MOJOK.CO – Menurut ahli, kebiasaan typo adalah tanda penulis cerdas. Wah, jadi bisa nyusun daftar kepribadian orang berdasarkan kebiasaan typonya nih.
Mula-mula harus dibedakan dua jenis typo/salah tik/salah eja, yakni yang disengaja dan tidak disengaja.
Typo/salah eja seperti was-was, jahil, fikir, telpon, silahkan, disini, apotik, aktifitas, negoisasi, telpon/telfon, dan praktek belum tentu tanda penulisnya selip. Lebih dominan kemungkinan ia memang tidak tahu ejaan bakunya atau sengaja menolak ejaan baku karena memilih mengikuti kebiasaan lama. Misalnya, ada orang yang memang sengaja memakai perduli daripada peduli sebab dulu yang benar memang perduli.
Kalau orang memang menolak rezim kata baku kamus, saya sendiri sebagai editor akan menghormatinya. Saya pernah menulis masalah kata baku itu di sini.
Hal kedua adalah perkara typo dan salah eja yang tidak disengaja. Inilah yang perlu diperbaiki jika si penulis peduli untuk berubah. Saya akan berfokus ke jenis kesalahan kedua ini.
Mengapa orang sering typo atau salah tik?
#1 Penjelasan ahli soal kerja otak
Psikolog Tom Stafford dari Universitas Sheffield, Inggris Raya dikutip Wired mengatakan typo bukanlah sinyal bahwa seseorang bodoh atau abai. Typo justru tanda kita makhluk yang cerdas. Ketika penulis mengetik, ia berkonsentrasi untuk menyampaikan makna–yang menurut Stafford adalah “high level task”. Ketika seorang penulis sangat fokus dengan gagasan yang ia tulis, fokusnya tak terpecah untuk mengurusi ia salah tik atau tidak.
Itu juga alasan kenapa penulis sering tak ngeh dia typo, namun pembaca sadar.
Sebab, penulis berfokus pada makna, dan makna itu ada di benaknya (makna → kata). Sedangkan pembaca meneliti kata satu per satu untuk meraih makna (kata → makna); mereka jadi lebih teliti.
#2 Tidak terbiasa menulis
Ini amatan saya sendiri. Jika orang jarang menulis, kemungkinan ia salah tik semakin besar. Saya pernah melihat orang yang sangat jarang melakukan tugas menulis, menjadi sangat grogi saat disuruh menuliskan, bahkan, namanya sendiri. Pada kasus seperti ini, mereka bukan cuma typo, melainkan bisa sampai lupa menulis kata. Jadi dalam satu rentetan kalimat, ada kata yang hilang karena lupa dituliskan.
Menulis chat atau teks di media sosial memberi pengalaman berbeda dibanding menulis satu artikel panjang. Jadi, walau sekarang orang sangat terbiasa menulis, tapi keahlian menulis tak otomatis diakuisisi semua orang.
#3 Kultur media sosial
Letak seni twit-twit Willy The Kid justru ada pada typo (atau singkatan)-nya. Membaca “halah mb” jelas beda sensasinya dengan “Halah, Mbak”.
Saya pikir, kalau orang yang biasa membaca dan menulis di media sosial tiba-tiba menulis artikel, lebih besar kemungkinan ia melakukan dan memaklumi typo.
#4 Biasa menulis, tapi kesehariannya tidak menuntut akurasi ketikan
Kasir setiap hari menulis. Notulen juga. Petugas-petugas administrasi pun demikian. Tetapi wabah typo tetap bisa menjangkiti mereka karena mereka tak pernah dikritik untuk memperbaiki akurasi ketikan/tulisan.
#5 Kata yang diketikkan memang sulit
Saya sering menemukan salah tik berupa ekslusif, asutralia, Negara, dan kata yang punya dua huruf sama berurutan semacam menggangu.
Kata negara memang kerap dikapitalisasi secara sepihak oleh Microsoft Word, jadi ini tak bisa disalahkan kepada penulisnya. Sedangkan kata eksklusif dan Australia memang mengandung kombinasi huruf yang bikin jari kita keserimpet (yakni, lebih dari dua konsonan berurutan).
#6 Saat mengetik melulu melihat keyboard
Akibatnya ia tak tahu bahwa barusan ia typo saat mengetikkan kontrol dan tiket.
