kejadian.
Sementara itu, kalau mencari kata sertipikat di KBBI, kamu tidak akan menemukan apa-apa. Kosong. Hampa. Clueless.
Terus mana yang benar? Sertifikat atau sertipikat? Mari tengok ke sejarah.
Lalu, gimana sejarah pemakaian kata sertipikat ini? Apakah sesimpel masalah ejaan lama yang tidak bisa diganti? Kenapa Badan Pertanahan Nasional lebih memilih huruf p daripada f? Apakah karena huruf p adalah huruf ke-16, sedangkan huruf f adalah huruf ke-6? Lah, terus apa urusannya sama urutan huruf sih?
Yha nga tau, saya cuma nulis sertifikat atau sertipikat aja biar rada panjangan dikit.
Ketika UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (populer dengan nama UUPA) itu keluar, dimulailah sebuah era baru kepemilikan tanah di Indonesia. UU ini bertujuan untuk mengatur pemilikan dan pengelolaan aspek-aspek agraria di wilayah Indonesia, yang mana yang disebut agraria itu meliputi bumi, air, dan ruang angkasa.
Intinya, sebenarnya yang dinamakan wilayah Indonesia itu melebar dan meninggi. Mencakup dataran bumi, lalu dari bumi ke bawah, dan dari bumi ke angkasa. Wah, kalau gini harusnya yang bisa diukur bukan cuma luas Indonesia, tapi juga volume Indonesia. Hmmm.
Balik ke soal sertifikat atau sertipikat. Nah, UU ini mengatur, misalnya, bahwa negara itu tidak memiliki aspek-aspek agraria tadi, melainkan menguasai. Hak ini disebut hak menguasai dari negara. Yang dikuasai negara hanyalah sumber daya-sumber daya yang belum dimiliki oleh rakyat perorangan maupun komunal atau memang tidak boleh dikelola selain oleh negara. (Jadi, jika ada tanah yang dipasangi plang “Tanah Milik Negara”, sebenarnya ada kesalahan logika hukum di sana.)
Selain itu, UUPA yang sedang direvisi oleh DPR ini juga mengatur soal macam-macam hak atas aspek-aspek agraria, yang meliputi hak milik, hak guna usaha, hak bangunan, hak sewa, hak pakai, sampai ke hak guna ruang angkasa.
Tapi eh tapi, mengenai cara membuktikan hak-hak tersebut belum disinggung oleh UUPA. Dia cuma memuat bahwa pembuktian hak yang kuat berwujud “surat-surat tanda bukti hak”. Belum ada penentuan sertifikat atau sertipikat disebut-sebut di sana. Ya wajar si, namanya juga UU tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang dibahas yang dasar-dasar aja~
Kemudian, untuk pelaksanaannya di lapangan, diterbitkanlah yang namanya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Di aturan yang mengatur teknis soal pendaftaran tanah inilah untuk kali pertama kata sertipikat disebut. Tepatnya di Pasal 12 ayat 3 dengan redaksi, “Salinan buku-tanah dan surat-ukur setelah dijahit menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas-sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria, disebut sertipikat dan diberikan kepada yang berhak.”
Ketika PP 10/1961 tadi diganti dengan PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, kata sertipikat masih dipertahankan.
Jadi, clear ya soal sertifikat atau sertipikat. Mungkin di masa itu kata Belanda certificaat emang diserapnya menjadi sertipikat. Ketika di kemudian hari KBBI dengan rezim kata baku-nonbakunya “menyempurnakan” sertipikat menjadi sertifikat, kata sertipikat udah kadung dipakai puluhan tahun dan menjadi judul sampul buku bukti tanah jutaan penduduk Indonesia. Mau ujug-ujug ganti kan bakal jadi PR banget.
Kasus yang mirip-mirip pernah terjadi pada kata provinsi yang pada suatu masa lebih lumrah disebut propinsi. Tapi, karena nggak berkaitan sama tanah jutaan hektare, transisi dari propinsi ke provinsi jadi lebih mudah. Eh ini nebak aja ding~
Ngomong-ngomong, di tahun 2012 Tere Liye pernah lho mengusulkan agar huruf f dihapus dan diganti dengan huruf p.
Di lain sisi, ada juga orang yang jauh lebih menyenangi huruf f dibandingkan huruf p, misalnya dengan menyebut Pizza Hut sebagai Fitsa Hats….