MOJOK.CO – Arti kata ceunah kembali jadi sorotan. Maknanya mengundang rasa penasaran karena ada orang yang nge-tweet foto makanan dan diberi caption: “Ceunah, anyone?”
Pertama kali merantau ke Bandung, saya yang terbiasa bicara bahasa Ngapak ini harus beradaptasi dengan lingkungan yang mendadak Sunda. Kalau biasanya saya mendengar orang bicara dengan nada yang ndelak-ndelak (apa, ya, bahasa Indonesianya?), kali ini saya “tenggelam” di lingkungan yang bernada halus dan lemah lembut.
Bahasa Sunda punya beberapa karakter yang menarik rasa penasaran saya kala itu. “Mbak-Mas” di sana berganti dengan “Teteh-Akang”, lengkap dengan sisipan semacam mah, da, dan atuh. Namun, ada satu lagi hal yang membuat saya bertanya-tanya: kata ceunah.
Ada seorang kawan yang menggunakan kata ceunah hampir di setiap akhir kalimat. Literally setiap kalimat. Jadi, misalkan kami sedang berkumpul, dia akan bercerita kurang lebih begini:
“Tadi itu aku dibilangin, kelas Pak Angga mundur ke sore, ceunah. Terus Dian ngajak balik naik angkot, ceunah. Eh, pas di jalan, dia di-SMS sama Arya, ceunah. Kita disuruh balik soalnya ada praktikum siang ini, ceunah.”
Saya sampai mengernyitkan dahi dan bertanya-tanya: kenapa saya nggak bisa melupakan dia yang saya cintai apa, sih, arti kata ceunah??? Kenapa teman saya memakai kata itu terus-terusan???
Saya sempat bertanya kepadanya perihal kata ini. Namun, jawaban yang pasti tak saya dapatkan. Malah, ia berkata, “Aduh, apa, ya? Bingung jelasinnya, tapi ya kebiasaan aja gitu pakai ceunah di akhir.”
Saya cuma manggut-manggut mendengar penjelasannya. Saya belum sempat mengidentifikasi arti kata ceunah yang sesungguhnya karena saya keburu pindah ke Jogja dan kembali menggunakan bahasa Jawa.
Belakangan, kata ceunah kembali ramai di lini masa. Usut punya usut, ramai-ramai kata ini telah dimulai sejak bertahun-tahun lalu dan menimbulkan huru-hara karena penggunaannya tidak dianggap tepat. Lah gimana, coba: ada orang nge-tweet foto makanan dan diberi caption “Ceunah, anyone?”
Ada juga yang mengunggah foto idolanya dari sebuah girlband, lalu menulis: “Yuri ceunah idolaku.”
Atau sekadar orang menyapa followers-nya dengan kalimat sederhana: “Hai, ceunah!”
Masyarakat Sunda di media sosial jadi gemas, walaupun ada juga yang cuek. Teman-teman saya tidak mengomentari fenomena ini, tapi tak sedikit yang geleng-geleng kepala (kayaknya, ya, soalnya dari medsos kan nggak kelihatan) atas kesalahan ini. Bagaimana bisa kata ceunah jadi overused begini??? Apa mereka pikir ceunah itu ibarat kaum pesakitan cinta yang habis manis, sepah dibuang, alias bisa dipakai kapan saja dan di mana saja??? Sebenernya mereka ngerti nggak, sih, arti kata ceunah???
Ceunah, atau cenah, adalah kata dalam bahasa Sunda yang unik. Kalau biasanya dalam bahasa Sunda hampir tak ada pemakluman soal perbedaan pengucapan kata, kata ini jelas menarik karena bisa jadi ceunah maupun cenah.
Ia termasuk ragam bahasa akrab, atau disebut basa loma. Di atas tingkatan ini adalah basa lemes, yaitu bahasa halus. Dalam basa lemes, ceunah disebut saurna. Sekilas, tingkatan bahasa ini kurang lebih mengingatkan kita pada tingkatan dalam bahasa Jawa, mulai dari ngoko sampai krama inggil.
Arti kata ceunah sendiri adalah ‘katanya’ atau ‘kata orang’. Menurut Kamus Basa Sunda LTIS, ceunah (atau cenah) berarti ‘katanya, terangnya’, sedangkan cenahna bermakna ‘ujarnya’.
Namun, seperti yang saya ilustrasikan di atas, beberapa orang memang tampak sangat mencintai kata ini sehingga kerap menggunakannya berkali-kali saat bicara, yang justru mengundang tanya keheranan: seberapa penting, sih, kata ceunah di hidupnya, kok disebut terus-terusan??? Lebih penting ceunah atau aku baginya??? Hmm???
Nyatanya, kata yang memang akan membuatmu merasa hampa kalau nggak diucapkan berkali-kali ini umum diselipkan di bagian awal, tengah, atau akhir kalimat. Adapun kalimat-kalimat tadi adalah kalimat yang berupa informasi.
“Ceunah orang Bandung teh gareulis, tapi da emang bener gareulis,” kata seorang kawan sambil cekikikan waktu saya memintanya membuat contoh kalimat dengan kata ceunah. Dari kalimat tersebut, dia menyebutkan bahwa ‘Katanya, orang Bandung itu cantik-cantik, tapi ya memang benar begitu’.
Yah, walaupun sedikit narsis, setidaknya contoh kalimat itu jauh lebih mashoook dibandingkan seseorang yang mengunggah foto kucingnya dan menulis: “Ceunah banget!”
Contoh kalimat lain yang ber-ceunah lainnya adalah sebagai berikut:
1. Arek kaditu heula ceunah (“Mau kesana dulu katanya.”)
2. Ceunah mah kelas lain ulangan Fisika. (“Katanya di kelas lain ulangan Fisika.”)
3. Loba jurigna ceunah. (“Ada banyak setan katanya.”)
Ke-sok-tahu-an beberapa orang terkait arti kata ceunah sedikit banyak mengingatkan saya dengan kata mbok dalam aksen bahasa Ngapak, bahasa ibu saya. Istilah mbok ini maknanya bukan hanya ‘ibu’, melainkan sama dengan ‘kan’ dan ‘mungkin’ (sedikit mirip kata ndean yang ditemui di beberapa daerah) atau ‘siapa tahu’ dan ‘takutnya’ (pada kata mbok-mbokan, seperti makna bisi pada bahasa Sunda).
Tapi sayangnya, orang-orang justru mengira mbok adalah sisipan yang maknanya bebas dan bisa dipakai di mana saja—persis seperti anggapan orang-orang pada kata ceunah. Alhasil, teman-teman saya yang mau sok Ngapak pun malah bisa memproduksi kalimat random semacam:
“Kamu mbok lagi apa? Aku tadi mbok makan sate ayam, tapi agak pedes mbok. Terus aku minum air, tapi mbok masih pedes. Jadi mbok aku mules, rasanya mbok kayak dikuras perutnya.”
Hadeeeeh, ngomong apa, sih, Kak??? :(((