Sudah Adilkah Hukum yang Memvonis Fidelis dengan 8 Bulan Penjara?

“… tidak ada maaf, tidak ada pengampunan,” demikian ujaran Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Budi Waseso menanggapi kasus Fidelis Ari Sudewarto.

Fidelis ditangkap BNN Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat pada 19 Februari 2017 setelah diketahui menanam 39 batang pohon ganja yang digunakan untuk mengobati istrinya yang menderita sakit kista di punggung.

Kisah ini menjadi tragedi ketika istri Fidelis akhirnya meninggal 32 hari selepas Fidelis ditahan. Dua anak Fidelis, berusia 13 tahun dan 3 tahun, sempat bisa berharap orang tua mereka satu-satunya bisa kembali ke rumah setelah muncul dukungan dari publik dan sejumlah LSM tentang penggunaan ganja sebagai obat yang dilakukan Fidelis. Tapi, hari ini harapannya pupus setelah PN Sanggau memvonisnya bersalah dan harus dihukum 8 bulan penjara.

Made Supriatma: Kira-kira sepuluh hari lalu, saya menulis soal Fidelis untuk IndoProgress. Dia diadili karena membuat ekstrak minyak ganja untuk kesembuhan istrinya yang menderita penyakit syringomyelia.

Dalam persidangan, Fidelis menyampaikan nota pembelaan yang sangat personal. Dia mengungkapkan bagaimana dia sampai pada keputusan untuk mengobati istrinya. Dia melakukan riset sendiri dan melakukan percobaan untuk mengekstrak ganja.

Hari ini majelis hakim di Pengadilan Negeri Sanggau, Kalimantan Barat, sudah memutuskan perkara ini. Majelis menjatuhkan hukuman 8 bulan penjara dan denda sebesar 1 miliar (subsider 1 bulan kurungan).

Fidelis adalah seorang pegawai negeri. Tentu dia akan kehilangan pekerjaan kalau dia harus masuk penjara dalam waktu selama itu. Dia sudah kehilangan istrinya, yang meninggal 32 hari sejak dia ditangkap Februari 2017. Dia juga menanggung dua orang anak, yang tertua berusia 15 tahun, yang kecil berumur 3 tahun.

Majelis hakim mengaku bahwa keputusan mereka sudah mempertimbangkan aspek yuridis, sosiologis, filosofis. Kita tidak tahu apa artinya itu. Belum ada media yang memuat secara lengkap putusan hakim itu.

Untuk saya keputusan ini menarik. Dia bisa diperdebatkan secara intelektual, tidak saja oleh ahli hukum namun juga bidang-bidang ilmu-ilmu sosial lainnya.

Secara yuridis, tentu ada argumen bahwa ganja adalah barang terlarang. Fidelis dihukum karena melanggar Pasal 111 dan 116 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 111 intinya adalah batasan menanam tumbuhan narkotika dan hukumannya; dan Pasal 116 mengatur tentang akibat dari pemberian narkotika kepada orang lain, seperti menyebabkan kematian.

Untuk saya yang hanya belajar soal-soal yang amat elementer dalam hukum Indonesia, UU ini boleh dikatakan sangat ganjih (shaky). Orang dihukum jika “tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman” dan “menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman.”

Hukum tidak pernah secara tegas menentukan apakah “hak” itu? Apakah menyelamatkan nyawa atau memperpanjang hidup seseorang dengan narkotika tidak bisa disebut sebagai “hak”? Satu-satunya yang mungkin memberatkan Fidelis adalah kesalahan prosedural, yakni bahwa dia tidak meminta izin (yang kemungkinan besar tidak akan pernah diberikan) untuk menanam ganja demi kepentingan pengobatan.

Persoalan kedua adalah klaim sosiologis. Saya tidak tahu majelis hakim ini mengutip tinjauan sosiologis yang mana. Apakah ganja adalah sesuatu yang dianggap social malice (sesuatu yang bisa membangkitkan keburukan dalam tatanan sosial)? Bukankah efek ganja itu sama dengan alkohol, yang secara tradisional juga dikonsumsi masyarakat? Bukankah ganja juga dipakai secara tradisional dalam beberapa kebudayaan di Nusantara?

Yang ketiga adalah yang saya kira paling penting yakni soal filosofis. Saya kira perdebatan di sini adalah soal etika. Apakah mempergunakan sesuatu yang dianggap buruk untuk menyelamatkan atau memperpanjang nyawa manusia itu salah? Fondasi dari hukum modern adalah etika. Dan etika sedikit banyak mengandalkan akal sehat atau common sense. Bukankah secara akal sehat menyelamatkan nyawa manusia itu adalah prinsip etis tertinggi?

Untuk saya, dalam soal filsofis (etika) yang mengandalkan akal sehat, Fidelis tidak bisa dihukum. Apalagi dengan melihat fakta bahwa jika dia dihukum, dia akan kehilangan pekerjaan dan kemungkinan akan menjatuhkan fungsi dia sebagai ayah. Nasib kedua anaknya menjadi taruhan.

Saya sudah memperlihatkan secara amat singkat bahwa penyebab Fidelis dihukum sangat ganjih. Akibat dari penghukuman dia juga bisa berkepanjangan dan berpotensi merusak beberapa kehidupan lain (kehidupan anaknya, misalnya).

Kasus ini sangat merangsang secara intelektual untuk diperdebatkan. Sekalipun demikian, kita harus kembali pada persoalan dasar. Bahwa ada yang menjadi korban dari kesempitan berpikir ini. Dan, akibatnya sangat mematikan untuk yang menjadi korban.

Fidelis dan kedua anaknya. Sumber: Kompas.com.
Exit mobile version