Kepribadian dinilai dari kebiasaan typo
Penilaian ini dikhususkan kepada orang yang pekerjaannya menuntut akurasi, salah satunya penulis.
Typo sudah sering jadi issue, tapi tidak semua penulis serta-merta mau memperbaikinya. Mereka sudah diberi tahu bahwa ada typo ini-itu di tulisan-tulisan sebelumnya, tapi selalu saja diulang. Sebagai editor, saya akan menyobek sticky note imajiner, menuliskan “penulis bebal” di atasnya, lalu menempel itu di jidat si penulis. Memahami instruksi memang bukan keahlian penulis jenis ini.
Penulis bebal kadang penulis yang pelupa, tapi di lain hari ia bisa jadi penulis pembohong. Ia tahu tulisannya akan dibaca banyak orang, ia percaya menulis adalah kerja keabadian (kepercayaan yang layak di-pret-kan), ia tahu apa yang sudah dipublikasi tak bisa ditarik kembali.
Tapi semua kepercayaan itu tak membuat ia mau menepuk keras pantatnya untuk tidak malas mengecek ulang naskah ketikannya yang sudah selesai. Bisa jadi ia berpikir, Ah, nanti kan ada editor yang mengecek. Ini jenis penulis yang tidak malu memamerkan kesalahan sepele kepada orang lain. Kadang ia sesederhana berpikir, Aku ingin kerjaanku segera selesai.
Sebagai editor, saya akan menempelkan sticky notes “penulis maunya instan dan tidak reflektif” di jidatnya. Saya juga masih punya koleksi sticky notes lain bertuliskan “penulis kesusu”, penulis “muluk-muluk”, “penulis yang selalu berkembang”, serta “penulis teliti”.
Kalau ada orang beralasan ia typo karena “otak bekerja lebih cepat dari tangan”, saya kira dia termasuk belaka ke golongan penulis pemalas. Seandainya saja mereka mau seteliti saat mereka menuliskan nama panjang mereka sendiri. (Saya hampir tidak pernah menemukan orang typo saat menuliskan nama mereka.)
Tambahan kecil: Ada sejumlah penulis yang tulisannya bertabur typo, diedit, lalu tayang, kemudian ia menulis lagi dan masih saja mengulang cara menulis orang – orang, apapun, karna, telfon, dan disana. Pertanyaan saya: Dia baca tulisannya yang sudah tayang nggak sih?
Peringatan: Editor bebal dan pemalas juga ada. Cirinya kurang lebih seperti di atas.
Cara mengatasi kebiasaan typo
#1 Mengetik di Google Docs atau bodi email
Nantinya kata yang salah tik akan ditandai bergaris bawah merah oleh si program. Ini lumayan membantu untuk proses finishing artikel. Namun, karena kamus bahasa Indonesia Google rada aneh, kita tak bisa berserah sepenuhnya pada hasil koreksi-garis-bawah-merah ini.
#2 Teknik manual
Semakin kita sadar tiap satu kata yang kita ketikkan bisa mengundang risiko, kita tak pernah akan merasa rugi dan capek untuk membacanya ulang.
Membaca ulang bisa dilakukan dengan membaca kata per kata (jadi bukan membaca kalimat per kalimat apalagi gagasan per gagasan).
Cara lainnya, dengan membaca mundur. Jadi Anda mulai membaca dari kata terakhir dalam tulisan tersebut dan terus mundur sampai ke awal.
Sebaiknya membaca ulang ini tidak langsung dilakukan setelah persis selesai menulis. Melainkan, ambil jeda dulu, katakanlah 30 menit, kemudian periksa kembali. Konon jeda membuat mata kita lebih segar dan teliti.
#3 Mengenali kata yang sering membuat kita typo
Jika kelemahan Anda adalah kata semacam eksklusif, berlatihlah mengetikkan kata itu berulang-ulang. Misal, hingga 10 halaman Word.
#4 Meminta bantuan orang lain untuk mengecek
Orang lain ini akan menjadi pembaca pertama yang bisa membantu kita menemukan kesalahan. Seperti yang Anda lakukan sekarang, berusaha mencari typo yang saya buat di tulisan ini.
BACA JUGA Pak Jokowi, Kalau Jenengan Sedang Pakai Kata ‘Saya Ingin’, Itu Maksudnya Gimana tho? dan esai Prima Sulistya lainnya di VERSUS.