Kulon Progo bukan sekedar tanah. Ia adalah jagat hidup manusia yang ada di dalamnya. Tetapi saat ada upaya membangun bandara baru, manusia-manusia ini hanya sekedar jadi statistik yang bisa dihilangkan.
Seperti yang dikutip dari Tirto, jumlah warga, yang masih gigih menolak menyerahkan lahannya untuk lokasi Bandara Kulon Progo, memang tak banyak lagi. Jauh merosot dibanding lima tahun lalu saat rencana proyek ini muncul. Kini tersisa 38 rumah atau 250-an jiwa—dengan sejumlah bidang pekarangan dan ladang—yang belum diserahkan ke PT Angkasa Pura 1.
Masyarakat melawan rencana pembangunan ini. Bandara Internasional Yogyakarta (NYIA) mengancam keberadaan manusia yang tinggal di tanah ini. Eskalasi konflik meningkat di lapangan yang berujung penangkapan 15 aktivis pada Selasa kemarin, 5 Desember. Mereka baru dikeluarkan pada pukul 10 malam.
Panjang umur perjuangan bersama rakyat!
***
Ujaran raja lalim. Tidak ada relokasi, diminta ambil uang sendiri (apa namanya kalau bukan maksa?), suruh beli tanah dan rumah sendiri dengan uang tadi. Lucu juga, Kulon Progo itu jauh dari pusat kota. Bahkan jauh dari kota-kota yang bersebelahan dengan Jogja. Jika Kulon Progo menjadi bandara. Sudah bisa ditebak: mana lagi yang digusur untuk akses transportasi? Mana lagi yang digusur untuk wisata pantai, danau dan hotel? BTW, Jogja itu bisnis keluarga. Sultan, dengan sikap begini, masyarakat tidaklah dihitung sebagai apa dan siapa. Jahat betul Sultan Ground ini dipakai sebagai senjata utama.
Bandara Jogja memang sudah sangat tidak layak. Banyak kecelakaan terjadi. Salah satunya yang merenggut nyawa Prof Koesnadi Hardjosoemantri. Sementara itu, solusi pembangunan bandara baru dengan merebut tanah rakyat juga bentuk kezaliman. Rakyat pemilik tanah itu hanya penonton, tidak pernah naik pesawat, tidak akan mendapatkan apa-apa dari bandara.
Satu-satunya berkah buat mereka adalah bisa tiap sore nyuapin anak sambil memandang montor mabur yang naik dan turun, lalu mengajari si anak untuk bertepuk tangan dan bernyanyi “Montor mabuuuur njaluk dhuwiteeeee…!”
Lalu bagaimana solusinya? Apakah Khilafah punya?
Sharing berita seperti ini resikonya 2:
1. Dianggap anti pembangunan
2. Dianggap anti Jokowi
Sementara orang yang mendukung penggusuran, setidaknya berpijak pada 2 hal juga:
1. Rezim sudah memikirkan manfaatnya lebih banyak
2. Pembangunan harus berjalan terus
Saya pribadi tidak menyukai pembangunan yang mensyaratkan adanya tumbal, sekecil apa pun. Ini tidak berbeda jauh dengan pembangunan pabrik semen di Kendeng. Banyak orang menyetujui pembangunan pabrik walaupun akan menghancurkan kawasan kaya air itu, “hanya” karena Ganjar ada di hati mereka.
Kehilangan lahan pertanian (produktif) atau ancaman kelangsungan sumber air mau dengan cara apa menggantinya? Lembaran rupiah?
Kalau prinsip penghitungan ganti rugi hanya berdasar nilai pasar (seperti bangunan) seperti selama ini, maka sistem “buta” yang hanya mengacu pada nilai NJOP tersebut, tidak ada bedanya dengan upaya merusak peradaban!
Ada nilai-nilai lain yang selama ini tidak pernah dimunculkan tiap terjadi sengketa lingkungan. Nilai sosial, nilai warisan dan jasa lingkungan.
Petani seperti halnya nelayan, satu dari sedikit profesi yang dapat diturunkan tanpa orang harus mengambil pendidikan formal terkait bidang itu. Banyak orang atau kelompok masyarakat tani yang dapat hidup layak atau bahkan sejahtera, selama kebijakan tidak meminggirkan mereka.
Saya hanya bisa mendoakan semoga mereka dan siapa saja yang mendukung perjuangan tersebut kuat. Tidak mudah berjuang melawan apa yang disebut “pembangunan”.