Muhadjir Effendy, Mendikbud pengganti Anies Baswedan itu, memang lekat dengan sensasi. Pelantikannya bikin ramai timeline karena sejarahnya yang dekat dengan militer. Belum lama dilantik, ia langsung bikin hit lain: mengusulkan konsep full day school, konsep yang sejak namanya saja akan membuat Badan Bahasa yang berada di bawah Kemendikbud menangis. Made Supriatma bahkan selo-selonya menelusuri rekam jejak Pak Menteri untuk mendapati bahwa bahasa Inggris blio buruknya minta ampun.
Soal full day school, Orang-orang sigap merespons, dengan nada mayoritas menyatakan penolakan. Oke, topik itu hanyut. Tapi, Maret lalu Muhadir memunculkan lagi ide yang sebenarnya sebelas dua belas dengan full day school. Yakni, mengubah jam sekolah SD hingga SMA menjadi 8/5: 8 jam sehari, 5 hari seminggu.
Retno Listyarti, Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia, bilang kebijakan yang tidak bijak ini bias perkotaan dan melanggar HAM anak. MUI juga protes, kalau anak habis waktu di sekolah formal, pesantren dan madrasah diniyah bisa “habis”.
Berikut komentar-komentar netizen tentang sekolah 8/5.
Yamadipati Seno: Sekolah 8 jam. Absen sistem finger print. Istirahat 1 jam. Lima hari sekolah. Sabtu dan Minggu libur. THR seminggu sebelum hari raya. BPJS penuh. Cuti melahirkan 3 bulan. Tanggal 1 Mei ikut demo. Tanpa gaji ke-13, dih dikira PNS.
Muhammad Taufik Rahman: Sekolah 8 jam/hari tentu menguras energi siswa dan guru; yang berarti juga mengurangi intensitas kedekatan mereka pada keluarga. Dalam keadaan lelah, apa lagi yg bisa dilakukan siswa dengan baik sepulang sekolah selain beristirahat total? Jika setiap hari guru-gurunya mengalami kondisi yg sama, bagaimana susah-payahnya mereka mengurus keluarga di rumah?
Masih mungkinkah dalam kondisi fisik dan psikis di titik terendah, guru-guru itu melakukan aktualisasi (pengembangan) diri? Dan apakah logis berharap, sistem pendidikan yg dibangun selama 8 jam/hari demi penguatan karakter siswa itu, ironisnya justru dibebankan pada guru-guru yang tidak memiliki banyak waktu untuk mengembangkan dirinya sendiri? Karakter semacam apa yg akan dikuatkan?
Saya belum pernah dengar pemerintah mengkampanyekan perbaikan nasib guru terkait penambahan jam kerja di sekolah menjadi minimal 8 jam sehari, apalagi mendengar kampanye perbaikan gizi guru….. Bayangkan saja sendiri nasib siswa-siswa sekolah yg dididik guru-guru kecapekan dan kurang gizi seperti itu. Miris.
(Anda mungkin bingung kenapa saya mempersoalkan ini di FB. Seingat saya, ada satu atau dua orang staf menteri yg bermasalah itu sedang berteman dengan saya di FB. Kalau tidak sempat bertanya pada menterinya, ga jelek-jelek amat toh bertanya pada staf ahlinya?).
A-Kang Mastur: Beberapa hari ini baca status Facebook banyak Guru2 galau dengan rencana kebijakan baru Kemendikbud. Sebenarnya kebijakan baru itu kalau benar-benar kita cermati bukan Full Day School, akan tetapi program penguatan pendidikan karakter atau lebih trend-nya disebut dengan PPK. Program ini (PPK dan Restorasi Sekolah) yang diatur dalam Permendikbud No. 23 Tahun 2017 dilaksanakan melalui kegiatan ekstrakurikuler, kokurikuler, dan intrakurikuler. Penerapannya sangat bervariasi di tiap daerah dan sekolah. Selain itu juga tidak wajib. Jadi sekolah-sekolah yang keberatan dengan program ini boleh kok kalau tidak mau menjalankannya. Hal ini diatur dalam Permendibud No. 23 Tahun 2017 Ayat 1 Pasal 9 bahwa” dalam hal kesiapan sumber daya pada Sekolah dan akses transportasi belum memadai, pelaksanaan ketentuan Hari Sekolah (5 Hari ) dapat dilakukan secara bertahap”. Tapi, bagi sekolah yang SDM-nya baik, sarana dan prasarananya lengkap, mudah diakses transportasi dan memiliki sumber dana yang cukup dianjurkan menyelenggarakan program ini. Juga perlu diingat, program ini tidak mewajibkan siswa harus 8 jam di sekolah lo…itu tergantung kreativitas program yang direncanakan sekolah. Yang wajib 8 jam di sekolah itu ialah Guru-gurunya, karena hal tersebut sudah diatur dalam undang-undang.
Agus Mulyadi: Jadi inget dulu Caknun (kalau nggak salah) pernah bilang begini “Sekolah itu tidak penting,”
Kemudian ada yang nyahut “Kalau memang sekolah itu tidak penting, trus ngapain sampeyan nyekolahin anak sampeyan, Cak?”
Dibalas langsung sama Cak Nun, “Ya biar dia semakin paham kalau sekolah itu benar-benar tidak penting!”