MOJOK.CO – Apa??? Ini udah tahun 2019 dan kamu belum tahu filosofi terdalam dari kalimat “Hompimpa alaium gambreng”??? Duh, please, deh~
Konon, adat dan budaya Indonesia yang kita kenal sebagai sesuatu yang “melimpah” meliputi pula hal yang tak asing di kehidupan kita: permainan tradisional. Dari Sunda saja, tercatat ada sekitar 250 permainan tradisional, sementara Jawa menyumbang kurang lebih 200-an, diikuti dengan 300-an permainan lain yang datang dari berbagai daerah di Indonesia.
Uniknya, ratusan permainan ini punya satu kesamaan: mereka dimulai dengan sebuah kebiasaan “ajaib” untuk menentukan sesuatu, baik peran maupun posisi. Kebiasaan ini, tak lain dan tak bukan, adalah…
…hompimpa alaium gambreng!!!1!!1!!!!
Ya, ya, ya, benar: sekelompok anak yang akan bermain umumnya akan melingkar dahulu, lalu menggoyangkan telapak tangannya sembari berujar, “Hompimpa alaium gambreng,” sebelum akhirnya mengeluarkan posisi telapak tangan terbuka atau tertutup.
Aktivitas ini bisa dilakukan jika ada minimal 3 orang peserta, sebelum akhirnya dilakukan suten (suit) jika peserta yang dimaksud hanya/tinggal ada 2 orang.
Yang menjadi pertanyaan, kenapa sih harus hompimpa? Kenapa mereka nggak lomba nyanyi dulu aja untuk menentukan siapa yang bakal berjaga dan siapa yang berhak bersembunyi (misalnya mereka sedang main petak umpet)? Atau, kenapa mereka nggak sekalian main tebak-tebakan saja, yang lebih mudah dilakukan dan bikin ketawa—bukannya bikin deg-degan takut kalah, seperti dampak yang dimunculkan dari hompimpa alaium gambreng?
Saya sih nggak tahu jawabannya (hehe), tapi saya—dari beberapa sumber—tahu apa filosofi terdalam dari hompimpa alaium gambreng yang menarik untuk dikupas.
Aktivitas tradisional untuk mengawali sebuah permainan ini berasal dari bahasa Sansekerta dan konon kalimatnya berwujud asli sebagai berikut:
“Hongpimpa alaihong gambreng.”
Tapi, yaaah, dasar lidah Indonesia—kalimat ini lantas lebih sering diucapkan “Hompimpa alaium gambreng”, tentu dengan makna yang sebenarnya sama dan tak disadari-disadari amat oleh sebagian besar dari kita (hah, kita???).
Ada dua bagian yang terdapat dalam kalimat ini: hompimpa alaium dan gambreng.
Dalam bahasa Sansekerta, hompimpa alaium diyakini berarti “dari Tuhan kembali ke Tuhan”, sedangkan gambreng adalah sebuah kata kejutan untuk menyadarkan semua orang yang mendengarnya. Kata gambreng, dalam konteks budaya, akhirnya dimaknai sebagai ekspresi: “Ayo main bareng!”
Wow, menarik, bukan—betapa hompimpa yang biasa kita lakukan ternyata memiliki makna yang dalam???
Konon katanya, filosofi yang ingin disampaikan melalui makna tadi adalah…
*JENG JENG JENG*
Pertama, sebagai simbol kehidupan. “Dari Tuhan kembali ke Tuhan” mungkin bakal mengingatkanmu pada kalimat “Inalillahi wa inailaihi rojiun”, bukan? Nah, artinya, ya gitu juga, Gaes~
Apa pun yang kita dapatkan dalam hidup adalah apa yang Tuhan berikan pada kita. Apa yang menjadi milik kita adalah kepunyaan Tuhan. Jadi, sebaiknya kita memanfaatkannya dengan baik sebelum semua kembali pada-Nya.
Secara sederhana, kalau kamu udah menang hompimpa sebelum main gobag sodor, ya waktu mulai main gobag sodor-nya kamu juga maksimal sekalian, lah, biar menangnya lebih puas!!!!11!!!!!1!!
Kedua, sebagai bentuk kesadaran pilihan hidup.
Pernah lihat orang ngamuk-ngamuk gara-gara kalah hompimpa nggak? Saya, sih, nggak pernah—paling mentok cuma kecewa dan hampir nangis. Tapi, pada dasarnya, itulah keajaiban hompimpa alaium gambreng: ia bisa membuat kita-kita yang menang maupun kalah tetap senyum dan legowo.
Kenapa?
Soalnya, saat kita lagi gambreng tadi, diri kita masing-masing menyadari 100% bahwa mengeluarkan hitam maupun putih dalam hompimpa adalah pilihan kita sendiri.
Yah, kalau dianalogikan dalam hidup, sih, menjadi hitam atau putih adalah langkah nyata yang kita ambil secara sadar, misalnya: menolong atau tidak menolong nenek-nenek nyebrang jalan, menyontek atau tidak menyontek waktu ulangan Fisika, berbohong atau tidak berbohong waktu ditelepon orang tua dan ditanya lagi di mana, hingga mengkhianati atau tidak mengkhianati kepercayaan seseorang….