Kata Kotor dalam Bahasa Daerah: Berbeda Kosakata, Artinya Sama Jua

anjing mojok.co

Ilustrasi anjing. (Mojok.co)

MOJOK.CO Coba koleksi kata kotor dalam berbagai bahasa yang kamu tahu. Rata-rata sih merujuk pada hal-hal yang sama. Kalau nggak hewan, ya organ tubuh.

Saya pernah berkuliah di Bandung Coret alias Jatinangor dengan dikelilingi orang-orang yang berbahasa Sunda dan bertutur lemah lembut. Saya yang putri asli Cilacap jadi (sedikit) populer dengan nickname “Inyong” serta bahasa Ngapak yang eksotis.

Perbedaan bahasa ini sempat menjadi “jurang pemisah”. Saya, yang waktu itu lagi kasmaran tapi LDR, dengan semangatnya bercerita ke teman yang asli Sukabumi, “Eh, urang abis ditelepon Mamas, loh!” Tentu saja mamas yang saya maksud adalah lelaki yang kala itu menjadi kekasih saya. Tiba-tiba, si cewek Sukabumi ini kelihatan panik, “Ih naon sih Lia ngomong mamas!”

Usut punya usut, kata yang saya ucapkan tadi bermakna sangat berbeda di tanah Sunda, yaitu… alat kelamin pria. Meski mengejutkan, saat itu saya sedikit merasa bangga karena mendapat satu kosakata baru. Tak ayal, tingkat “Sunda banget” yang saya rasakan naik 0,135%.

Namun, ada juga seorang teman saya yang tetap penasaran dengan bahasa Ngapak. Maka, ia menghampiri saya di sela-sela praktikum Farmakologi lalu berbisik, “Li, ajarin urang bahasa Jawa, dong.”

Baru sedetik saya menggangguk, teman saya ini langsung kegirangan dan berkata, “Sekarang aja, Li. Asu!”

Saya kaget, mengira bahwa teman saya ini misuh-misuh mendadak. “Heh, ngomong apa maneh?!!”

“Lah, kenapa? Asu itu kan bahasa Jawa?” Doski kaget.

Ya bener, sih, tapi kan urang kaget…. Asu, emang!

Bukan hanya teman saya dan saya sendiri, perilaku semacam ini sebenarnya dilakukan oleh banyak orang lainnya. Dalam memahami sebuah bahasa baru, beberapa orang percaya bahwa langkah utama dan terpenting adalah mengetahui kata umpatan dalam bahasa tersebut. Pun dalam penggunaan bahasa, kata-kata yang digolongkan dalam ungkapan makian kini sering pula dipakai sebagai kata yang menunjukkan derajat kedekatan dengan teman.

Contohnya? Teman saya menyimpan kontak sahabatnya dengan nama yang epic: “Mb*t Kek T*i”.

*terdengar suara teriakan terkejut seseorang di sini*

Sedikit banyak, saya suka diam-diam mengamati betapa bervariasinya kata-kata umpatan dan makian ini, lalu bertanya-tanya sendiri: kenapa harus ngomong anjing? Kenapa harus sontoloyo? Kenapa anu dan ini? Hmm~

Dikutip dari Ajip Rosidi, setidaknya ada enam kelompok kata yang sering kali menjadi kata-kata umpatan. Mereka adalah

  1. kata-kata yang berhubungan dengan agama,
  2. kata-kata yang berhubungan dengan kelamin,
  3. kata-kata yang berhubungan dengan nama bagian tubuh,
  4. kata-kata yang berhubungan dengan fungsi bagian tubuh,
  5. kata-kata yang bermakna kurang lebih sama dengan kata bodoh,
  6. dan kata-kata yang berupa nama-nama binatang.

Dalam klasifikasi tersebut, kata asu yang diucapkan dengan antusias oleh teman saya jelas masuk dalam golongan nomor 6. Sama dengan kata asu tadi, kata-kata yang masuk jenis tersebut adalah: ibo (kera) dan paneki (kelelawar) dari bahasa Kaili; bagudung (tikus) dalam bahasa Batak; cicing (anjing) dari bahasa Bali; kampret (kelelawar), serta masih banyak kata dari bahasa daerah lainnya yang pasti you-you semua lebih paham (FYI, Indonesia punya lebih dari 700 bahasa daerah!).

Bagaimana dengan golongan yang lain?

Hmmm, marilah kita “menjelajahi” Indonesia dengan untaian kata-kata makian yang, menurut Leigh dan Lepine dalam buku Advanced Swearing Handbook, adalah bagian dari kehidupan manusia, yang bahkan telah seumur dengan bahasa manusia~

Tak hanya nama binatang, jenis makian yang paling umum dipakai adalah padanan kata bodoh dari berbagai macam daerah. Sebagai contoh adalah kata bungul (Banjar), lengob (Banyumasan), oto (Batak), hingga beleng (Bugis).

Selain mam*s yang tidak sengaja saya ucapkan di atas—eh tunggu sebentar, kenapa saya refleks menyensor kata tersebut setelah mengetahui artinya?—munculnya kata makian, meski lazim dipakai di kehidupan sehari-hari, ternyata tetap bersifat tabu bagi sebagian orang. Salah satu alasan munculnya ketabuan ini adalah ketidakpantasan atau ketidaksantunan. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan kata yang berkaitan dengan bagian-bagian tubuh, fungsinya, dan beberapa kata makian lain.

Jadi—balik lagi—selain kata mam*s, beberapa daerah di Indonesia menggunakan pola yang sama dalam susunan kata makian, semacam m*m*k (Jawa), h*nc*ut (Sunda), t*l*ng (Sulawesi), nd*s k*l*ng (Bali), t*i las* (Makassar), dan lain sebagainya.

Mengikuti daftar ini, muncul pula kata-kata seperti s*ndal* (Makassar), k*mp*ng, k*c*k (Palembang), hingga j*nc*k dan d*mp*t (Jawa).

Gimana? Udah mumet lihat banyak tanda bintang gara-gara kebanyakan sensor?

Nggak papa, teman-teman, nggak papa. Seenggaknya, sekarang kalau ada yang gombalin kita dan bilang, “Matamu bersinar bagaikan bintang,” kita udah tahu maksud dia apa.

Tersenyumlah, lalu dekati telinganya untuk berbisik, Jancok.”

Eh, sorry, lupa nyensor. Hehe~

Exit mobile version