MOJOK.CO – Email resmi di Indonesia dari Jakarta sering dibuka dengan “dear” dan ditutup dengan “regards”. Di antara “dear” dan “regards”, isi emailnya utuh dalam bahasa Indonesia. Buset dah.
Email telah dipadankan dengan kata Indonesia surat elektronik yang disingkat surel, tapi sepertinya dalam kepala banyak orang, surel bukan sekadar “surat” eletronik. Dan ya… sebagaimana sebagian besar penyakit keminggris berasal, adalah orang Jakarta sang juara dalam hal menulis surat yang tidak lumrah.
Bisa dibilang 99 persen surel yang pernah saya terima dari saudara setanah air saya di Jakarta selalu didahului dengan “dear” dan ditutup dengan salam “regards”. Jika isi surelnya memang berbahasa Inggris, siapalah yang hendak protes. Tapi toh suratnya dalam Indonesia, kadang dalam bahasa Indonesia nonformal pula. Terlepas dari siapa yang memulai kebiasaan ini, email keminggris dari orang ber-skor TOEFL 500 kepada orang ber-skor TOEFL 412 jelas kadar nirfaedahnya bikin ketawa.
Maksud saya, toh tak ada juga protokol penulisan bahwa jika tak pakai dear dan regards, si surel akan dibalas Mailer Daemon. Jadi saya duga-duga saja, bahwa dalam kehidupan orang Indonesia, ada sebuah beban bayangan tentang protokol “email yang semestinya”.
Inilah yang saya renungkan semalam, di malam Minggu ketiga belas yang suasananya sudah meleset jauh dari lagu lama Jamal Mirdad, “Malam minggu malam yang panjang. Malam yang asyik buat pacaran.” Sementara email adalah surat, maka surat pun adalah email. Maaf, maksud saya, surat itu ya seperti kita ngomong biasa. Email kita adalah cerminan diri kita. Apabila biasanya kita menyapa kenalan atau klien dengan “Assalamualaikum” atau “Halo”, apa salahnya memakai format serupa di pembuka dan penutup email.
Bahkan, saya pikir, format surel itu bisa sesimpel pakem surat yang kita pelajari di sekolah. Dibuka dengan “Yth.” sudah cukup. Atau kalau mau coba format lainnya, bisa memakai….
Mbak Kalis yang saya hormati,
Halo, Uda Ivan.
Pak Puthut yang baik,
Apa kabar, Pikachu? Pika pika?
Kemudian ditutup dengan….
Terima kasih,
Prima
Salam hangat,
Prima
Jabat erat,
Prima
Satu like, dua retweet
Sudah dulu ya, saya pamit.
Prima
Atau apalah. Maksud saya, natural aja bisa kan?
***
Tapi sisi menjengkelkan surel bukan cuma di bagian pembuka dan penutup yang serba-Inggris. Detail-detail lainnya ada pula yang kerap menguji kesabaran.
Surel dengan subjek atau judul yang tidak lugas, misalnya, kadang bikin saya bertanya-tanya, si pengirim cukup berniat surelnya dibaca tidak sih? Mungkin saya masih bisa kompromi jika surel itu masuk ke alamat email pribadi. Tapi model beginian juga kerap mampir di surel kerja.
Mungkin kasus ini memang spesifik hanya menyebalkan ketika si penerima surel menerima ratusan surat tiap harinya, seperti yang terjadi di alamat redaksi@mojok.co. Masih ada saja yang mengirim surel dengan subjek “Kirim Tulisan”. Ya memangnya mau kirim apa lagi selain tulisan? Kirim misionaris?
Sebagai salah satu kurator surel Mojok, saya akan sangat senang jika pengirim menjuduli surelnya dengan keterangan, misalnya, “[Nama rubrik] – [Judul tulisan]”.
Di lain waktu, ada surel yang dikirim oleh orang yang papan ketiknya rusak. Kalau nggak semua teks dibikin kecil, ya malah besar semua. Dalam hati saya bilang, “Sori ya, di sini ada polisi bahasa, email-mu aku lewati.” Sementara di kesempatan berbeda, ada yang menaruh isi surel di judul, lalu badan surel malah… kosong.
Itu belum termasuk surel yang tak ada nama pengirimnya.
Tapi eh tapi, kejadian paling konyol nomor tiga di dunia persurelan tentulah kasus pengirim surel berisi tulisan untuk dimuat di Mojok, yang mana si tulisan berbentuk fail Word (yang seharusnya) terlampir, tetapi pengirimnya lupa dan keburu mengeklik “Kirim”.
Dalam kasus demikian, berselang 5-10 detik kemudian pasti dia akan mengirim surel susulan yang berisi permohonan maaf, “Maaf, tadi lampirannya ketinggalan.”
Peringkat kedua ditempati oleh para pengirim email yang tidak teliti saat mengirim surat template. Untuk hal satu ini, mahasiswa adalah pelaku setianya. Contohnya begini:
Yth. Redaksi Mojok.co
di tempat
Dengan email ini saya bermaksud mengirimkan naskah berjudul “ABCDEFGH” untuk dimuat di rubrik Esai. Besar harapan saya tulisan tersebut bisa dimuat di Basabasi.co.
Astaga….
Dan jika Anda mengira praktik demikian sudah sangat fatal, ternyata ada yang lebih mengerikan. Yakni orang yang mengirim email, bisa lowongan kerja, naskah untuk dimuat, atau proposal sponsorship, yang langsung ditujukan ke banyak sekali email.
Khusus untuk pelaku praktik terakhir ini, saya hendak usul: daripada kirim surel, mendingan pesannya dicetak di kertas terus ditempel di tiang listrik dan lampu merah.
Konkret.
BACA JUGA Musabab Kita Kerap Gagal Menggunakan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar dan esai Prima Sulistya lainnya di VERSUS.